Kamis, 05 Desember 2019

Abdul Somad di Antara Hukum dan Kemanusiaan

Saya ingat buletin itu. Al-Muhtadin, namanya. Isinya kisah-kisah kesaksian para mualaf yang tergabung dalam Jamaah Al-Muhtadin di Yogyakarta. Saya pernah mengoleksi banyak sekali edisinya.

Sebagai media yang berisi cerita para mualaf, tentu Al-Muhtadin sering membedah agama selain Islam. Kadang bersifat objektif dengan mencermati ajaran-ajaran baku dari agama non-Islam, namun tak jarang pula bersifat subjektif, bahkan emosional karena melibatkan pengalaman-pengalaman personal dari sang mualaf yang memberikan kesaksian.

Pada era media cetak, ada satu kode etik yang pada masa itu dijalankan oleh Al-Muhtadin, yaitu dengan memasang satu kotak di halaman depan, bertuliskan: "Untuk Kalangan Sendiri".

Media seperti Al-Muhtadin itu memang bersifat internal, bukan untuk disebarluaskan di masyarakat umum. Apalagi masa itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya, ketika apa pun yang berpotensi menciptakan gesekan SARA di masyarakat luas akan lekas-lekas dibabat.

Dari Al-Muhtadin terlihat bahwa pada zaman cetak suatu informasi yang bersifat terbatas dapat dilokalisasi dengan relatif mudah. Cukup dengan menuliskan "Untuk Kalangan Terbatas", dan cukup dengan mengedarkannya di masjid-masjid serta forum-forum pengajian. Bagian pemasaran buletin itu pun tidak akan nekat meletakkan setumpuk Al-Muhtadin di ruang tunggu kantor kelurahan, misalnya. Apalagi di markas Koramil.

***

Hari ini, format media telah berganti. Konsep ruang berikut pemahaman atas ruang pun turut berganti. Buletin cetak yang ditumpuk di sudut masjid, ditindih batu biar tidak beterbangan, lalu untuk mengambilnya harus meletakkan uang seratus perak, lambat laun telah lenyap.

Namun, kita berada pada masa transisi. Ada generasi yang benar-benar lahir dan hidup pada era pasca-kertas, namun ada pula kelompok demografi yang segenap kesadarannya dibentuk era kertas tapi mendadak memegang telepon pintar. Ada kalangan yang sudah paham bagaimana memaknai ruang-ruang digital sebagai ruang publik, ada pula yang tidak sadar bahwa informasi online tidak bisa ditindihi batu biar tidak beterbangan.

Pemahaman seperti itulah salah satu papan konteks yang mesti kita pegang untuk mencerna kasus yang melanda Ustaz Abdul Somad (UAS).

***

Dalam pandangan saya, kasus UAS yang kemarin meletus soal salib-saliban dan jin-jinan itu memuat dua dimensi. Yang pertama adalah dimensi hukum dan demokrasi. Yang kedua dimensi etika dan kemanusiaan.

Kita bicara hukum dan demokrasi dulu.

Di dalam hukum dan demokrasi, setiap agama dan keyakinan wajib dilindungi oleh negara. Itu teori dasarnya, dan termaktub dalam Pasal 29 UUD 1945. Lalu bagaimana dengan keyakinan-keyakinan yang di dalamnya termuat kebencian (atau minimal ketidaksukaan) kepada keyakinan lain?

Saya agak sedih dan takut-takut menjawabnya: ya, negara pun wajib melindungi keyakinan yang mengajarkan kebencian kepada keyakinan lain.

Mohon berikan koreksi kalau saya salah. Tapi begini. Setiap keyakinan pada prinsipnya adalah klaim kebenaran. Dengan klaim kebenaran, otomatis ia akan melihat sistem keyakinan lain sebagai ketidakbenaran, alias kesalahan, atau ketidakselamatan. Kecintaan kepada kebenaran akan berjalan seiring dengan kebencian kepada ketidakbenaran. Sementara itu, dalam sebuah truth claim, ketidakbenaran dipandang menempel pada setiap penyangkalan atas kebenaran. Bukankah begitu?

Wilayah iman adalah wilayah hati dan ideologi. Negara tidak boleh dan tidak mungkin mengontrol ideologi, sebab yang dapat dikendalikan serta diberi batasan hanyalah aksi. Keyakinan akan kejayaan komunisme tidak dapat dilarang, tapi lambang palu arit bisa dilarang. Keyakinan bahwa khilafah harus berdiri dan Indonesia harus berada di bawahnya itu tidak bisa dikendalikan, tapi simbol-simbol dan nama organisasi Hizbut Tahrir Indonesia bisa dirampas dan dikekang.

Negara, hukum, dan segenap peralatan hukumnya mampu menjalankan tindakan-tindakan fisik, tapi negara tidak bisa menyusup masuk ke otak seorang simpatisan ISIS lalu mengikatkan tali rafia agar otaknya tidak bergerak liar ke mana-mana. Barulah ketika si simpatisan ISIS bergerak menyebarkan pemahamannya ke lingkungannya, atau mempersiapkan senjata, negara bisa melaksanakan perannya.

"Kita harus membedakan antara ideologi dan institusi," kata Gus Dur waktu itu. "...melarang ideologi itu omong kosong. Itu tidak mungkin dijalankan."

