Minggu, 05 April 2020

Cara Pembatalan Tiket Kereta Api via KAI Acces, Ini 5 Langkahnya

Tidak semua yang diharapkan bisa berjalan sesuai dengan rencana, termasuk pergi menggunakan kereta. Apalagi karena penyebaran virus corona, banyak kereta yang perjalanannya dibatalkan.
Namun, tak perlu khawatir untuk pembatalan tiket kereta karena bisa dilakukan dengan mudah.

Pembatalan tiket kereta bisa dilakukan di KAI Acces. Langkah yang dilakukan pun cukup mudah karena dilakukan secara online dan bisa pada jam berapa saja. Seperti apa langkahnya?

Cara Pembatalan Tiket Kereta Api:
1. Buka Aplikasi
Download aplikasi KAI Acces pada handphone. Buka aplikasi dan login. Lalu, pilih menu 'My Trips' dan klik kode booking tiket yang ingin dibatalkan.

Bagi kamu yang memesan via aplikasi pemesanan lain, pembatalan tiket kereta bisa juga dilakukan via KAI Acces. Caranya, cukup pastikan nomor identitas dalam tiket yang dipesan sesuai dengan yang terdaftar di KAI Acces.

2. Klik Pembatalan
Setelah muncul E-Ticket pada layar, klik 'Pembatalan'. Langkah ini bisa dilakukan maksimal 24 jam sebelum waktu keberangkatan kereta.

3. Persetujuan
Langkah selanjutnya adalah memilih nama penumpang yang ingin perjalanannya dibatalkan. Lalu klik 'Selanjutnya' dan baca syarat serta ketentuan untuk persetujuan.

Klik centang untuk setuju.

4. Data Bank
Biaya tiket pembatalan akan dikembalikan via transfer. Maka dari itu, pengguna harus mengisi akun bank dengan benar. Selanjutnya, pastikan semua data yang telah dimasukkan sesuai.

Sebagai informasi, pengembalian tiket akan dilakukan setelah 30-45 hari.

5. Pembatalan Berhasil
Klik 'Konfirmasi dan Lanjutkan' maka pembatalan tiket kereta berhasil dilakukan. Biaya tiket pembatalan akan dikembalikan dengan potongan biaya administrasi sebesar 25% dari harga tiket di luar bea pesan.

Positif Corona, Dua Wisatawan Digugat Pemerintah Jeju

Dua wanita mengunjungi pulau Jeju di tengah Pandemi Corona. Mereka tetap memilih meneruskan liburan saat salah satunya telah mengalami gejala COVID-19.
Seperti dilansir dari CNN Travel, seorang ibu berusia 52 tahun dan putrinya yang berusia 19 tahun baru kembali ke Korea Selatan setelah melakukan study di Boston, digugat oleh pemerintah provinsi Jeju. Anak dan ibu ini melakukan liburan padahal salah satu di antara mereka memiliki gejala virus Corona.

Ibu dan anak perempuan ini tiba di Jeju pada 20 Maret 2020. Padahal putrinya yang baru pulang dari luar negeri lima hari yang lalu telah disarankan untuk melakukan karantina mandiri.

Dia mulai merasakan gejala virus Corona keesokan harinya pada tanggal 21 Maret 2020. Anehnya, mereka masih memaksakan berada di pulau itu selama 4 hari dan telah melakukan kontak dengan sekitar 47 orang di 20 lokasi.

Menurut kantor kesehatan Gangnamgu, setelah kembali ke rumah di distrik Gangnam, Seoul, mereka pun memeriksakan diri di klinik umum. Keduanya pun dinyatakan positif terpapar virus Corona.

Provinsi Jeju mengajukan gugatan perdata terhadap ibu dan anak ini di Pengadilan Distrik Jeju. Mereka harus membayar sebesar 132 won. Gugatan tidak hanya diajukan oleh pemerintah provinsi Jeju, namun juga dari warga Jeju yang harus dikarantina sejak berinteraksi dengan dua wanita ini, juga dari dua bisnis di pulau yang terpaksa ditutup.

