Rabu, 08 Juli 2020

14 Persen Pasien Positif COVID-19 Setelah Tadinya Dinyatakan Negatif

Sekitar 14 persen pasien di Provinsi Guangdong, China, dinyatakan positif terinfeksi virus corona COVID-19 saat sebelumnya sudah dites dengan hasil negatif. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit provinsi tersebut, pasien yang negatif mungkin masih membawa virus tersebut di dalam tubuhnya.
Menurut Wakil Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Guangdong, Song Tie, para ilmuwan sedang mencari tahu bagaimana hal itu terjadi. Selain itu, mereka juga meneliti apakah pasien seperti itu masih bisa menular.

"Para pasien itu diperkirakan masih belum sepenuhnya sembuh dari infeksi paru-paru," kata Song yang dikutip dari Daily Star.

Sebelumnya, para pasien sudah menjalani dua tes pada tenggorokan dan hasilnya negatif. Mereka juga sudah menjalani CT scan dan hasilnya negatif juga. Pasien tidak menunjukkan adanya demam atau gejala lain.

Salah satu dokter yang berbasis di Inggris, Dr Babak Ashrafi, mengatakan para ahli sedang sibuk mengumpulkan informasi dari pasien yang terinfeksi. Mereka akan meneliti seberapa baik sistem imunitas membuat tubuh kebal dari virus tersebut.

"Kami tahu, saat tubuh terserang virus, tubuh akan belajar melawannya. Namun, seperti yang kami perkiraan, semakin lama sistem kekebalan tubuh akan melemah sejak awal terinfeksi," jelas Dr Ashrafi.

Teori lainnya mengatakan tes yang dilakukan tidak selalu akurat. Bisa jadi hasil tersebut salah, sehingga virus yang ada di dalam tubuh tidak terdeteksi dengan jelas.

Masker dan Pembersih Tangan Langka di Kota Milan, WNI Minta Bantuan

 Efek virus corona menyebar hingga ke seluruh dunia, termasuk di Kota Milan, Italia. Efek virus corona pun membuat WNI sulit mendapatkan masker dan pembersih tangan karena semakin langka di kota ini.
"Sejak alarm pertama virus Corona di daerah Lombardia, Sabtu lalu, masyarakat yang berada di kota-kota di Lombardia, khususnya di daerah Codogno, sekitar 34 km dari Kota Milan, membuat warga Milan panik," kata salah seorang WNI yang menetap di Milan, Erni Yusnita, lewat keterangannya kepada detikcom, Jumat (28/2/2020).

"Seketika Hand sanitizer dan masker adalah 2 benda yang paling dicari. Sangat langka dan kalaupun ada harganya sampai 20 kali lipat," imbuhnya.

Erni bercerita bahwa harga hand sanitizer yang biasanya hanya 1 euro menjadi 9 euro atau sekitar Rp 140 ribu per botol ukuran 30 mililiter. Sementara masker yang satu pack biasanya 10 euro naik sampai 100 euro atau sekitar Rp 1,5 juta.

Meski mahal, warga saling berebut untuk membeli kedua barang tersebut termasuk warga Indonesia yang bermukim di Milan Khususnya para pelajar Indonesia.

"Sejak hari Senin bahkan kedua barang ini seakan raib di pasar sehingga membuat warga negara Indonesia yg berada di Milan mencari bantuan dari KBRI Roma dan juga negara-negara terdekat," ungkapnya.

Erni mengatakan bahwa pihaknya hanya mendapatkan sekitar 164 buah masker yang didapatkan dari KBRI Roma. Dia menyebut ada ratusan warga Indonesia yang bermukim di Milan saat ini.

"Informasi dari Kepala Atase Pertahanan KBRI Roma (Wachyat) mengatakan bahwa jumlah masker yang dikirim adalah hasil usaha pencarian Pihak KBRI yang berusaha mencari di Kota Roma dan sekitarnya. Yang mana ke dua barang ini khususnya masker juga sangat sulit ditemukan dan dalam waktu 2 hari," kata dia.

Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) di Milan, Andrew, mengatakan bahwa kebutuhan masker khususnya bagi warga Indonesia bukan hanya sekedar untuk melindungi diri dari kemungkinan tertular virus tetapi juga lebih kepada perlindungan mental.
https://nonton08.com/the-lies-within-episode-6/

WHO Ingatkan Jangan Ada Negara yang 'Kepedean' Bisa Bebas Virus Corona

 Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengingatkan agar negara-negara harus bersiap menghadapi virus corona (COVID-19). Ia menyebut jangan ada negara yang terlalu percaya diri bisa bebas dari ancaman virus.
"Jangan ada negara yang beranggapan tidak akan mendapatkan kasus. Ini bisa menjadi kesalahan yang fatal," kata Tedros dalam temu media seperti dikutip dari Reuters, Jumat (28/2/2020).

"Virus ini tidak menghormati batas antarnegara, tidak membedakan ras atau etnis, dan tidak memedulikan tingkat pendapatan atau perkembangan suatu negara," lanjutnya.

Tedros lebih jauh menyebut ledakan kasus di Iran, Italia, dan Korea Selatan menunjukkan kemampuan penyebaran virus. Negara-negara yang belum atau baru melaporkan kasus diimbau agar bergerak cepat dan agresif untuk mencegah hal serupa.

"Semua negara harus siap untuk kasus pertama, kluster penyebaran pertama, dan bukti pertama penyebaran di antara komunitas. Harus ada langkah untuk semua skenario tersebut," kata Tedros.

Indonesia sendiri hingga kini belum melaporkan kasus virus corona. Kementerian Kesehatan RI membantah tegas tuduhan miring pemerintah sengaja menyembunyikan kasus.

Sejauh ini dunia melaporkan sudah ada lebih dari 83 ribu kasus virus corona yang terkonfirmasi dan sekitar 2.800 di antaranya meninggal dunia. Menurut WHO jumlah kasus baru belakangan lebih banyak datang dari luar China.

14 Persen Pasien Positif COVID-19 Setelah Tadinya Dinyatakan Negatif

Sekitar 14 persen pasien di Provinsi Guangdong, China, dinyatakan positif terinfeksi virus corona COVID-19 saat sebelumnya sudah dites dengan hasil negatif. Berdasarkan laporan dari pihak rumah sakit provinsi tersebut, pasien yang negatif mungkin masih membawa virus tersebut di dalam tubuhnya.
Menurut Wakil Direktur Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Guangdong, Song Tie, para ilmuwan sedang mencari tahu bagaimana hal itu terjadi. Selain itu, mereka juga meneliti apakah pasien seperti itu masih bisa menular.

"Para pasien itu diperkirakan masih belum sepenuhnya sembuh dari infeksi paru-paru," kata Song yang dikutip dari Daily Star.

Sebelumnya, para pasien sudah menjalani dua tes pada tenggorokan dan hasilnya negatif. Mereka juga sudah menjalani CT scan dan hasilnya negatif juga. Pasien tidak menunjukkan adanya demam atau gejala lain.

Salah satu dokter yang berbasis di Inggris, Dr Babak Ashrafi, mengatakan para ahli sedang sibuk mengumpulkan informasi dari pasien yang terinfeksi. Mereka akan meneliti seberapa baik sistem imunitas membuat tubuh kebal dari virus tersebut.

"Kami tahu, saat tubuh terserang virus, tubuh akan belajar melawannya. Namun, seperti yang kami perkiraan, semakin lama sistem kekebalan tubuh akan melemah sejak awal terinfeksi," jelas Dr Ashrafi.

Teori lainnya mengatakan tes yang dilakukan tidak selalu akurat. Bisa jadi hasil tersebut salah, sehingga virus yang ada di dalam tubuh tidak terdeteksi dengan jelas.
https://nonton08.com/halloween-at-aunt-ethels/