Jumat, 01 Mei 2020

Lee Shau Kee, Pria Miskin yang Jadi Orang Paling Tajir di Hong Kong

Lee Shau Kee kini menempati posisi pertama orang terkaya di Hong Kong. Mengutip Forbes, Jumat (7/2/2020), jumlah harta Kee kini mencapai US$ 30,1 miliar atau Rp 43,4 triliun (kurs Rp 14.000/US$).
Kee menggeser posisi Li Ka-Shing yang sebelumnya menduduki urutan pertama. Kekayaannya tercatat naik 1,76% atau sekitar US$ 520 juta.

Lee Shau Kee besar di dalam keluarga miskin. Kee tumbuh di tengah-tengah keluarga miskin yang bahkan untuk makan ikan setiap hari saja susah.

Orang tua Kee hanya sanggup membeli ikan atau daging dua bulan sekali. Namun dia berhasil mengubah nasibnya lewat bisnis properti yang akhirnya menjadikannya salah satu orang terkaya di dunia.

Kisah Kee banyak dibagikan ke seluruh Hong Kong sebagai salah satu yang paling inspiratif. Dia adalah anak keempat yang dalam adat umumnya dipercaya sebagai orang yang langka bisa sukses.

Tapi pria yang lahir di Shunde, Guangdong, China ini berhasil membangun bisnisnya dari nol. Kala itu, ia berekspansi ke Hong Kong dan bertemu dengan miliarder terkenal bernama Kwok Tak-Seng.

Kee memulai bisnisnya sendiri setelah Perang Dunia 2, dan bertemu dengan miliarder terkenal, Kwok Tak-Seng untuk pembicaraan awal tentang apa yang akan menjadi Sun Hung Kai Properties Limited, salah satu perusahaan terbesar di Hong Kong.

Dari situ, ia bersama-sama membangun sebuah perusahaan properti Sun Hung Kai Properties Limited. Sun Hung Kai Properties kini merupakan salah satu pengembang besar di Asia dan di sana ia sempat menjabat sebagai Wakil Ketua Direktur.

Tak sampai di situ, berkat kepiawaiannya menjalankan bisnis properti di perusahaan Sun Hung Kai, di tahun 1976 ia mendirikan Henderson Land Development Company Limited.

Perusahaan miliknya sendiri tak hanya berpatokan pada pengembangan properti tetapi juga hotel hingga infrastruktur. Salah satu contohnya adalah International Finance Center, The Grand Promenade dan 39 Conduit Road.

Selain itu, ia juga melakukan perubahan besar dengan mengambil kepemilikan dari Hong Kong and China Gas Company Limited (Towngas) yang memasok hampir ke 85% rumah tangga di Hong Kong.

Kee adalah salah satu orang yang berperan besar atas pertumbuhan dan perkembangan sebagian besar sektor keuangan Hong Kong selama 40 tahun terakhir. Banyak orang mendapat manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung karena tindakan keuangannya.

Tak hanya memikirkan soal bisnis, Pria berumur 90 tahun ini juga menjadi salah satu sumber pembiayaan Universitas Cina Hong Kong selama bertahun-tahun untuk membantu dunia pendidikan.

Dia juga memberikan kontribusi yang signifikan kepada sektor sains dengan memberikan kontribusi yang murah hati kepada Program Studi China Selatan CUHK-Yale. Bahkan, berkat kecerdasannya pada tahun 1993 ia dianugerahi degree of Doctor of Social Science.

Kisah Sakichi Toyoda, Orang di Balik Suksesnya Toyota

Sakichi Toyoda merupakan pria yang sukses mendirikan sebuah perusahaan otomotif raksasa di Jepang, bahkan di dunia.

Pria kelahiran 14 Februari 1867 ini awalnya merupakan seorang penenun yang berhasil menciptakan mesin yang mampu meminimalisir kesalahan dengan sistem otomatis. Jadi mesin itu bisa menghentikan produksi jika terjadi kesalahan pada pola, sehingga kapasitas produksi semakin meningkat.

