Selasa, 03 Maret 2020

Musisi Robi Navicula Kritisi Kontribusi 10 USD Turis ke Bali

Musisi asal Bali Gede Robi atau Robi Navicula angkat bicara soal wacana kontribusi USD 10 dari turis asing. Menurutnya, ini bakal jadi polemik baru.

"Apakah Bali pariwisatanya membuka diri untuk jutaan turis datang, tapi ternyata habis itu mereka kapok ketika jalan di Bali jalannya macet karena nggak cukup untuk menampung turis. Atau untuk menyeleksi turis saja yang masuk atau bagaimana arahnya? Kalau membuka sebanyak-banyaknya tapi dengan USD 10 itu kontradiktif, tapi kalau misalnya untuk menjaga alam budaya dan semua ini kan membawa sebuah polemik baru," kata Robi di Denpasar, Bali, Kamis (31/1/2019).

Robi lalu menyoroti penggunaan duit kontribusi wisata itu untuk pembangunan alam dan budaya Bali. Dia berharap duit kontribusi tersebut tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur melainkan memelihara alam yang sudah ada.

"Kalau duitnya terkumpul tapi buat bangun beton ya buat apa. Kapasitas Bali sekarang itu kupikir masih, harus menetapkan kondisi ideal, harus menetapkan kondisi visual, kondisi ideal pariwisata Bali yang bagaimana, banyak restoran, banyak hotel? Coba kita lihat kondisi peak season hotel di Bali, paling banyak 50 persen, (sementara) Bali selatan surplus 908 ribu kamar," tutur musisi yang concern terharap lingkungan itu.

"Izinnya itu saja dulu perbaikin gitu loh, stop moratorium pembangunan bali selatan. kalau menurutku, tapi terserah kan. Just stick pada konsep pariwisata alam dan budaya itu rohnya Bali, itu taksunya Bali. Apa itu alam, apa itu budaya, semuanya itu belajar pada kalender Ketut Bangbang Gde Rawi, balik dulu kursus di situ, pahami kalender itu baru belajar di situ, sebelum semua itu nonsense," cetus Robi.

Dia pun mengingatkan pemerintah harus jelas betul memahami konteks pelestarian budaya dan alam sebelum menarik kontribusi dari para turis asing. Jangan sampai jika dana sudah terkumpul malah digunakan untuk merusak alam.

"Maunya apa dengan alam dan budaya ini, entar jangan-jangan ternyata ada ini bikin mal di Bedugul, sementara di sana untuk apa pura-pura dibangun di gunung supaya apa? Untuk menjaga hutan, hutan ini menjaga mata air, karena semua gunung menjaga mata air. Oh kita menjaga budaya nih, puranya kita biarin, tapi kita pangkas hutan jadi mal. Pura ini hanya simbol bahwa hutan ini nggak boleh diapa-apain," tegasnya.

"Kalau aku pikir sih orang pengambil kebijakan sih, konteksnya belum holistik. Karena begitu uang terlibat... Indonesia saja atas nama percepatan pertumbuhan ekonomi membabat kekayaan alamnya sendiri yaitu hutan," ujarnya.

Manfaat Traveling untuk Milenial: Belajar Toleransi dan Obat Kegalauan

Melancong bukan sekadar mengunjungi tempat baru. Ternyata bagi generasi milenial, ada manfaat lain yang penting dari traveling bagi kejiwaan mereka.

Pergi traveling, apalagi ke tempat baru, yang tidak biasa kita temui memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Tentu, hal ini menimbulkan reaksi bagi berbagai orang, namun ternyata ada 'silver lining' yang bisa kita petik.

Salah satunya ada toleransi atau memahami perbedaan. Menurut Pengamat Sosial dan Ketua Program Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, traveling memaksa orang untuk akrab dengan perbedaan. Individu tersebut akan melihat orang lain dengan beda suku, agama atau ras.

"Ketika pergi ke berbagai tempat, mau tidak mau, akan bertemu dengan orang dari berbagai suku, agama, dan ras. Mereka akan menyadari misalnya bahwa mereka harus mampu memiliki toleransi yang besar terhadap semua orang. Mengingat kalau di tempat asalnya semua orang sama, namun di tempat lain bisa jadi dia adalah minoritas. Sehingga sepulang dari berlibur dia akan memiliki modalitas untuk lebih menerima perbedaan dan menjauhi diskriminitas," ujarnya saat dihubungi detikTravel Rabu, (30/1/2019).

Devie juga seorang traveler yang telah menjelajahi 29 negara dan 35 kota ini juga menjelaskan bahwa traveling ke tempat baru juga mengajarkan individu untuk tidak berbuat seenaknya. Hal ini, menjadi salah satu poin yang ditanamkan dari toleransi.

"Misalnya, kita di Indonesia, Muslim mayoritas, ke luar negeri minoritas. Bisa belajar, oh iya ya, kita nggak boleh belagu nih, mentang-mentang mayoritas. Misalnya bagaimana Inggris memperlakukan minoritas, mereka sangat toleran. Jadi ketika balik Indonesia nggak boleh seenaknya. Nggak cuma SARA, tapi juga materi. Ketika Anda kaya, ada orang kaya yang nggak meremehkan orang miskin karena mereka punya kemampuan kelebihan. Lebih bisa menerima perbedaan jadinya," tambahnya.

