Kamis, 05 Desember 2019

6 Alasan MA Ringankan Hukuman Eks Hakim Konstitusi Patrialis Akbar

Mahkamah Agung (MA) meringankan hukuman eks hakim konstitusi Patrialis Akbar dari 8 tahun penjara menjadi 7 tahun penjara. Patrialis terbukti 'dagang' perkara putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Mahkamah Agung (MA) dalam tingkat Peninjauan Kembali (PK) menjatuhkan putusan dengan mengabulkan permohonan PK Pemohon/Terpidana Patrialis Akbar yaitu perkara Nomor 156 PK/Pid.Sus/2019," kata juru bicara MA, hakim agung Andi Samsan Nganro kepada detikcom, Jumat (30/8/2019).

Berikut pertimbangan lengkap MA meringankan hukuman Patrialis:

1. Menurut majelis hakim PK, putusan Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat - putusan yang dimohonkan PK - yang menjatuhkan pidana pokok kepada Pemohon PK/Terpidana dengan pidana penjara selama 8 (delapan) tahun, karena Pemohon PK/Terpidana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak Pidana Korupsi secara bersama-sama dan berlanjut, tidak didukung dengan pertimbangan hukum yang konkret dan cukup sebagai alasan yang mendasari penentuan mengenai lamanya pidana yang dijatuhkan tersebut.

2. Bahwa kendati dalam putusan a'quo telah mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan Pemohon PK, akan tetapi dari fakta hukum persidangan terungkap adanya keadaan yang relevan dan patut dipertimbangkan sebagai alasan yang dapat meringankan Pemohon PK namun tidak dipertimbangkan oleh judex factie/Pengadilan Tingkat Pertama.

3. Bahwa keadaan tersebut adalah Pemohon PK/Terpidana hanya menerima uang sejumlah US$ 10.000 yaitu separuh dari jumlah pemberian uang saksi Basuki Hariman sebesar Rp US$ 20.000 melalui saksi Kamaluddin dan sisanya US$ 10.000 tidak diterima oleh Pemohon PK melainkan digunakan untuk kepentingan sendiri saksi Kamaluddin. Jadi jumlah uang yang diperoleh Pemohon PK/Terpidana adalah US$ 10.000. dan uang untuk kepentingan main golf bersama saksi Kamaluddin sebanyak Rp 4.043.195.

4. Selain alasan tersebut juga terjadinya tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh Pemohon PK/Terpidana Patrialis Akbar tidak terlepas dari peran serta orang lain yang juga turut bertanggung jawab, sehingga kadar kesalahan Pemohon PK/Terpidana akan mempengaruhi pula berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Pemohon PK/Terpidana.

5. Bahwa sebagaimana fungsi lembaga peradilan termasuk MA dalam mengadili perkara tidak hanya berfungsi sebagai penegak hukum melainkan juga sebagai penegak keadilan, termasuk keadilan dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa.

6. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka alasan PK Pemohon/Terpidana pada ada 3 yaitu adanya suatu kekhilafan atau kekeliruan yang nyata dalam putusan judex factie dapat dibenarkan. Sedangkan alasan-alasan PK selebihnya mengenai adanya "novum" dan "adanya pertentangan antara satu putusan dan putusan lainnya" tidak dapat dibenarkan karena alasan-alasan ini tidak beralasan menurut hukum.

Maka, atas dasar pertimbangan tersebut, majelis hakim PK menjatuhkan pidana kepada Pemohon PK/Terpidana dengan pidana penjara selama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda sebesar Rp300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) subsider pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan

"Menjatuhkan pidana tambahan kepada Pemohon PK/Terpidana tersebut untuk membayar uang pengganti sejumlah Rp 4.043.195 dan sejumlah US$ 10.000 dengan ketentuan jika Terpidana tidak membayar uang pengganti tersebut maka dipidana penjara selama 4 (empat) bulan," kata Andi yang ketua majelis itu.

Kenalkan! Yohana Marpaung Guru Anak-anak Rimba di Jambi (2)

Paling banter mereka belajar di gubuk reyot beratap terpal plastik atau paling banter seng bekas yang sudah berkarat. Tapi biasanya lebih banyak proses belajar-mengajar di bawah pohon sawit dan kawasan hutan belantara. Dindingnya hanya bentangan alam yang sudah porak poranda oleh lajunya deforestasi.

Yohana asyik membaca buku dongeng. Muridnya diam mendengarkan cerita dari sang guru. Anak-anak itu duduk melingkar hanya mengenakan kain lusuh. Dongeng disampaikan dalam bahasa Rimba agar anak-anak itu mengerti. Kadang gelak tawa muncul, ketika intonasi suara Yohana dianggap lucu.