Sejak kecil pria kelahiran Shizuoka ini memang telah menjadi penemu. Sakichi memang sudah mempelajari perakitan mesin tekstil. Sejak muda, ia tak pernah berhenti untuk menciptakan karya-karya baru.

Dia memiliki konsep yang hingga saat ini masih diterapkan di perusahaannya yakni mencari metode untuk memecahkan masalah, meningkatkan kualitas dan efisien dalam mengeluarkan biaya.

Sakichi kemudian menjual paten mesinnya ke sebuah perusahaan Inggris senilai US$ 150.000. Uang hasil penjualan tersebut ia gunakan untuk membantu putranya mendirikan sebuah perusahaan bernama Toyota.

Bersama anaknya, Toyota terus berkembang, karena memang perusahaan ini dibentuk dengan inovasi dan langkah berani dari sang pemilik.

Begini ceritanya, sang putra, Kiichiro Toyoda pergi ke Eropa dan Amerika Serikat (AS) untuk mempelajari mobil, tenaga mesin hingga cara kerja mesin. Kemudian pada 1933 ia berhasil mendirikan bagian otomotif di perusahaan tenun sang ayah.

Bos Spotify, Si 'Kutu Loncat' yang Kaya Raya Sejak Muda

Di usia 37 tahun, pendiri sekaligus CEO Spotify Daniel Ek sudah masuk jajaran miliuner baru di industri teknologi. Gelar ini diperolehnya setelah sukses mengantarkan aplikasi streaming musik itu melantai di bursa saham New York Sock Exchange (NYSE) pada 3 April 2018 lalu.
Sejak hari pertama perdagangannya, Spotify langsung dihargai lebih kurang US$ 26 miliar atau setara Rp 364 triliun (kurs Rp 14.000/US$). Sedikitnya 9% dari saham itu menjadi milik Daniel Ek yang dihargai hampir US$ 2,5 miliar setara Rp 35 triliun.

Akan tetapi, berpenghasilan tinggi di usia muda bukanlah hal baru bagi Daniel Ek. Pasalnya, sebelum menyabet gelar miliuner, pria kelahiran Swedia ini sudah lebih dulu menjadi jutawan sejak masih berusia 23 tahun atau dua tahun sebelum dirinya merilis Spotify.

Bak kutu loncat, Ek berpindah dari satu bisnis ke bisnis lainnya sampai akhirnya mendapatkan apa yang benar-benar dia inginkan. Ek bahkan sampai melepaskan bangku kuliahnya demi bekerja di sejumlah perusahaan teknologi.

Mengutip CNBC, Senin (17/2/2020), Daniel Ek mulai belajar menulis coding sejak usia belasan tahun dan membangun bisnis pertamanya di usia 14 tahun. Memanfaatkan kemunculan internet di tahun 1990-an, Daniel Ek memiliki pekerjaan sampingan mendesain dan mengelola website beberapa perusahaan. Ia sering bekerja dari laboratorium komputer sekolahnya, juga dari rumah keluarganya yang berlokasi di pinggiran kota Stockholm, Swedia.

Dalam sebuah wawancara di tahun 2013, Daniel Ek mengaku awalnya mulai mendesain laman website untuk temannya. Namun kemudian lama kelamaan ia mulai dipekerjakan oleh beberapa perusahaan lokal dan digaji hingga US$ 5.000 dan berhasil mengumpulkan hampir US$ 50.000 setiap bulannya.

CEO Spotify itu mengatakan orang tuanya tidak tahu mengenai bisnis yang dijalaninya tersebut sampai ia membuat orang tuanya tercengang karena beberapa koleksi video game dan gitar mahal yang dimilikinya.

Di usia belasan tahun itu juga Daniel Ek mulai mengenal Sean Parker yang kemudian menjadi founder Napster, dan yang akhirnya menjadi investor di Spotify. Keduanya berkenalan lewat percakapan daring tanpa menunjukkan identitas asli mereka, sampai akhirnya bertemu pada tahun 2009, setelah Parker mengirim e-mail pujian untuk Spotify.

