Rabu, 04 Maret 2020

eSwatini, Negara yang Berganti Nama Demi Harga Diri

Dulunya Swaziland, kini berganti eSwatini. Inilah kisah negara yang berganti nama di Afrika, demi harga diri suatu bangsa.

Swaziland mengejutkan dunia pada bulan April 2018 silam. Negara kecil di bagian selatan Afrika (tepatnya di dalam negara Afrika Selatan dan tidak memiliki pantai) ini, mengubah namanya menjadi eSwatini.

Raja Mswati III, pemimpin negaranya yang mencanangkan dan melakukan perubahan nama tersebut. Meski banyak mendapat kritik, nyatanya dia teguh pada keyakinannya. Pun penduduknya, begitu riang gembira dengan nama baru negaranya.

Dilansir detikTravel dari berbagai sumber, Senin (28/1/2019) eSwatini punya memiliki arti 'tanah Swazis'. Swazis atau Swazi merupakan suku asli dari negaranya, yang juga menempati beberapa bagian di Afrika Selatan.

Sedangkan nama Swaziland, diberikan oleh penjajah Inggris dan tetap dipakai saat kemerdekaan negaranya pada tahun 1968. Nah, Raja Mswati III tampaknya tidak terlalu suka menggunakan nama Swaziland. Selain karena namanya mirip dengan Swiss, dia ingin benar-benar menggembalikan jati diri dan harga diri bangsanya. Hingga dipilihlah, eSwatini.

Tentu, mengubah nama negara juga berdampak ke beberapa hal lain. BBC menulis, harus banyak beberapa hal juga yang harus diubah seperti uang di sana masih memiliki nama Bank Sentral Swaziland, harus mendaftarkan nama barunya pada PBB, mengganti semua website pemerintahan yang masih menggunakan nama Swaziland dan sampai hal kecil mengubah kode negaranya SWZ (Swaziland).

Tapi toh, itu dinilai bukan suatu masalah besar bagi penduduknya. Justru, para penduduk begitu bangga dan siap mengenalkan nama baru negaranya pada dunia.

"Ini adalah nama sah dari negara kami," kata salah seorang penduduk eSwatini, Jiggs Thorn.

eSwatini pun menggantungkan hidupnya dari sektor pariwisata. Selain panorama alam yang indah dari rangkaian pegunungan, hutan rimba dan lembah, penduduknya terkenal akan keramahtamahan. Suatu modal yang bagus bagi negara yang luasnya hanya 17 ribu km persegi.

"Saya suka kedamaian, keindahan alam, kebebasan, orang-orang yang ramah dan iklimnya," kata Robert Jupp, manager dari penginapan Mantenga Lodge di eSwatini.

Ruth Buck, pria lainnya asal Afrika Selatan yang mengelola akomodasi Foresters Arms Hotel di sana juga mengucapkan hal yang sama. Awalnya dia datang hanya untuk 2 minggu, tapi setelah itu memutuskan untuk menetap di eSwatini.

"Orang-orang di sini sangat ramah, humoris dan murah hati. Sangat nyaman tinggal di sini," katanya.

Meski begitu, perekonomian eSwatini terbilang buruk. Dari data CPA Africa region World Bank Projects, 34 persen dari 1 juta penduduknya pengangguran. Belum lagi, harapan hidup warganya di angka rata-rata 49 tahun, termasuk salah satu terendah di dunia.

Pemerintah terus berjuang untuk membenahi segala sektor, termasuk yang mendapat rapor merah adalah pelayanan kesehatan. Kebanyakan, penduduk eSwatini melipir ke Afrika Selatan untuk berobat karena peralatan medis dan obat-obatan yang lebih lengkap.

Kini, pariwisata merupakan salah satu andalan eSwatini. Dengan nama barunya, harapannya adalah membuat orang penasaran dan datang ke sana. Negara kecil yang siap membuat siapa saja jatuh cinta.

Selasa, 03 Maret 2020

Musisi Robi Navicula Kritisi Kontribusi 10 USD Turis ke Bali

Musisi asal Bali Gede Robi atau Robi Navicula angkat bicara soal wacana kontribusi USD 10 dari turis asing. Menurutnya, ini bakal jadi polemik baru.

"Apakah Bali pariwisatanya membuka diri untuk jutaan turis datang, tapi ternyata habis itu mereka kapok ketika jalan di Bali jalannya macet karena nggak cukup untuk menampung turis. Atau untuk menyeleksi turis saja yang masuk atau bagaimana arahnya? Kalau membuka sebanyak-banyaknya tapi dengan USD 10 itu kontradiktif, tapi kalau misalnya untuk menjaga alam budaya dan semua ini kan membawa sebuah polemik baru," kata Robi di Denpasar, Bali, Kamis (31/1/2019).

