Rabu, 13 Mei 2020

Ilmuwan Ciptakan 'Kalkulator' untuk Prediksi Risiko Kematian Akibat Corona

Seorang ilmuwan dari Universitas Liverpool telah menciptakan sebuah program yang dapat menghitung risiko kematian seseorang akibat virus Corona COVID-19 berdasarkan berbagai faktor.
Mengutip dari laman Daily Star, program yang dibuat dr Piotr Bandosz dan koleganya mengumpulkan data kematian pasien terinfeksi COVID-19 dari seluruh dunia.

Statistik ini yang menjadi acuan dari prediksi risiko kematian akibat Corona. Menurut Bandosz, kasus infeksi COVID-19 yang terus bertambah membuat jumlah data yang tersedia cukup untuk memberi gambaran mengenai risiko kematian akibat virus Corona.

Program yang diibaratkan sebagai 'kalkulator' ini menganalisis risiko kematian seseorang dengan memperhitungkan usia, jenis kelamin, dan empat penyakit utama yakni hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit jantung.

"Risiko meninggal akibat COVID-19 jelas tergantung pada gaya hidup Anda dan penyakit yang terkait dengannya," kata Bandosz.

"Penyakit itu termasuk obesitas, diabetes, hipertensi, dan komplikasinya. Hubungan ini sangat kuat," tambahnya

Sebagai gambaran, apabila memasukkan data pria berusia 50 tahun dengan masalah penyakit jantung, kalkulator virus Corona akan menunjukkan risiko kematian mencapai 6,36 persen.

Sementara wanita dengan indikator serupa, menunjukkan hasil yang lebih baik. Risiko kematiannya hanya mencapai angka sekitar tiga persen.

Namun, kalkulator virus Corona itu belum memiliki bukti kuat apakah bisa memprediksi risiko kematian akibat COVID-19 secara akurat. Bandosz mengatakan akan terus memperbaharui programnya.

"Ini merupakan versi awal dari modelnya dan akan diperbarui secara berkala," pungkasnya.

Pasien Positif Corona Jadi Imam Tarawih, Dokter: Virus Dianggap Remeh

Sebanyak 28 orang di Tambora, Jakarta Barat, berstatus orang dalam pemantauan (ODP). Penyebabnya, mereka mengikuti salat Tarawih yang dipimpin imam musala yang sehari sebelumnya telah dinyatakan positif virus Corona COVID-19.
"Iya (28 jemaah berstatus ODP)," Kata Camat Tambora Bambang Sutama saat dihubungi detikcom, Rabu (13/5/2020).

Sebelumnya petugas puskesmas dan pihak dari kelurahan Jembatan Besi, Tambora, sudah melakukan penjemputan untuk mengevakuasi imam berinisial O tersebut ke rumah sakit. Namun, O menolak.

"Karena dirinya (merasa) sehat (tidak bergejala) dan akhirnya dia bilang. 'Saya ini gejala tifus', jadi dia itu nggak yakin apa yang disampaikan oleh dokter," ucap Bambang.

Menanggapi hal ini, dr Heri Munajib dari Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PDNU) mengatakan masih banyak masyarakat yang kurang patuh terhadap peraturan dan menganggap virus Corona bukanlah suatu ancaman yang besar.

"Jadi masyarakat kita ini masih menganggap virus (COVID-19) itu bukan suatu masalah yang besar. Bahkan ada yang menganalogikan bahwa dia lebih takut tuhan daripada virus. Padahal kan itu analogi yang jelas salah, karena tuhan dan virus itu jelas-jelas jauh berbeda," jelas dr Heri kepada detikcom, Rabu (13/5/2020).

Menurut dr Heri, risiko penularan masih bisa tetap terjadi meski para jemaah telah mengenakan masker serta menjaga kebersihan tangan selama menjalani ibadah salat berjamaah di masjid atau musala.

"Faktanya yang di Tambora itu meskipun sudah pakai masker, berjarak, dan mungkin pakai hand sanitizer, faktanya banyak yang tertular," ucap dr Heri.