"Saya berharap dapat mengirimkan peringatan keras terhadap tindakan yang mengancam perjuangan mematikan dari para medis, upaya para pekerja pencegahan penyakit dan partisipasi orang-orang yang berjuang melawan virus Corona," kata Gubernur Jeju, Won Hee-ryong dalam sebuah pernyataan.

Provinsi Jeju juga menekankan bahwa anak perempuan yang terpapar virus Corona ini gagal menegakkan tugasnya sebagai anggota masyarakat. Dia juga menyalahkan ibunya yang bergabung dengan putrinya untuk berlibur bahkan menyediakan uang untuk perjalanan mereka.

Pariwisata Bali dan Multikulturalisme

Pariwisata Bali populer di kalangan wisatawan asing hingga dalam negeri. Hal itu pun disebabkan oleh budaya multikulturalisme yang ada di sana sejak lama.
Indonesia yang memiliki kekayaan budaya didalamnya pun juga tidak luput dari pengaruh globalisasi dan kontak dunia luar. Hal ini dapat dilihat sejak zaman datangnya bangsa Eropa ke Indonesia yang memengaruhi cara hidup dan berpikir masyarakat Indonesia.

Arus globalisasi yang masuk melampaui batas-batas ruang dan waktu turut memengaruhi pariwisata di Indonesia, khususnya Bali. Di Indonesia mulai tahun 1910-1920, Belanda membuka biro pariwisata VTV (Vereeniging Toeristen Verker) atas keluarnya keputusan Gubernur Jendral. Selanjutnya, terbentuk agen perjalanan LISLIND dan NITOUR di Batavia yang berpusat di Belanda.

Destinasi wisata utama yang ditawarkan oleh Belanda adalah Bali, tetapi atraksi wisata yang ditawarkan bukan hanya keeksotisan pantai atau gunung saja, melainkan juga perempuan lokal yang bertelanjang dada. Pada saat itu, kebudayaan Jawa dan Bali masih dikenal primitif, perempuan-perempuan tidak mengenakan pakaian untuk menutupi dada, hal ini merupakan sesuatu yang unik dan vulgar menurut masyarakat Belanda sehingga membuat mereka tertarik untuk mengunjungi Bali.

Pariwisata di Bali masih berkembang sampai saat ini. Hal ini dapat terjadi karena adanya hubungan antara penduduk lokal, pembisnis pariwisata, pengembang pariwisata, dan wisatawan. Hubungan yang terbentuk bukan hanya hubungan secara fiskal dan ekonomis, melainkan juga secara kultural.

Wisatawan, penduduk lokal, dan migran yang datang untuk mencari peluang usaha di Bali tentu tidak bisa melepaskan kebudayaan yang dibawanya. Wisatawan memiliki kebudayaan sendiri yang dibawa dari negara atau daerahnya, penduduk lokal juga memiliki kebudayaan sendiri, migran baik yang berasal dari luar negeri maupun berbagai suku bangsa di Indonesia seperti Batak, Sasak, Madura juga membawa sistem budaya yang melekat dalam diri. Hal tersebut tentu menyebabkan terbentuknya masyarakat multikultural di Bali.

Aspek-aspek budaya dan atraksi wisata yang ditawarkan juga turut mengikuti tatanan masyarakat yang multikultural. Atraksi wisata yang diambil dari budaya lokal masyarakat setempat, seperti kesenian tari kecak, tari barong, musik gamelan, dan tradisi ritual masyarakat lokal.

Begitu pula Pariwisata Bali. Bukan hanya menawarkan aspek budaya masyarakat lokal sebagai atraksi wisata, tetapi juga mengikuti selera wisatawan. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya pusat-pusat hiburan seperti restoran dan hotel yang bertaraf internasional. Adanya spa atau panti pijat, bar dan diskotik yang di pusat keramaian juga ditawarkan mengikuti selera wisatawan.

Dengan demikian, keadaan pariwisata Bali menyebabkan masuknya masyarakat yang heterogen sehingga muncul multikulturalisme. Multikulturalisme di Bali dapat terjadi karena adanya penerimaan dan pengakuan adanya perbedaan sehingga tercipta keharmonisan satu sama lain.