Kamis, 30 Januari 2020

Mengenal Yeti, Mahkluk Misterius di Pegunungan Himalaya

Di balik Pegunungan Himalaya, tersembunyi kisah tentang Yeti, makhluk misterius mirip kera raksasa yang berjalan dengan 2 kaki. Makhluk ini apakah sungguh ada?

Cerita soal Yeti sudah demikian masyhur di kalangan traveler sejak berpuluh-puluh tahun silam. Ada yang meyakini keberadaan makhluk ini nyata, namun ada pula yang menyebut itu hanya cerita pengantar tidur saja.

Dilansir detikcom dari BBC dan juga sumber lainnya, Selasa (30/4/2019), Yeti digambarkan memiliki badan besar, seperti raksasa, bertaring dan berbulu putih lebat. Konon, bentuk badannya seperti perpaduan antara manusia dan kera.

Yeti sudah seperti jadi legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut para pendaki yang hendak menaklukkan Pegunungan Himalaya. Para Sherpa, alias penduduk setempat yang berprofesi sebagai porter bagi para pendaki pun sudah mengenal Yeti dari cerita turun temurun para leluhurnya.

Bagi para Sherpa, Yeti diyakini sebagai sosok buas yang tinggal di kawasan puncak Pegunungan Himalaya. Mereka tidak akrab dengan manusia. Yeti dan manusia diceritakan saling membunuh berabad-abad silam.

Itu juga yang membuat para Sherpa tidak berani berjalan sendirian di Pegunungan Himalaya. Mereka mengganggap Yeti seperti binatang liar yang patut ditakuti.

Berbagai ekspedisi, baik oleh para peneliti maupun para pendaki pun dilakukan untuk mencari eksistensi dan membuktikan keberadaan Yeti. Tahun 1921, seorang penjelajah Inggris bernama Charles Howard-Bury membuat gempar dunia atas penemuannya: menemukan jejak kaki Yeti.

Jejak kaki yang ditemukan Charles bentuknya bukan seperti jejak kaki manusia. Charles bahkan menyebut Yeti sebagai manusia-kera. Setelah penemuan Charles ini, banyak pendaki lain yang ingin 'berburu' sosok Yeti.

Kali ini giliran Eric Shipton, pendaki asal Inggris yang berhasil memotret jejak kaki raksasa di atas salju yang bentuknya bukan seperti telapak kaki manusia di tahun 1951. Satu per satu pendaki mengklaim mereka punya bukti soal Yeti.

Tapi ada juga pendaki yang skeptis soal Yeti. Salah satunya adalah seorang pendaki bernama Reinholed Messner. Messner dengan tegas menyatakan tidak percaya tentang Yeti.

"Yeti sebenarnya adalah beruang. Semua jejak kakinya adalah jejak kaki beruang. Yeti memang nyata, tapi dia itu beruang," tegasnya.

Tim peneliti dari Universitas Oxford di bawah pimpinan Profesor Bryan Sykes pun mendukung pernyataan itu. Mereka melakukan uji DNA atas sampel kulit dan tengkorak yang diyakini sebagai Yeti. Hasilnya sudah bisa langsung diketahui, kalau Yeti sebenarnya adalah persilangan antara beruang kutub dan beruang cokelat.

"Yeti merupakan makhluk persilangan antara beruang kutub dan beruang coklat. Saya yakin Yeti adalah beruang kutub yang berkeliaran di Himalaya," katanya.

Sampel rambut yang dipercaya milik Yeti, cocok dengan sampel rambut beruang kutub yang berkeliaran di Bumi sekitar 40.000 tahun yang lalu. Menurut Sykes, Yeti merupakan keturunan dari nenek moyang beruang kutub. Hasil yang menarik, karena benar-benar tak terduga.

Bisa jadi Yeti merupakan sub spesies dari beruang coklat Himalaya, yang merupakan nenek moyang dari beruang kutub. Yeti bisa juga lahir dari hasil hibridisasi baru dari beruang coklat dan keturunan dari beruang kutub kuno.

Messner menambahkan, sebenarnya cerita-cerita soal Yeti ini termasuk kearifan lokal yang punya tujuan baik. Agar masyarakat tidak nekat berjalan sendirian di Pegunungan Himalaya. Bukannya kenapa-kenapa, tetapi demi keamanan dan keselamatan diri sendiri.

Seperti kita tahu, Pegunungan Himalaya punya cuaca yang dingin ekstrem. Akan lebih baik jika kita melakukan penjelajahan ditemani pemandu yang sudah paham betul dengan kondisi daerah tersebut.

Ferry ke Batam Sampai Limosin, Fasilitas Baru Bandara Changi Singapura

 Transit lama di bandara, tidak ada rasanya saat datang ke Changi. Kini, ada fasilitas teranyar untuk traveler yang singgah di sana.

