Minggu, 29 Juni 2014

Merekalkulasi ROI Korporasi di Media Sosial

Pertanyaan yang seringkali menyertai implementasi media sosial di korporasi adalah 'How much is social media worth?' dan 'What’s the benefit of implementing it?'.

Perbedaan keduanya signifikan. Sudut pandang pertanyaan pertama adalah finansial (Return on Investment atau ROI), sementara yang kedua adalah 'value'. Yang pertama menggunakan pendekatan kuantitatif, di sisi lain 'value' mengandalkan metodologi kualitatif.

Jadi pendekatan apa yang akan kita gunakan? Jika selama ini kita mengalami kesulitan untuk mengukur implementasi program, tariklah nafas sedalam mungkin, rileks. Tenang, anda tidak sendirian.

Secara sederhana, jika menggunakan indikator ROI, maka penambahan laba bersih setelah pajak (Net Profit After Tax) sebagai hasil dari program media sosial dibagi dengan total biaya/investasi dikucurkan untuk program tersebut.

Mengutip riset terakhir Nielsen, 80% merek menghadapi masalah dalam menentukan jumlah penambahan laba bersih, jumlah yang merupakan kontribusi dari program media sosial.

Hal ini tidak berlaku terhadap kalkulasi biaya karena by nature, cost atau expense relatif lebih mudah dihitung dan cenderung lebih pasti.

Masih dari survei yang sama, 44% responden walaupun sudah melakukan measurement, namun masih ragu dengan ROI sebagai indikator paling tepat untuk menghitung hasil jerih payah mereka secara finansial

Mengambil data lain. Kali ini dari white paper milik Adobe Inc. Dokumen ini menyatakan 88% marketer yang disurvei sebagai responden merasa mereka tidak bisa mengukur efektivitas program media sosialnya. Sedangkan 52%, masih dari survei yang sama, merasa frustasi dengan ROI sebagai indikator keberhasilan.

Dalam bukunya Olivier Blanchard, Brand Strategist ternama, mengungkapkanend-to-end process untuk mengukur keberhasilan program. Sebelum memulai, mindset harus diarahkan agar tetap fokus pada sasaran maupun tujuan.

Prasyarat kedua: membuat check list apa saja yang bisa diukur dan apa saja yang harus diukur. Ini dikenal dengan istilah scoping.

Dengan keterbatasan resource dan workload dalam organisasi, tidak semuameasureable element harus diukur. Fokuslah kepada 1) channel, media, proses dengan kontribusi terbesar terhadap tujuan bisnis perusahaan serta 2) channel, media, dan proses terkait dengan merek maupun image organisasi. Sisanya, pilihan. Boleh dilakukan, boleh juga tidak.

Kemudian, lakukan pengawasan, pengukuran dan pelaporan. Pelaksana dan pengawas jelas tidak boleh dilakukan oleh pihak atau resource yang sama. Laporan dibuat oleh keduanya. Di dalam proses pengukuran sudah harus diputuskan teknik dan tool apa yang akan digunakan dalam rangka keperluan tersebut.

Jika tahapan awal ini sudah dilaksanakan dan berjalan sesuai keinginan, langkah selanjutnya yaitu melakukan pengujian. Apabila pengujian sah, maka pengukuran bisa dilaksanakan. Apabila ada kesenjangan antara rencana dengan hasil pengukuran, perlu dicari akar masalahnya.

Tidak berhenti di situ, langkah perbaikan (corrective action) -- reaktif maupun proaktif -- dilengkapi dengan timeline dan ownership (siapa mengerjakan apa) perlu disusun di fase 'learn'.

Dan ini diakomodasi juga pada saat tahapan 'measurement' berikutnya. Perlu diingat, serupa dengan siklus P(lan) D(o) C(heck) A(ction), tahapan yang diceritakan di atas 'harus berulang'. Berkesinambungan. Infinite loop.

Memang tidak ada measurement yang menyeluruh untuk entitas apapun. Selalu ada yang dirasa kurang. Tidak hanya bagi media sosial saja, namun juga implementasi program lainnya.