"Makanya tujuannya menghindari kerumunan dan physical distancing itu untuk mengurangi infeksi ke banyak orang. Bisa jadi imam itu positif tapi dia OTG atau orang tanpa gejala, itu yang jadi masalah," tuturnya.

Singapura Tolak Strategi Herd Immunity, Sebut Banyak yang Dikorbankan

Pemerintah Singapura dengan tegas menolak strategi herd immunity di tengah pandemi virus Corona COVID-19. Dengan angka kasus baru yang terus bertambah, Singapura berencana semakin agresif melakukan pengetesan dan pelacakan kasus-kasus infeksi Corona.
Direktur layanan kesehatan, Kementerian Kesehatan Singapura, Kenneth Mak mengatakan 'harga' yang harus dibayar bila strategi herd immunity diterapkan terlalu tinggi. Akan ada banyak warga yang sakit bahkan meninggal.

"Meski kami sudah melakukan berbagai langkah untuk bersiap menghadapi lonjakan kasus, meningkatkan kemampuan kami, sistem kesehatan kita bisa dengan mudah kewalahan dengan strategi mendekati herd immunity," kata Kenneth seperti dikutip dari South China Morning Post, Rabu (13/5/2020).

Herd immunity sendiri adalah konsep kekebalan yang dimiliki suatu komunitas terhadap penyakit. Kekebalan ini bisa diperoleh berkat tingginya cakupan imunisasi atau bila cukup banyak orang terpapar virus.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI) pernah berkomentar bahwa herd immunity tidak cocok jika diberlakukan di Indonesia. Sekretaris Jenderal PAPDI, Dr dr Eka Ginanjar, SpPD, KKV, mengatakan jika herd immunity diberlakukan maka akan banyak orang yang tak bisa diselamatkan.

"Herd immunity bisa tercapai apabila sebagian populasi terinfeksi yaitu sekitar 70 persen. Artinya sebanyak 189 juta dari 270 juta penduduk Indonesia akan terinfeksi," kata dr Eka.

"Masalahnya Case Fatality Rate (CFR) kita tinggi banget yaitu di atas 8 persen. Artinya fasilitas kesehatan kita tidak siap dan akan banyak yang menjadi korban," lanjutnya.

Ilmuwan Ciptakan 'Kalkulator' untuk Prediksi Risiko Kematian Akibat Corona

Seorang ilmuwan dari Universitas Liverpool telah menciptakan sebuah program yang dapat menghitung risiko kematian seseorang akibat virus Corona COVID-19 berdasarkan berbagai faktor.
Mengutip dari laman Daily Star, program yang dibuat dr Piotr Bandosz dan koleganya mengumpulkan data kematian pasien terinfeksi COVID-19 dari seluruh dunia.

Statistik ini yang menjadi acuan dari prediksi risiko kematian akibat Corona. Menurut Bandosz, kasus infeksi COVID-19 yang terus bertambah membuat jumlah data yang tersedia cukup untuk memberi gambaran mengenai risiko kematian akibat virus Corona.

Program yang diibaratkan sebagai 'kalkulator' ini menganalisis risiko kematian seseorang dengan memperhitungkan usia, jenis kelamin, dan empat penyakit utama yakni hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit jantung.

"Risiko meninggal akibat COVID-19 jelas tergantung pada gaya hidup Anda dan penyakit yang terkait dengannya," kata Bandosz.

"Penyakit itu termasuk obesitas, diabetes, hipertensi, dan komplikasinya. Hubungan ini sangat kuat," tambahnya

Sebagai gambaran, apabila memasukkan data pria berusia 50 tahun dengan masalah penyakit jantung, kalkulator virus Corona akan menunjukkan risiko kematian mencapai 6,36 persen.

Sementara wanita dengan indikator serupa, menunjukkan hasil yang lebih baik. Risiko kematiannya hanya mencapai angka sekitar tiga persen.

Namun, kalkulator virus Corona itu belum memiliki bukti kuat apakah bisa memprediksi risiko kematian akibat COVID-19 secara akurat. Bandosz mengatakan akan terus memperbaharui programnya.

"Ini merupakan versi awal dari modelnya dan akan diperbarui secara berkala," pungkasnya.