Kamis, 16 April 2020

Kembali Positif Setelah Sembuh dari Corona, Reinfeksi atau Reaktivasi?

Belakangan ini terdapat beberapa pasien di berbagai negara yang mengalami kembali positif virus Corona COVID-19, meski sebelumnya dinyatakan sembuh. Beberapa ahli mengatakan hal ini bisa terjadi karena adanya dua faktor yaitu reinfeksi atau reaktivasi.
Reinfeksi merupakan terpaparnya kembali pasien yang sudah sembuh sehingga menyebabkan sakit. Sedangkan reaktivasi adalah masih adanya virus dalam tubuh pasien yang tidak terdeteksi dan kembali aktif.

Lantas kemungkinan mana yang bisa terjadi pada pasien yang mengalami positif virus Corona untuk yang kedua kalinya?

Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), Prof Amin Soebandrio, kemungkinan keduanya bisa terjadi, meski hasil tes pada pasien telah menunjukkan negatif dalam waktu dua kali berturut-turut.

"Diketahui virusnya itu bisa hidup tidak hanya di saluran napas, tetapi bisa juga di saluran feses dan urine walaupun jumlah frekuensinya jauh lebih rendah dibandingkan di saluran napas," kata Prof Amin kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).

"Jadi kemungkinan reaktivasi itu masih mungkin terjadi," lanjutnya.

Sementara itu, Prof Amin juga menjelaskan pasien yang sudah sembuh tetap bisa mengalami reinfeksi, walaupun sistem kekebalan tubuhnya sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Setelah sembuh kan dia baru keluar dari satu fasilitas yang ada virusnya dan mungkin di tubuhnya sudah tidak temukan, tapi di lingkungan itu kan masih ada. Jadi ada kemungkinan ada paparan terakhir saat dia keluar," jelasnya.

Karena itu Prof Amin mengatakan pentingnya karantina mandiri selama dua minggu tetap dilakukan pada pasien yang sudah sembuh untuk menghindari hal-hal seperti ini terjadi.

"Pasien yang dinyatakan sembuh walaupun sudah negatif tetap harus diminta karantina mandiri selama minimum dua minggu," tuturnya.

RI Target Periksa 10 Ribu Sampel Corona Per Hari, Bagaimana Negara Lain?

Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto mengatakan pemerintah saat ini sedang menargetkan untuk melakukan 10.000 tes polymerase chain reaction (PCR) per hari. Hal ini untuk meningkatkan pemeriksaan ke lebih banyak orang.
"Kita harus menuju target untuk melakukan 10.000 tes PCR real time per hari dengan mengaktifkan 78 lab dari 32 lab yang sebelumnya," kata Yuri Rabu (15/4/2020).

Untuk mencapai 10.000 tes perhari, pemerintah telah menyiapkan menambah jumlah mesin PCR, reagen, hingga sumber daya manusia (SDM) yang akan mengoperasikan dan melakukan pemeriksaan. Sampai hari Rabu (15/4/2020) pemerintah telah memeriksa lebih dari 36.000 orang, 5.136 di antaranya memiliki hasil positif.

"Sampai dengan hari ini sudah lebih dari 36 ribu sampel yang telah kita periksa. Sampel ini berasal dari 196 kabupaten kota yang saat ini merawat pasien COVID-19," lanjutnya.

Berikut daftar negara dengan total pemeriksaan virus Corona per harinya, pada Selasa (14/4/2020) seperti yang dihimpun dari Ourwoldindata:

Turkey 33.070 pemeriksaan per hari, menjadi 443.626
India 27.339 pemeriksaan per hari, menjadi 244.893
Italia 26.779 pemeriksaan per hari, menjadi 1,7 juta
United Kingdom 11.879 pemeriksaan per hari, menjadi 302.599
Korea Selatan 8.695 pemeriksaan per hari, menjadi 527.438
Polandia 4.691 pemeriksaan per hari, menjadi 148.321
Bahrain 3.486pemeriksaan per hari, menjadi 70.813
Austria 3.384 pemeriksaan per hari, menjadi 151.796
Afrika Selatan 3.359 pemeriksaan per hari, menjadi 87.022
Malaysia 3.061 pemeriksaan per hari, menjadi 84.791

Namun perlu diingat data tersebut berdasarkan Ourworldindata dan akan terus berubah setiap waktu.