So? Paling tidak beberapa metode yang berlaku cukup umum serta dapat digunakan untuk mengukurnya agar menghasilkan informasi yang relevan dan akurat bagi kita sehingga bisa diolah dan dijadikan dasar evaluasi, pertimbangan maupun pengambilan keputusan selanjutnya.

Traction

Metode paling konvensional. Analisa terhadap trafik ke suatu platform tertentu, terutama dari media sosial ke situs web, halaman web maupun advertisementwajib dilakukan.

Peran web site analytics dan matrik click-through sangatlah diharapkan untuk menelusuri kanal mana yang paling berpengaruh dalam mempromosikan dan mendorong pengguna berkunjung ke situs web maupun iklan yang kita pasang.

Engagement

It sounds so yesterday. Akan tetapi, interaktivitas tetap menjadi tolak ukur jerih payah atas apa yang kita lakukan di media ini. Reply, Mention, ReTweet, +1, Share, Comment, contact, follower, network masih tetap dipercaya oleh parastakeholder: user, agency, platform, advertiser, dan publisher.

Tool

Dalam konteks beriklan, media sosial biasanya menyediakan tool agar para pengguna dapat memanfaatkannya dalam mengukur efektivitas advertising, apapun bentuknya dan dimanapun adv tersebut berada di platform mereka.

Paling gres, Facebook dengan conversion measurement. Ditujukan untuk iklan di Facebook dan sponsor story, tool ini mampu menelusuri user view di platform berbeda.

Misalnya, jika kita melihat iklan tertentu di tablet, melakukan klik di PC dan membeli apa yang ditawarkan pengiklan, maka semua aktivitas tadi dapat didokumentasikan dengan mudah.

Salah satu contoh, bulan lalu Adobe mengumumkan Facebook 'publishing tool' untuk memprediksi level of engagement dan ROI sebelum kita melakukan posting di media sosial.

Fitur ini ada di produk Adobe Social. Dilengkapi dengan sentiment analysis danpredictive text mining algorithm berdasarkan data historis engagement, waktupost maupun sentimen. Cara kerja fitur ini adalah menganalisa kata, gambar, tautan dan format iklan terbaik bagi audiens.

Dengan semakin kompetitifnya tingkat persaingan antar jenis media ini, bertumbuhnya dan meningkatnya penggunaan, beragamnya keinginan serta tuntutan dari para pemasar khususnya, maka niscaya, di masa depan, tool akan semakin banyak dan variatif, termasuk dari third-party.

Anyway, social media is very transparent. Dan dari sudut pandang manajemen terutama CEO dan CFO, most of the time, it’s always about the number, right?



Sumber : http://inet.detik.com/read/2013/05/29/141333/2259188/398/4/merekalkulasi-roi-korporasi-di-media-sosial

Jumat, 27 Juni 2014

Tren Keamanan Surat Elektronik

Meskipun sudah mulai berkurang popularitasnya sebagai alat komunikasi yang efisien, namun email tetap menjadi vektor ancaman yang paling efektif bagi para pelaku kejahatan cyber. Alasannya? Sederhana, karena email masih digunakan hingga saat ini.

Tidak dapat dipungkiri bahwa email merupakan media pertukaran informasi dan database penting serta berbagai data berharga lainnya. Serangan yang memanfaatkan email sebagai jalur masuk utama merupakan sumber keuntungan besar bagi para penyerang.

Industri sistem keamanan email tidak memiliki cukup waktu untuk berpuas diri. Sistem tersebut tak pernah berhenti berkembang untuk menjawab berbagai serangan malware yang semakin mutakhir dari berbagai aspek, dan dibuat terselubung agar dapat lolos dari mekanisme keamanan TI standar.

Berikut adalah tren terbaru yang kemungkinan akan semakin berkembang:

Serangan email semakin lebih ditargetkan

Selama bertahun-tahun, para pelaku kejahatan cyber menggunakan email untuk melancarkan serangan secara personal berdasarkan kredibilitas yang mereka bangun sebelumnya agar dapat meningkatkan tingkat kesuksesan.