Tiket Pesawat Mahal, Penjualan Paket Wisata di Riau Menurun

Para pelaku usaha wisata di Riau mengeluhkan masih mahalnya harga tiket pesawat. Akibatnya penjualan paket wisata jadi menurun.

Pengusaha tergabung di Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (ASITA) Riau mengeluhkan masih mahalnya harga tiket pesawat ini. Kondisi tersebut menurunkan daya kunjung wisatawan ke Bumi Lancang Kuning.

"Sejak mahalnya harga tiket pesawat, ini sangat berdampak pada usaha wisata di Riau," kata Ketua ASITA Riau, Dede Firmansyah kepada detikTravel di Pekanbaru, Kamis (31/1/2019).

Dede menjelaskan, kondisi harga tiket yang tinggi saat ini, dengan sendirinya akan berkurang minat paket wisata dalam negeri. Kunjungan wisatawan asing bisa jadi beralih ke Malaysia dan Singapura.

Dede menyebutkan, saat ini harga tiket pesawat dari Pekanbaru ke Jakarta rata-rata di atas Rp 1 juta. Harga itu jauh lebih tinggi dari harga sebelumnya.

"Harga sebelumnya biasanya ditawarkan para agen mulai Rp 600-an ribu. Sekarang harganya di atas Rp 1 jutaan itu belum bayar bagasi lagi," katanya.

Saat ini pihak ASITA di Riau menawarkan paket wisata ke perusahaan dan komunitas dengan transportasi darat. Ini sebagai alternatif tawaran ke wisatawan sejak mahalnya harga tiket pesawat.

"Sekarang anggota kami menawarkan tiket wisata ke Sumatera Utara dan Sumatera Barat dari Riau dengan menggunakan bus. Begitu juga wisata domestik sekarang bearlih ke wisata negara tetangga," kata Dede.

Pihak ASITA Riau meminta Menpar Aried Yahya untuk membantu mencarikan solusi akan mahalnya tiket tersebut. Sejauh ini Menpar belum memberikan pernyataan apapun terkait hal itu.

"Sejak harga tiket pesawat mahal, belum ada pernyataan dari Menpar Arief Yahya. Ini yang sangat kami sayangkan," kata Dede.

Padahal, sambungnya, pemerintah melalui Kemenpar mencanangkan terget kunjungan wisatawan Nusantara hingga 250 juta di tahun 2019. "Dengan kondisi harga tiket yang tinggi, tentu target itu tidak bisa tercapai," kata Dede.

Musisi Robi Navicula Kritisi Kontribusi 10 USD Turis ke Bali

Musisi asal Bali Gede Robi atau Robi Navicula angkat bicara soal wacana kontribusi USD 10 dari turis asing. Menurutnya, ini bakal jadi polemik baru.

"Apakah Bali pariwisatanya membuka diri untuk jutaan turis datang, tapi ternyata habis itu mereka kapok ketika jalan di Bali jalannya macet karena nggak cukup untuk menampung turis. Atau untuk menyeleksi turis saja yang masuk atau bagaimana arahnya? Kalau membuka sebanyak-banyaknya tapi dengan USD 10 itu kontradiktif, tapi kalau misalnya untuk menjaga alam budaya dan semua ini kan membawa sebuah polemik baru," kata Robi di Denpasar, Bali, Kamis (31/1/2019).

Robi lalu menyoroti penggunaan duit kontribusi wisata itu untuk pembangunan alam dan budaya Bali. Dia berharap duit kontribusi tersebut tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur melainkan memelihara alam yang sudah ada.

"Kalau duitnya terkumpul tapi buat bangun beton ya buat apa. Kapasitas Bali sekarang itu kupikir masih, harus menetapkan kondisi ideal, harus menetapkan kondisi visual, kondisi ideal pariwisata Bali yang bagaimana, banyak restoran, banyak hotel? Coba kita lihat kondisi peak season hotel di Bali, paling banyak 50 persen, (sementara) Bali selatan surplus 908 ribu kamar," tutur musisi yang concern terharap lingkungan itu.

"Izinnya itu saja dulu perbaikin gitu loh, stop moratorium pembangunan bali selatan. kalau menurutku, tapi terserah kan. Just stick pada konsep pariwisata alam dan budaya itu rohnya Bali, itu taksunya Bali. Apa itu alam, apa itu budaya, semuanya itu belajar pada kalender Ketut Bangbang Gde Rawi, balik dulu kursus di situ, pahami kalender itu baru belajar di situ, sebelum semua itu nonsense," cetus Robi.

Dia pun mengingatkan pemerintah harus jelas betul memahami konteks pelestarian budaya dan alam sebelum menarik kontribusi dari para turis asing. Jangan sampai jika dana sudah terkumpul malah digunakan untuk merusak alam.