Rabu, 04 Maret 2020

Bahrain Akan Buka Taman Rekreasi Bawah Laut Terbesar di Dunia

Bahrain siap menyaingi Dubai dalam hal pariwisata. Taman rekreasi underwater terbesar di dunia akan segera dibuka di Bahrain tahun ini.

Bahrain sepertinya tidak mau kalah dengan Dubai dalam hal pariwisata. Bahrain siap membuka taman rekreasi bawah laut terbesaar di dunia pada musim panas 2019 ini. Pengumuman itu disampaikan oleh Bahrain Tourism & Exhibition Authority.

Dihimpun detikTravel dari beberapa sumber, Senin (28/1/2019), taman rekreasi ini memiliki ukuran sekitar 100 ribu meter persegi. Di dalamnya, nanti akan ada beberapa bangunan megah.

Ada replika bangunan pengolah mutiara yang masih tradisional, terumbu karang buatan, dan juga berbagai patung beraneka bentuk. Bahkan rencananya, mereka akan menenggelamkan sebuah pesawat terbang Boeing 747 di taman rekreasi tersebut.

Pihak terkait menjamin bahwa taman rekreasi ini menggunakan bahan-bahan yang eco-friendly alias ramah lingkungan. Jadi para biota laut akan tetap bisa hidup tanpa takut lautnya tercemar polutan.

Diharapkan destinasi ini akan jadi wisata snorkeling dan diving yang menarik bagi wisatawan di Timur Tengah. Sekaligus mengingatkan traveler akan sejarah Bahrain sebagai negara penghasil mutiara.

Sebelum seperti sekarang, orang Bahrain dulu berburu mutiara dengan cara menyelam sampai ke dasar laut. Selain itu, destinasi ini juga bertujuan untuk menyembuhkan kerusakan terumbu karang yang terjadi di laut Bahrain selama satu dekade terakhir. 

Kreatif! Sarjana Ini Jadi Pembuat Alat Musik Tradisional Minang

Seorang pemuda dari Desa Sikapak Timur, Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman, Sumatera Barat, Olia Efendi (21) membuat alat musik tiup Minangkabau. Berukir tabuik, alat itu yang dipasarkan melalui internet ke sejumlah daerah di Indonesia.

"Rata-rata pemesannya sih dari luar Sumbar," kata dia di Pariaman seperti dilansir Antara, Senin (28/1/2019).

Ia mengatakan ada lima jenis alat musik tiup Minangkabau yang dibuat dan dipasarkan oleh pemuda yang baru menyelesaikan studinya di salah satu perguruan tinggi di Kota Pariaman itu. Alat musik tiup tersebut yaitu saluang, sampelong, pupuik lambok, bansi, dan sarunai yang bahannya sama-sama dari bambu.

Alat musik tiup tersebut dijual mulai dari harga Rp 100 ribu hingga Rp 120 ribu per unit. Rata-rata penjualannya melalui internet di setiap bulan baru sekitar 10 unit saja.

Penjualan tersebut akan meningkat pada waktu tertentu yang mana pembelinya mahasiswa Institut Seni Indonesia Padang Panjang. "Kalau mereka pesannya langsung banyak," ujarnya.

Ia mengatakan ciri khas alat musik tiup buatannya yaitu berukir gambar tabuik dan rangkiang pada rumah gadang Minangkabau. Ukiran tersebut tidak saja untuk ciri khas namun untuk memperkenalkan tabuik karena merupakan salah satu tradisi budaya dan menjadi even pariwisata di Kota Pariaman.

Untuk mengikir bambu tersebut, Fendi menggunakan charger telepon genggam yang dimodifikasi sehingga menghasilkan panas. "Panas tersebutlah yang akan membakar bagian luar bambu pada alat musik tiup ini," katanya.

Ia menyampaikan kemampuannya dalam membuat alat musik tiup Minangkabau tersebut didapatkan secara otodidak ketika aktif pada salah satu sanggar seni di Pariaman. Keinginannya untuk membuat alat musik tiup tersebut berawal dari mulai punahnya perhatian generasi muda dalam melestarikan kebudayaan Minangkabau.

