Dulunya Swaziland, kini berganti eSwatini. Inilah kisah negara yang berganti nama di Afrika, demi harga diri suatu bangsa.
Swaziland mengejutkan dunia pada bulan April 2018 silam. Negara kecil di bagian selatan Afrika (tepatnya di dalam negara Afrika Selatan dan tidak memiliki pantai) ini, mengubah namanya menjadi eSwatini.
Raja Mswati III, pemimpin negaranya yang mencanangkan dan melakukan perubahan nama tersebut. Meski banyak mendapat kritik, nyatanya dia teguh pada keyakinannya. Pun penduduknya, begitu riang gembira dengan nama baru negaranya.
Dilansir detikTravel dari berbagai sumber, Senin (28/1/2019) eSwatini punya memiliki arti 'tanah Swazis'. Swazis atau Swazi merupakan suku asli dari negaranya, yang juga menempati beberapa bagian di Afrika Selatan.
Sedangkan nama Swaziland, diberikan oleh penjajah Inggris dan tetap dipakai saat kemerdekaan negaranya pada tahun 1968. Nah, Raja Mswati III tampaknya tidak terlalu suka menggunakan nama Swaziland. Selain karena namanya mirip dengan Swiss, dia ingin benar-benar menggembalikan jati diri dan harga diri bangsanya. Hingga dipilihlah, eSwatini.
Tentu, mengubah nama negara juga berdampak ke beberapa hal lain. BBC menulis, harus banyak beberapa hal juga yang harus diubah seperti uang di sana masih memiliki nama Bank Sentral Swaziland, harus mendaftarkan nama barunya pada PBB, mengganti semua website pemerintahan yang masih menggunakan nama Swaziland dan sampai hal kecil mengubah kode negaranya SWZ (Swaziland).
Tapi toh, itu dinilai bukan suatu masalah besar bagi penduduknya. Justru, para penduduk begitu bangga dan siap mengenalkan nama baru negaranya pada dunia.
"Ini adalah nama sah dari negara kami," kata salah seorang penduduk eSwatini, Jiggs Thorn.
eSwatini pun menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata. Selain panorama alam yang indah dari rangkaian pegunungan, hutan rimba dan lembah, penduduknya terkenal akan keramahtamahan. Suatu modal yang bagus bagi negara yang luasnya hanya 17 ribu km persegi.
"Saya suka kedamaian, keindahan alam, kebebasan, orang-orang yang ramah dan iklimnya," kata Robert Jupp, manager dari penginapan Mantenga Lodge di eSwatini.
Ruth Buck, pria lainnya asal Afrika Selatan yang mengelola akomodasi Foresters Arms Hotel di sana juga mengucapkan hal yang sama. Awalnya dia datang hanya untuk 2 minggu, tapi setelah itu memutuskan untuk menetap di eSwatini.
"Orang-orang di sini sangat ramah, humoris dan murah hati. Sangat nyaman tinggal di sini," katanya.
Meski begitu, perekonomian eSwatini terbilang buruk. Dari data CPA Africa region World Bank Projects, 34 persen dari 1 juta penduduknya pengangguran. Belum lagi, harapan hidup warganya di angka rata-rata 49 tahun, termasuk salah satu terendah di dunia.
Pemerintah terus berjuang untuk membenahi segala sektor, termasuk yang mendapat rapor merah adalah pelayanan kesehatan. Kebanyakan, penduduk eSwatini melipir ke Afrika Selatan untuk berobat karena peralatan medis dan obat-obatan yang lebih lengkap.
Kini, pariwisata merupakan salah satu andalan eSwatini. Dengan nama barunya, harapannya adalah membuat orang penasaran dan datang ke sana. Negara kecil yang siap membuat siapa saja jatuh cinta.