Jumat, 19 Juni 2020

Mau Usaha Tapi Nggak Punya Modal? Coba Aja Jadi 'Calo' Digital

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana membeberkan kondisi penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. Danang mengatakan, sejak tahun 2013 sampai 2018 nilai investasi di Indonesia terus bertambah, namun penyerapan tenaga kerjanya kian menurun.
"Sebelum COVID-19 serapan tenaga kerja sudah berbanding terbalik dengan investasi," ungkap Danang dalam diskusi online Apindo, Jumat (19/6/2020).

Ia mengungkapkan, pada tahun 2013 nilai investasi yang masuk di Indonesia senilai Rp 398,3 triliun dengan jumlah tenaga kerja yang terserap 1,8 juta orang (per Rp 1 triliun menyerap 4.954 tenaga kerja).

Lalu, pada tahun 2014, nilai investasi tembus Rp 463 triliun, dengan penyerapan 1,43 tenaga kerja (per Rp 1 triliun menyerap 3.090 tenaga kerja). Lalu, di tahun 2015 nilai investasinya Rp 545,4 triliun dengan penyerapan sebanyak 1,435 juta tenaga kerja (per 1 triliun menyerap 2.632 tenaga kerja).

Tahun 2016, nilai investasi yang masuk Rp 613 triliun dengan penyerapan 1,39 juta tenaga kerja (2.271 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi). Di tahun 2017 nilai investasinya tembus Rp 692,8 triliun, yang menyerap 1,17 juta tenaga kerja (1.698 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi).

Kemudian, di tahun 2018 nilai investasi yang masuk tembus Rp 721,3 triliun, sementara tenaga kerja yang terserap hanyalah 960.052 (1.331 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi).

Menurut Danang, data tersebut membuktikan kenaikan nilai investasi tak menjamin tenaga kerja yang terserap akan bertambah.

"Ini situasi yang bisa disebut dengan kondisi yang lampu merah, hati-hati. Nilai investasi yang meningkat belum tentu serapan tenaga kerja meningkat. Ini yang menjadi concern kita," jelas Danang.

Danang menuturkan, kondisi ini bisa menyebabkan jumlah pengangguran di Indonesia terus bertambah.

"Setiap tahun kita angka lulusan yang siap masuk pasar kerja itu sekitar 2-2,5 juta orang. Sementara pertumbuhan investasi kita meningkat tapi tidak sebanding dengan jumlah ketersediaan tenaga kerja. Artinya setiap tahun makin banyak angka pengangguran, akan terus meningkat. Ini mengkhawatirkan," tuturnya.

Danang juga mengkhawatirkan, selain jumlah lulusan siap kerja terus bertambah, perusahaan-perusahaan besar di dunia banyak yang sudah bangkrut atau pun terancam bangkrut. Ia menyarankan, hal ini harus diantisipasi di Indonesia agar jumlah pengangguran dapat terkendali.

"Bagaimana di era pandemi in? Di new normal ini? Ini menciptakan peluang untuk mempertahankan pekerja yang ada, dan menyerap pekerja yang akan datang. Tapi sekarang perusahaan besar pun banyak yang jatuh. Mengapa? Ternyata setelah kita perhatikan perusahaan-perusahaan itu tidak dapat melakukan kecepatan inovasi dalam perusahaan mereka, sehingga inovasi terlambat dan kalah bersaing dengan kompetitor. Maka di Indonesia inovasi ini harus terus digencarkan agar tetap tumbuh," ungkapnya.

Anti Ribet dan Tak Perlu Modal Besar, Nih Cara Jadi 'Calo Digital'

 Di tengah pandemi Corona sangat sulit mencari pekerjaan, yang ada banyak pengusaha justru mengurangi jumlah pegawainya demi mempertahankan bisnisnya.
Tidak jarang banyak masyarakat, khususnya yang penghasilannya terdampak coba memutar otak untuk mendapatkan penghasilan tambah, mulai salah satunya dengan berdagang. Namun, terkadang untuk menjalankan suatu usaha terbentur oleh modal.

Jangan sedih, karena beberapa perencana keuangan menilai ada usaha yang bisa dijalankan tanpa mengeluarkan modal besar, yaitu menjadi 'calo' digital atau sering disebut sebagai reseller atau dropshipper.

"Menjadi reseller tidak perlu modal besar, tidak perlu packing, dan tidak perlu ribet akan pengiriman," kata PR & Marketing Evermos, Dewi Siti Rochmah saat dihubungi detikcom, Jumat (19/6/2020).

Dia mengatakan, semua kalangan masyarakat bisa menjadi seorang reseller atau dropshipper. Caranya hanya mendaftar ke pemilik brand atau barang dagangan yang mau dijualnya. Biasanya, syarat yang perlu disiapkan pun tidak sulit, yaitu hanya kartu tanda penduduk (KTP), nomor telepon atau Whatsapp), dan rekening pribadi.

Dalam melakukan pendaftaran sebagai reseller, biasanya pemilik barang atau brand ada yang mengenakan biaya administrasi dan tidak. Bagi yang mengenakan, biasanya dalam kisaran ratusan ribu dan nantinya berlaku seumur hidup.
https://nonton08.com/astro-boy-tetsuwan-atom-episode-37/

Menggiurkan! Nih Hitung-hitungan Penghasilan Jadi 'Calo Digital'

Menjadi 'calo' digital atau sering disebut sebagai reseller menjadi peluang di tengah sulitnya perekonomian akibat pandemi Corona. Selain modalnya minim, keuntungan yang didapat pun lumayan.
PR & Marketing Evermos, penjual pakaian muslim, Dewi Siti Rochmah mengatakan penghasilan seorang reseller berupa komisi dari setiap barang atau brand yang dijualnya. Besaran komisi pun sekitar 10-30% dari harga barang.