Anak sulung dari tiga bersaudara itu, hari-harinya membaur pada keluarga besar Orang Rimba. Dia jauh dari kebisingan ibu kota Provinsi Jambi, jauh dari ibu kota Kabupaten Sorolangun. Dia jauh di sana, di dalam kawasan hutan belantara dan perkebunan sawit. Tak ada warga umum, terkecuali berkutat pada suku Orang Rimba atau disebut suku Kubu.

Muridnya memanggilnya Juana, karena susahnya lidah mereka menyebutkan Yohana. Berulang kali dilatih, pun muridnya memanggilnya Juana.Tak ambil pusing, dia merelakan namanya menjadi Juana.

"Ya sudah, mereka memanggilku 'Juana', tanpa embel-embel ibu di depannya, layaknya sebutan guru, biar saja, supaya lebih dekat, sesuai dengan kebiasaan Orang Rimba yang jarang sekali ada penyebutan panggilan untuk orang lain," kata Yohana.

Di mata Yohana pendidikan merupakan satu pintu masuk untuk merubah keadaan, meski itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama. Dia hanya berharap dengan mengajari anak Rimba, kelak mereka punya bekal untuk menapak hidup yang lebih baik.

"Berharap nanti salah satu muridku bisa menjadi tenaga pengajar dan tenaga kesehatan, sehingga mereka bisa mempersiapkan masa depannya dengan lebih baik," kata gadis kelahiran Tebing Tinggi Sumatera Utara ini, yang di bulan pertamanya bekerja sudah harus di rawat di rumah sakit karena malaria yang menyerang tubuhnya.

Untuk mewujudkan ini, Yohana bersama dengan staf WARSI lainnya berkeliling dari satu kelompok ke kelompok Orang Rimba lainnya. Selama berkeliling ini, Yohana akan hidup membaur dengan mereka.

Tak jarang ia juga mengenakan kain panjang sebagai bawahan, sebagaimana layaknya perempuan rimba. Tidur dalam pondok-pondok sederhana ala Orang Rimba juga dilakoninya. Bahkan harus merelakan rambut indahnya ikut diserbu kutu-kutu yang pindah dari kepala muridnya.

"Sekarang aku sudah bisa tidur di atas pelepah sawit, awalnya sakit-sakit juga badan, tapi sekarang aku sudah biasa saja, malah nyenyak," ujar gadis yang disapa muridnya Juana itu.

Selain mengajar pendidikan nonformal, dia harus memantau anak-anak Rimba dari kelompok Tumenggung Grip di Kedudung Muda yang sudah mulai sekolah formal. Sesekali Yohana akan ke Sungai Terap untuk memantau kader guru rimba, Besiap Bungo yang mengajak anak rimba di kelompok itu.

"Tenaga pendidikan sangat terbatas, kami hanya bertiga, aku di Terap Batanghari dan Seputar Desa Bukit Suban di Sarolangun, sedangkan Maknun di Kedudung Muda TNBD (Taman Nasional Bukit Duabelas) dan bagian Makekal Tebo, sedangkan satu lagi Helen, itu di Suku Talang Mamak tebo dan Riau," ujarnya.

Untuk menambah jangkauan, sangat penting untuk menambah tenaga lokal, baik dari guru-guru pemerintah daerah maupun dari kader pendidikan.

Sebaran Orang Rimba sangat luas, tapi hanya dalam kelompok-kelompok kecil, peserta didiknya juga menyebar. Mereka sebagai tenaga pengajar non formal harus menggandeng dengan guru-guru dan sekolah untuk menampung anak-anak Rimba yang di sekolah formal.

Untuk menyamakan irama dan pendekatan, guru-guru yang mengajar anak Rimba secara berkala akan dilakukan pelatihan ataupun diskusi, sehingga persoalan-persoalan dalam mengajar komunitas ini bisa diatasi. Tentunya semua ini menuju pada harapan mewujudkan Indonesia cerdas "Termasuk mencerdaskan anak Rimba," kata Yohana.

Tidak hanya guru untuk yang di pedalaman, WARSI juga mengaktifkan kader-kader pendidikan. Yaitu orang Rimba yang sudah punya kemampuan baik dalam baca tulis hitung, kemudian dilatih untuk bisa menjadi pengajar. Dengan adanya kader jangkauan pada Orang Rimba diharapkan bisa menjadi lebih baik.

Saat ini ada 15 anak muridnya di kelompok Mariyau, 15 anak di Terap dan di SPI ada 10 anak di bawah binaannya. Dengan cara ini, Yohana berharap suatu hari nanti anak didiknya bisa menentukan pilihan yang baik untuk masa depan mereka bersaing pada anak-anak Indonesia lainnya. Selamat Hari Guru.