Tak lama sesudah itu, ia mulai merekrut beberapa programmer dan pada usia 18 tahun sudah memimpin 25 orang pekerja. Ia kemudian terpaksa mendaftarkan bisnisnya karena otoritas pajak Swedia mulai mempertanyakan dari mana ia memperoleh penghasilan yang besar saat itu.

Pada tahun 2002, Daniel Ek tamat dari SMA dan melanjut kuliah ke Royal Institute of Technology Swedia untuk mempelajari teknik. Namun, setelah delapan minggu menjalani kehidupan sebagai mahasiswa ia memutuskan untuk berhenti kuliah, lalu bekerja dengan beberapa perusahaan teknologi, termasuk di situs e-commerce Swedia ternama seperti Tradera.

Ia juga pernah menjabat sebagai chief executive di Stardoll, perusahaan game online yang identik dengan game bertema fesyen.

Ek pada akhirnya mendirikan perusahaan marketing online, Advertigo, yang dijualnya ke TradeDoubler (perusahaan marketing digital Swedia) pada tahun 2006, senilai US$ 1,25 juta. Saat itu usianya baru 23 tahun.

Setelah itu Daniel Ek tidak melanjutkan bisnisnya untuk sementara waktu dan langsung menggunakan uangnya itu untuk membeli apartemen mewah di tengah kota Stockholm dan sebuah mobil Ferrari. Daniel Ek hidup dalam kemewahan dan menemukan pelajaran hidup yang berharga.

Ia pada akhirnya menyadari bahwa uang bukanlah segalanya dan merasa hidupnya akan berarti jika ia bisa mengerjakan sesuatu yang benar-benar ia cintai.

"Saya mulai berpikir mengenai apa saja yang benar-benar penting bagi saya dan menyadari ada dua hal yang benar-benar berarti, yaitu musik dan teknologi," ujarnya kepada CNBC.

Kesadaran itu membawa Daniel Ek pada proyek besar berikutnya, tepat pada tahun 2006 ia bersama dengan Martin Lorentzon, co-founder dari TradeDoubler, mencetuskan Spotify.

Mereka menjadikan Nepster sebagai inspirasi, sambil berusaha menghindari masalah hukum seputar pembajakan dengan mengandalkan teknologi streaming dan mendapatkan kesepakatan lisensi dengan perusahaan rekaman.

Spotify resmi di rilis di Eropa pada bulan Oktober tahun 2008 dan secara resmi rilis di Amerika Serikat pada tahun 2011.

Pertumbuhan Spotify juga sempat terhambat oleh beberapa faktor seperti mengalami perselisihan dengan beberapa label rekaman besar, bersaing dengan layanan streaming musik lainnya seperti Apple, dan juga sempat bermasalah dengan penyanyi populer dunia seperti Taylor Swift, yang memboikot musiknya dari Spotify karena permasalahan harga.

Saat ini Spotify sudah mendunia dan memiliki hampir 160 juta pengguna bulanan, yang 71 juta di antaranya merupakan pengguna berlangganan. Pendapatan perusahaan itu pada tahun 2017 mencapai sekitar US$ 5 miliar. Dan, saat ini, kapitalisasi pasar Spotify sudah mencapai US$ 10 miliar yang membuat Daniel Ek jauh lebih kaya dibandingkan sebelum saham Spotify diperdagangkan.

Ke depannya Spotify akan berkompetisi dengan raksasa teknologi seperti Apple dan Amazon yang juga menyediakan layanan sejenis. Namun, saat ini Spotify sudah menguasai 36% dari total seluruh pelanggan berbayar dalam layanan musik streaming, jauh lebih banyak jika dibandingkan dengan kompetitornya. Bahkan, beberapa analis memproyeksikan Spotify bakal mampu menggandakan jumlah pelanggan berbayarnya pada 2020 ini.