Changi Airport meluncurkan Changi Rewards Travel, sebuah program loyalitas yang diluncurkan bagi traveler langganan yang sering singgah di Bandara Changi. Indonesia pun berkesempatan menjadi pasar pertama yang mendapatkan fasilitas ini.

Traveler dapat mendaftarkan diri ke website resmi Changi Rewards Travel. Syaratnya, memiliki alamat yang sah di Indonesia, paspor, nomor ponsel Indonesia dengan usia minimal 16 tahun.

Selain itu, traveler juga akan mendapatkan kelas atau tingkatan pengguna yang bisa digunakan untuk mendapat berbagai fasilitas. Terbagi menjadi 3, yakni Classic, Premium dan Elite.

Untuk Classic, traveler perlu mendaftarkan 1-5 penerbangan transfer setiap tahun. Sedangkan premium 6 penerbangan setiap tahun dan Elite 12 penerbangan setahun. Otomatis, sudah bisa mendapatkan sejumlah fasilitasnya.

Namun, apabila ingin mendapatkan kelas tertentu dengan instan, traveler bisa membayar biaya keanggotaan (Pay to Access). Yakni Classic dengan biaya SGD 199 (Rp 2 juta) dan Elite SGD 399 (Rp 4 juta) berlaku untuk 1 tahun.

Ada pun fasilitas yang diterima beraneka ragam. Mulai dari informasi perjalanan, akses lounge saat delay, sampai kompensasi hingga SGD 500 saat ketinggalan penerbangan.

Selain itu, dari fasilitas layanan lainnya traveler bisa mendapat shuttle service di hampir semua Singapura, penitipan koper, limosin bahkan naik ferry gratis ke Batam pulang-pergi.

Ingin merasakan berbagai kemewahan di Changi? Traveler pun bisa mendapatkan lounge access, swimming pool access dan aneka diskon belanja serta kuliner di berbagai merchant Bandara Changi.

Traveler juga bisa lebih mudah mendapatkan fasilitas Changi Rewards Travel melalui aplikasi iChangi. Untuk mendaftarkan boarding pass hanya perlu melakukan scan lewat barcode dan mendapatkan notifikasi informasi penerbangan.

Mengenal Yeti, Mahkluk Misterius di Pegunungan Himalaya

Di balik Pegunungan Himalaya, tersembunyi kisah tentang Yeti, makhluk misterius mirip kera raksasa yang berjalan dengan 2 kaki. Makhluk ini apakah sungguh ada?

Cerita soal Yeti sudah demikian masyhur di kalangan traveler sejak berpuluh-puluh tahun silam. Ada yang meyakini keberadaan makhluk ini nyata, namun ada pula yang menyebut itu hanya cerita pengantar tidur saja.

Dilansir detikcom dari BBC dan juga sumber lainnya, Selasa (30/4/2019), Yeti digambarkan memiliki badan besar, seperti raksasa, bertaring dan berbulu putih lebat. Konon, bentuk badannya seperti perpaduan antara manusia dan kera.

Yeti sudah seperti jadi legenda yang diceritakan dari mulut ke mulut para pendaki yang hendak menaklukkan Pegunungan Himalaya. Para Sherpa, alias penduduk setempat yang berprofesi sebagai porter bagi para pendaki pun sudah mengenal Yeti dari cerita turun temurun para leluhurnya.

Bagi para Sherpa, Yeti diyakini sebagai sosok buas yang tinggal di kawasan puncak Pegunungan Himalaya. Mereka tidak akrab dengan manusia. Yeti dan manusia diceritakan saling membunuh berabad-abad silam.

Itu juga yang membuat para Sherpa tidak berani berjalan sendirian di Pegunungan Himalaya. Mereka mengganggap Yeti seperti binatang liar yang patut ditakuti.

Berbagai ekspedisi, baik oleh para peneliti maupun para pendaki pun dilakukan untuk mencari eksistensi dan membuktikan keberadaan Yeti. Tahun 1921, seorang penjelajah Inggris bernama Charles Howard-Bury membuat gempar dunia atas penemuannya: menemukan jejak kaki Yeti.

Jejak kaki yang ditemukan Charles bentuknya bukan seperti jejak kaki manusia. Charles bahkan menyebut Yeti sebagai manusia-kera. Setelah penemuan Charles ini, banyak pendaki lain yang ingin 'berburu' sosok Yeti.

Kali ini giliran Eric Shipton, pendaki asal Inggris yang berhasil memotret jejak kaki raksasa di atas salju yang bentuknya bukan seperti telapak kaki manusia di tahun 1951. Satu per satu pendaki mengklaim mereka punya bukti soal Yeti.

Tapi ada juga pendaki yang skeptis soal Yeti. Salah satunya adalah seorang pendaki bernama Reinholed Messner. Messner dengan tegas menyatakan tidak percaya tentang Yeti.

"Yeti sebenarnya adalah beruang. Semua jejak kakinya adalah jejak kaki beruang. Yeti memang nyata, tapi dia itu beruang," tegasnya.