Selain sibuk membuat alat musik tiup, dia juga memiliki kesibukan mengajarkan pelajar di desa tersebut menggunakan tambua tasa. 

eSwatini, Negara yang Berganti Nama Demi Harga Diri

Dulunya Swaziland, kini berganti eSwatini. Inilah kisah negara yang berganti nama di Afrika, demi harga diri suatu bangsa.

Swaziland mengejutkan dunia pada bulan April 2018 silam. Negara kecil di bagian selatan Afrika (tepatnya di dalam negara Afrika Selatan dan tidak memiliki pantai) ini, mengubah namanya menjadi eSwatini.

Raja Mswati III, pemimpin negaranya yang mencanangkan dan melakukan perubahan nama tersebut. Meski banyak mendapat kritik, nyatanya dia teguh pada keyakinannya. Pun penduduknya, begitu riang gembira dengan nama baru negaranya.

Dilansir detikTravel dari berbagai sumber, Senin (28/1/2019) eSwatini punya memiliki arti 'tanah Swazis'. Swazis atau Swazi merupakan suku asli dari negaranya, yang juga menempati beberapa bagian di Afrika Selatan.

Sedangkan nama Swaziland, diberikan oleh penjajah Inggris dan tetap dipakai saat kemerdekaan negaranya pada tahun 1968. Nah, Raja Mswati III tampaknya tidak terlalu suka menggunakan nama Swaziland. Selain karena namanya mirip dengan Swiss, dia ingin benar-benar menggembalikan jati diri dan harga diri bangsanya. Hingga dipilihlah, eSwatini.

Tentu, mengubah nama negara juga berdampak ke beberapa hal lain. BBC menulis, harus banyak beberapa hal juga yang harus diubah seperti uang di sana masih memiliki nama Bank Sentral Swaziland, harus mendaftarkan nama barunya pada PBB, mengganti semua website pemerintahan yang masih menggunakan nama Swaziland dan sampai hal kecil mengubah kode negaranya SWZ (Swaziland).

Tapi toh, itu dinilai bukan suatu masalah besar bagi penduduknya. Justru, para penduduk begitu bangga dan siap mengenalkan nama baru negaranya pada dunia.

"Ini adalah nama sah dari negara kami," kata salah seorang penduduk eSwatini, Jiggs Thorn.

eSwatini pun menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata. Selain panorama alam yang indah dari rangkaian pegunungan, hutan rimba dan lembah, penduduknya terkenal akan keramahtamahan. Suatu modal yang bagus bagi negara yang luasnya hanya 17 ribu km persegi.

"Saya suka kedamaian, keindahan alam, kebebasan, orang-orang yang ramah dan iklimnya," kata Robert Jupp, manager dari penginapan Mantenga Lodge di eSwatini.

Ruth Buck, pria lainnya asal Afrika Selatan yang mengelola akomodasi Foresters Arms Hotel di sana juga mengucapkan hal yang sama. Awalnya dia datang hanya untuk 2 minggu, tapi setelah itu memutuskan untuk menetap di eSwatini.

"Orang-orang di sini sangat ramah, humoris dan murah hati. Sangat nyaman tinggal di sini," katanya.

Meski begitu, perekonomian eSwatini terbilang buruk. Dari data CPA Africa region World Bank Projects, 34 persen dari 1 juta penduduknya pengangguran. Belum lagi, harapan hidup warganya di angka rata-rata 49 tahun, termasuk salah satu terendah di dunia.

Pemerintah terus berjuang untuk membenahi segala sektor, termasuk yang mendapat rapor merah adalah pelayanan kesehatan. Kebanyakan, penduduk eSwatini melipir ke Afrika Selatan untuk berobat karena peralatan medis dan obat-obatan yang lebih lengkap.

Kini, pariwisata merupakan salah satu andalan eSwatini. Dengan nama barunya, harapannya adalah membuat orang penasaran dan datang ke sana. Negara kecil yang siap membuat siapa saja jatuh cinta.