Robi lalu menyoroti penggunaan duit kontribusi wisata itu untuk pembangunan alam dan budaya Bali. Dia berharap duit kontribusi tersebut tidak digunakan untuk pembangunan infrastruktur melainkan memelihara alam yang sudah ada.

"Kalau duitnya terkumpul tapi buat bangun beton ya buat apa. Kapasitas Bali sekarang itu kupikir masih, harus menetapkan kondisi ideal, harus menetapkan kondisi visual, kondisi ideal pariwisata Bali yang bagaimana, banyak restoran, banyak hotel? Coba kita lihat kondisi peak season hotel di Bali, paling banyak 50 persen, (sementara) Bali selatan surplus 908 ribu kamar," tutur musisi yang concern terharap lingkungan itu.

"Izinnya itu saja dulu perbaikin gitu loh, stop moratorium pembangunan bali selatan. kalau menurutku, tapi terserah kan. Just stick pada konsep pariwisata alam dan budaya itu rohnya Bali, itu taksunya Bali. Apa itu alam, apa itu budaya, semuanya itu belajar pada kalender Ketut Bangbang Gde Rawi, balik dulu kursus di situ, pahami kalender itu baru belajar di situ, sebelum semua itu nonsense," cetus Robi.

Dia pun mengingatkan pemerintah harus jelas betul memahami konteks pelestarian budaya dan alam sebelum menarik kontribusi dari para turis asing. Jangan sampai jika dana sudah terkumpul malah digunakan untuk merusak alam.

"Maunya apa dengan alam dan budaya ini, entar jangan-jangan ternyata ada ini bikin mal di Bedugul, sementara di sana untuk apa pura-pura dibangun di gunung supaya apa? Untuk menjaga hutan, hutan ini menjaga mata air, karena semua gunung menjaga mata air. Oh kita menjaga budaya nih, puranya kita biarin, tapi kita pangkas hutan jadi mal. Pura ini hanya simbol bahwa hutan ini nggak boleh diapa-apain," tegasnya.

"Kalau aku pikir sih orang pengambil kebijakan sih, konteksnya belum holistik. Karena begitu uang terlibat... Indonesia saja atas nama percepatan pertumbuhan ekonomi membabat kekayaan alamnya sendiri yaitu hutan," ujarnya.

Manfaat Traveling untuk Milenial: Belajar Toleransi dan Obat Kegalauan

Melancong bukan sekadar mengunjungi tempat baru. Ternyata bagi generasi milenial, ada manfaat lain yang penting dari traveling bagi kejiwaan mereka.

Pergi traveling, apalagi ke tempat baru, yang tidak biasa kita temui memaksa untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Tentu, hal ini menimbulkan reaksi bagi berbagai orang, namun ternyata ada 'silver lining' yang bisa kita petik.

Salah satunya ada toleransi atau memahami perbedaan. Menurut Pengamat Sosial dan Ketua Program Vokasi Komunikasi Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, traveling memaksa orang untuk akrab dengan perbedaan. Individu tersebut akan melihat orang lain dengan beda suku, agama atau ras.

"Ketika pergi ke berbagai tempat, mau tidak mau, akan bertemu dengan orang dari berbagai suku, agama, dan ras. Mereka akan menyadari misalnya bahwa mereka harus mampu memiliki toleransi yang besar terhadap semua orang. Mengingat kalau di tempat asalnya semua orang sama, namun di tempat lain bisa jadi dia adalah minoritas. Sehingga sepulang dari berlibur dia akan memiliki modalitas untuk lebih menerima perbedaan dan menjauhi diskriminitas," ujarnya saat dihubungi detikTravel Rabu, (30/1/2019).

Devie juga seorang traveler yang telah menjelajahi 29 negara dan 35 kota ini juga menjelaskan bahwa traveling ke tempat baru juga mengajarkan individu untuk tidak berbuat seenaknya. Hal ini, menjadi salah satu poin yang ditanamkan dari toleransi.

"Misalnya, kita di Indonesia, Muslim mayoritas, ke luar negeri minoritas. Bisa belajar, oh iya ya, kita nggak boleh belagu nih, mentang-mentang mayoritas. Misalnya bagaimana Inggris memperlakukan minoritas, mereka sangat toleran. Jadi ketika balik Indonesia nggak boleh seenaknya. Nggak cuma SARA, tapi juga materi. Ketika Anda kaya, ada orang kaya yang nggak meremehkan orang miskin karena mereka punya kemampuan kelebihan. Lebih bisa menerima perbedaan jadinya," tambahnya.