Singkat kata, berkeyakinan itu bebas. Terserah kita. Tapi ada garis tegas yang membatasinya, yaitu ruang-ruang sosial, alias ruang publik, alias ruang bersama.

TPUA dkk Laporkan Balik Pihak yang Polisikan Ustaz Abdul Somad

Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA) Aliansi Anak Bangsa (AAB) serta Dewan Persaudaraan Relawan melaporkan balik Sudiarto yang mempolisikan Ustaz Abdul Somad (UAS) ke Bareskrim Polri. Menurut mereka, Sudiarto melakukannya pencemaran nama baik karena menyebarkan bukti laporan di media sosial.

"Dasar dan laporan tersebut karena kita merasa nama baik Abdul Somad sudah tercemar dengan adanya bukti laporan polisi. Kalau memang dia mau melaporkan ke polisi, silakan melaporkan gitu, tapi jangan dipermalukan seperti ini. Ini namanya mempermalukan orang dengan menyebar-nyebarkan tersebut," kata kuasa hukum mereka, Pitra Romadoni, di Bareskrim, Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, Selasa (20/8/2019).

Mereka selesai membuat laporan di Bareskrim Polri pada Selasa sore. Namun Pitra enggan memperlihatkan bukti diterimanya laporan tersebut di SPKT Bareskrim Polri.

Menurut Pitra, penyebaran bukti laporan oleh Sudiarto itu memberi kesan bahwa Abdul Somad sudah terbukti bersalah. Padahal, harus ada keputusan pengadilan untuk menentukan hal tersebut.

"Jadi dengan adanya bukti pelaporan polisi ini seolah-olah Abdul Somat bersalah. Ini kan belum ada keputusan yang inkrah dari pengadilan dan permasalahan tersebut terjadi di Masjid Annur, Pekan Baru. Ini perlu dipertanyakan, bahwasannya itu adalah tausyiah mimbar khusus, bukan untuk umum," ujarnya.

Dalam pelaporan itu, Pitra juga memberikan screenshoot group WhatsApp sebagai bukti. Dia juga melampirkan foto laporan terhadap Abdul Somad atas nama Sudianto di Bareskrim yang terdaftar pada 18 Agustus 2019.

Diketahui, video UAS yang membahas salib beredar di media sosial. UAS sendiri sudah menyampaikan klarifikasi dan menyebut ceramahnya itu dilakukan di forum internal tertutup.

Ia mengaku heran video pengajiannya yang menjawab pertanyaan jemaah soal salib menjadi viral. UAS menyebut pengajiannya itu dilakukan sekitar tiga tahun lalu. UAS mengatakan penjelasannya mengenai salib merupakan pertanyaan dari jemaah. Dia menyebut lokasi pengajian saat itu berada di Pekanbaru, Riau.

"Kenapa diviralkan sekarang, kenapa dituntut sekarang? Saya serahkan kepada Allah SWT. Sebagai warga yang baik, saya tidak akan lari, saya tidak akan mengadu. Saya tidak akan takut karena saya tidak merasa bersalah, saya tidak pula merusak persatuan dan kesatuan bangsa," tuturnya.

Atas video tersebut, beberapa pihak melaporkan UAS ke polisi. Setidaknya ada empat pihak yang telah melaporkan UAS, yaitu Horas Bangso Batak (HBB), seorang dosen universitas swasta di Jakarta bernama Manotar Tampubolon, Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), dan Presidium Rakyat Menggugat (PRM).

Abdul Somad di Antara Hukum dan Kemanusiaan

Saya ingat buletin itu. Al-Muhtadin, namanya. Isinya kisah-kisah kesaksian para mualaf yang tergabung dalam Jamaah Al-Muhtadin di Yogyakarta. Saya pernah mengoleksi banyak sekali edisinya.

Sebagai media yang berisi cerita para mualaf, tentu Al-Muhtadin sering membedah agama selain Islam. Kadang bersifat objektif dengan mencermati ajaran-ajaran baku dari agama non-Islam, namun tak jarang pula bersifat subjektif, bahkan emosional karena melibatkan pengalaman-pengalaman personal dari sang mualaf yang memberikan kesaksian.

Pada era media cetak, ada satu kode etik yang pada masa itu dijalankan oleh Al-Muhtadin, yaitu dengan memasang satu kotak di halaman depan, bertuliskan: "Untuk Kalangan Sendiri".

Media seperti Al-Muhtadin itu memang bersifat internal, bukan untuk disebarluaskan di masyarakat umum. Apalagi masa itu Orde Baru sedang kuat-kuatnya, ketika apa pun yang berpotensi menciptakan gesekan SARA di masyarakat luas akan lekas-lekas dibabat.

Dari Al-Muhtadin terlihat bahwa pada zaman cetak suatu informasi yang bersifat terbatas dapat dilokalisasi dengan relatif mudah. Cukup dengan menuliskan "Untuk Kalangan Terbatas", dan cukup dengan mengedarkannya di masjid-masjid serta forum-forum pengajian. Bagian pemasaran buletin itu pun tidak akan nekat meletakkan setumpuk Al-Muhtadin di ruang tunggu kantor kelurahan, misalnya. Apalagi di markas Koramil.