"Komisinya mulai dari 10-30%, tergantung dari pemilik brandnya," kata dia saat dihubungi detikcom, Jumat (19/6/2020).

Dewi menyebut, setiap komisi akan masuk ke rekening pribadi reseller. Oleh karena itu, syarat untuk menjadi 'calo'digital adalah kartu tanda penduduk (KTP), nomor telepon atau Whatsapp, dan rekening pribadi.

Proses pencairan komisi, dikatakan Dewi tergantung dari masing-masing pemilik brand. Sebab, ada yang memberlakukan pencairan secara langsung tanpa batas minimal atau maksimum penjualan barang. Namun untuk di Evermos sendiri minimal kredit harus sebesar Rp 100.000 baru bisa dicairkan.

"Komisi langsung masuk rekening, namun untuk pencairan kredit minimal Rp 100 ribu. Kalau untuk brand lain biasanya langsung ambil dari selisih harganya. Beda beda kebijakannya," jelas dia.

Menurut Dewi, seorang reseller akan mendapat komisi yang besar jika berhasil menjual banyak barang dari brand yang dipegangnya. Adapun cara kerja seorang reseller atau dropshipper pun relatif simpel, yaitu hanya perlu membagikan semua produk yang mau dijualnya melalui online maupun offline. Jika dagangannya laku, maka reseller hanya melaporkan kepada pemilik brand, lalu barang tersebut akan dikirim.

Sebagai ilustrasi, komisi seorang reseller sebesar Rp 20.000 per barang. Jika setiap harinya berhasil menjual enam barang, maka total komisi atau penghasilannya Rp 120.000. Jika konsisten selama 30 hari, maka total penghasilannya Rp 3.600.000 per bulan.

Hingga awal Juni 2020, Dewi mencatat sudah ada sekitar 70.000 reseller yang tergabung di Evermos, angka tersebut akan terus bertambah lantaran pendaftaran masih dibuka.

Lebih lanjut Dewi mengatakan, ada ribuan jenis barang uang dijual oleh mitra Evermos. Barang-barang itu berasal dari 400 UMKM. Beberapa barang yang dijual pun berupa kebutuhan sehari-hari, seperti fashion pria, wanita, dan anak bayi.

Lalu, kebutuhan dan peralatan rumah tangga, makanan, minuman, produk kesehatan seperti suplemen, madu, vitamin, herbal, produk travel, online course, produk otomotif seperti pewangi dan asesoris mobil/motor, produk alat ibadah, serta produk kecantikan seperti kosmetik hingga skin care.

Menurut Dewi, setiap reseller bebas memilih produk atau brand apa yang ingin dijualnya. Jika ingin memasarkan semuanya pun tidak menjadi soal. Satu hal yang pasti, semakin reseller giat menjual maka komisi atau penghasilannya yang diterima pun besar.

Pengusaha: Investasi Naik tapi Serapan Tenaga Kerja Turun

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana membeberkan kondisi penyerapan tenaga kerja di Tanah Air. Danang mengatakan, sejak tahun 2013 sampai 2018 nilai investasi di Indonesia terus bertambah, namun penyerapan tenaga kerjanya kian menurun.
"Sebelum COVID-19 serapan tenaga kerja sudah berbanding terbalik dengan investasi," ungkap Danang dalam diskusi online Apindo, Jumat (19/6/2020).

Ia mengungkapkan, pada tahun 2013 nilai investasi yang masuk di Indonesia senilai Rp 398,3 triliun dengan jumlah tenaga kerja yang terserap 1,8 juta orang (per Rp 1 triliun menyerap 4.954 tenaga kerja).

Lalu, pada tahun 2014, nilai investasi tembus Rp 463 triliun, dengan penyerapan 1,43 tenaga kerja (per Rp 1 triliun menyerap 3.090 tenaga kerja). Lalu, di tahun 2015 nilai investasinya Rp 545,4 triliun dengan penyerapan sebanyak 1,435 juta tenaga kerja (per 1 triliun menyerap 2.632 tenaga kerja).

Tahun 2016, nilai investasi yang masuk Rp 613 triliun dengan penyerapan 1,39 juta tenaga kerja (2.271 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi). Di tahun 2017 nilai investasinya tembus Rp 692,8 triliun, yang menyerap 1,17 juta tenaga kerja (1.698 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi).

Kemudian, di tahun 2018 nilai investasi yang masuk tembus Rp 721,3 triliun, sementara tenaga kerja yang terserap hanyalah 960.052 (1.331 tenaga kerja per Rp 1 triliun investasi).

Menurut Danang, data tersebut membuktikan kenaikan nilai investasi tak menjamin tenaga kerja yang terserap akan bertambah.

"Ini situasi yang bisa disebut dengan kondisi yang lampu merah, hati-hati. Nilai investasi yang meningkat belum tentu serapan tenaga kerja meningkat. Ini yang menjadi concern kita," jelas Danang.

Danang menuturkan, kondisi ini bisa menyebabkan jumlah pengangguran di Indonesia terus bertambah.
https://nonton08.com/fairy-tail-episode-322-subtitle-indonesia/