Namun penyebaran advanced persistent threat (APT) dan bentuk malware terselubung lainnya telah memperburuk tingkat kejahatan serangan personal tersebut, dan hal ini hanya akan semakin berbahaya.


User harus semakin waspada dengan fakta bahwa phishing email akan semakin bersifat personal – target ditentukan oleh bahasa, wilayah, kota, atau berbagai kelompok dengan kepentingan tertentu -karena para pelaku kejahatan cyber tidak akan berhenti berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari modal yang sudah mereka tanamkan demi melancarkan serangan.

Malware canggih menjadi status quo

Pelaku kejahatan cyber telah lama mengandalkan email sebagai media untuk mengirimkan PDF yang terinfeksi, file.exe, dan berbagai lampiran lainnya yang berbahaya.

Media tersebut tidak akan berubah. Namun yang mungkin akan berubah adalah kecanggihan teknis dari malware yang terkirim. Meskipun banyak laporan yang mencatat bahwa secara keseluruhan tingkat spam telah menurun, namun jumlah email yang membawa kode berbahaya semakin meningkat.

Menjamurnya advanced threat menjadi alasan logis bahwa serangan APT tidak hanya akan semakin sering terjadi, namun juga akan dianggap sebagai hal yang lumrah.

Data menjadi target baru

Sebelumnya phisher menargetkan untuk memperoleh akses login dan informasi kartu kredit. Hal itu belum berubah, tapi saat ini mereka juga menargetkan Big Data yang bernilai tinggi yang mencakup kekayaan intelektual, cetak biru, dansource code.


Malware yang terdapat pada lampiran berbahaya, semakin meningkatkan kemampuannya untuk tidak terlihat agar dapat menghindari deteksi, untuk kemudian diam-diam menyusup sistem rahasia dan mencuri data organisasi yang paling sensitif.

Seperti yang sudah-sudah, seringkali email menjadi gerbang menuju informasi penting, menyediakan jalur langsung ke pusat data perusahaan dengan memanfaatkan link terlemah, yaitu user.

Dengan fakta bahwa email masih menjadi vektor ancaman yang disukai oleh para pelaku kejahatan cyber, kebutuhan akan solusi keamanan email akan tetap tinggi di masa mendatang. Industri sistem keamanan saat ini tengah berjuang untuk terus beradaptasi agar tetap relevan dan mampu memerangi bentangan ancaman yang kian berkembang pesat.

Sama seperti solusi keamanan lainnya, sistem keamanan email memerlukan serangkaian fitur baru yang kuat sebagai bagian dari strategi pertahanan yang bersifat menyeluruh dan multi layer. Fitur-fitur tersebut meliputi:

Perlindungan/enkripsi data: Teknologi perlindungan data seperti enkripsi dapat membantu user melapisi data yang sedang dikirim keluar melalui email, namun tetap bisa meliputi public key infrastructure (PKI), key exchange, dan software klien.

Perlindungan Reputasi: Dengan keamanan reputasi, user dapat mengidentifikasi kode jahat berdasarkan history, dan pada gilirannya nanti dapat mengidentifikasi serta mencegah masuk ataupun keluarnya spam dan malware, sekaligus memastikan bahwa server utama tidak akan terpengaruh ataupun masuk ke dalam blacklist.

Pencegahan Hilangnya Data: Hal ini membantu pengguna menerapkan kebijakan yang mampu mencegah keluarnya informasi penting suatu perusahaan melalui email, baik disengaja ataupun tidak.


Dengan demikian, para administrator TI bisa mencegah keluarnya pesan penting melalui jaringan atau terjadinya penyalahgunaan oleh pihak yang tidak berwenang. Di saat yang sama, para admin juga tetap bisa menyediakan lapisan keamanan yang mendukung keselarasan dengan PCI DSS, HIPAA, GLB, SOX dan peraturan lainnya.


*) Penulis, Jeremy Andreas, adalah Country Manager untuk Fortinet Indonesia

Sumber : http://inet.detik.com/read/2013/08/16/102524/2331537/398/4/tren-keamanan-surat-elektronik