Kerja dari Rumah Bisa Memicu 'Burnout', Kenali Ciri-cirinya

Selama berlangsungnya wabah virus Corona COVID-19, beberapa perusahaan memutuskan untuk menerapkan work from home (WFH) bagi karyawan mereka. Ini merupakan upaya untuk memutus rantai penyebaran virus Corona COVID-19.
Selama diterapkannya WFH atau bekerja di rumah, beberapa pekerja mungkin mengalami kelelahan atau 'burnout' tanpa disadari. Burnout sendiri diartikan sebagai suatu kondisi psikologis di mana seseorang tidak berhasil mengatasi stres sehingga menyebabkan stres berkepanjangan dan menimbulkan gejala seperti emosi secara fisik maupun mental.

Seperti yang jelaskan psikolog klinis dewasa Arrundina Puspita Dewi, MPsi, ada beberapa ciri ketika kamu mengalami burnout saat WFH. Mulai dari fisik yang melemah hingga kekebalan tubuh yang menurun.

"Gejala fisiknya merasa lelah dan kehabisan tenaga sepanjang waktu, meskipun sedang WFH dan aktivitas tidak sebanyak biasanya, kekebalan tubuh menurun akibat stres berkepanjangan," ujar Arrundina kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).

Apa saja ciri-cirinya?

1. Lelah sepanjang waktu
Menurut Arrundina, burnout ditandai dengan fisik yang terus menerus merasa lelah seperti kehabisan tenaga sepanjang waktu meskipun aktivitas tidak sebanyak dari biasanya.

2. Flu ringan, sakit perut, dan sariawan
Burnout mengakibatkan kekebalan tubuh menurun akibat stres berkepanjangan. Hal ini biasanya menimbulkan adanya keluhan fisik seperti flu ringan, sakit perut, dan sariawan.

3. Selalu merasa gagal
Timbulnya perasaan merasa gagal dan ragu dengan kemampuan yang dimiliki. Hal ini ditandai dengan perasaan merasa tidak berdaya, merasa terjebak, kesepian bahkan hingga kehilangan motivasi.

4. Menghindari pekerjaan
Seperti menunda waktu penyelesaian tugas, terlambat ikut meeting online, atau perilaku lainnya yang terlihat menghindar dari tanggung jawab pekerjaan.

Kembali Positif Setelah Sembuh dari Corona, Reinfeksi atau Reaktivasi?

Belakangan ini terdapat beberapa pasien di berbagai negara yang mengalami kembali positif virus Corona COVID-19, meski sebelumnya dinyatakan sembuh. Beberapa ahli mengatakan hal ini bisa terjadi karena adanya dua faktor yaitu reinfeksi atau reaktivasi.
Reinfeksi merupakan terpaparnya kembali pasien yang sudah sembuh sehingga menyebabkan sakit. Sedangkan reaktivasi adalah masih adanya virus dalam tubuh pasien yang tidak terdeteksi dan kembali aktif.

Lantas kemungkinan mana yang bisa terjadi pada pasien yang mengalami positif virus Corona untuk yang kedua kalinya?

Menurut Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME), Prof Amin Soebandrio, kemungkinan keduanya bisa terjadi, meski hasil tes pada pasien telah menunjukkan negatif dalam waktu dua kali berturut-turut.

"Diketahui virusnya itu bisa hidup tidak hanya di saluran napas, tetapi bisa juga di saluran feses dan urine walaupun jumlah frekuensinya jauh lebih rendah dibandingkan di saluran napas," kata Prof Amin kepada detikcom, Rabu (15/4/2020).

"Jadi kemungkinan reaktivasi itu masih mungkin terjadi," lanjutnya.

Sementara itu, Prof Amin juga menjelaskan pasien yang sudah sembuh tetap bisa mengalami reinfeksi, walaupun sistem kekebalan tubuhnya sudah lebih baik dari sebelumnya.

"Setelah sembuh kan dia baru keluar dari satu fasilitas yang ada virusnya dan mungkin di tubuhnya sudah tidak temukan, tapi di lingkungan itu kan masih ada. Jadi ada kemungkinan ada paparan terakhir saat dia keluar," jelasnya.

Karena itu Prof Amin mengatakan pentingnya karantina mandiri selama dua minggu tetap dilakukan pada pasien yang sudah sembuh untuk menghindari hal-hal seperti ini terjadi.

"Pasien yang dinyatakan sembuh walaupun sudah negatif tetap harus diminta karantina mandiri selama minimum dua minggu," tuturnya.