Sabtu, 01 Agustus 2020

Angka Kehamilan di Desa Selama Pandemi Meningkat

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat selama pandemi virus Corona (COVID-19) ada penurunan penggunaan alat kontrasepsi. Peningkatan itu diketahui dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
Hal itu memicu penambahan angka kehamilan masyarakat Indonesia. Pasalnya, selama pandemi, masyarakat lebih sering berada di rumah untuk bekerja dari rumah.

"Ya bisa (karena WFH membuat angka kehamilan meningkat), karena stay at home itu komudian kontak suami istri menjadi lebih sering," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo usai menerima gelar kehormatan di Audotorium UNY, Sabtu (1/8/2020).

Dia mencatat dalam tiga bulan terakhir ada penurunan penggunaan alat kontrasepsi sebesar 10 persen. Hal ini disebut berpotensi menyebabkan sekitar 400 ribu hingga 500 ribu kehamilan.

"Tiga bulan terakhir 10 persen dari 36 juta atau sekitar 3,6 juta putus menggunakan alat kontrasepsi. Kalau yang hamil itu 15 persen dari 3,6 juta itu kemudian ada 400-500 ribu tambahan kehamilan," urainya.

Menurut Hasto, kasus kehamilan di Indonesia itu unik. Peningkatan angka kehamilan itu hanya ditemukan di lapisan masyarakat tertentu

"Kehamilan selama pandemi cenderung yang (masyarakat) miskin, pendidikan rendah dan tinggal di desa. Nah itu menunjukkan bahwa kehamilan banyak dialami oleh orang yang tidak paham secara keilmuan," ungkapnya.

Oleh karena itu, untuk menekan angka kehamilan, pihaknya tengah menggencarkan program pengguna kontrasepsi. Tentunya dengan mekanisme yang menyesuaikan protokol kesehatan.

"Kedepan, BKKBN harus melakukan pelayanan secara serentak ke seluruh pelosok desa Indonesia tapi dalam jumlah kecil. Kemarin 29 Juni pelayanan sejuta aseptor bisa mencapai target bahkan lebih, 1,4 juta aseptor," pungkasnya.

Sedotan Ramah Lingkungan Berbahan Unik yang Bisa Dimakan

Mengganti sedotan plastik sekali pakai dengan sedotan yang bisa digunakan berulang kali merupakan salah satu langkah kecil untuk membantu menyelamatkan lingkungan. Ada beberapa pilihan sedotan ramah lingkungan yang bisa dipakai seperti sedotan metal, fiber glass atau sedotan bambu.

Kini ada alternatif sedotan yang tak hanya ramah lingkungan tapi juga bisa dimakan. Perusahaan asal Malaysia menciptakan sedotan berbahan unik dari beras dan tapioka yang diberi nama Fan-Straws.

Andre dan Melissa, dua penciptanya, menemukan metode pembuatan sedotan berbahan makanan pada Februari 2020. Sedotan memiliki bentuk dan tekstur mirip sedotan plastik tapi aman untuk dimakan setelah minuman habis.

Jika tidak ingin dimakan, sedotan bisa dibuang dan tak akan menjadi timbunan sampah, karena 100 persen biodegradable atau mudah terurai. Bahkan bisa dijadikan pupuk bagi tanaman.

Seperti dikutip dari World of Buzz, sedotan keluaran Naked Wonders ini 100 persen organik dan akan terurai dalam waktu 90 hari setelah dibuang. Saat dibuang ke laut sedotan juga masih aman bagi lingkungan karena akan larut dan menjadi makanan bagi biota laut.

"Sedotan bisa bertahan 2-4 jam di minuman dingin dan 1-2 jam di minuman panas. Bagian terbaiknya adalah sedotan ini sama sekali tidak akan memengaruhi rasa minuman," kata Andre, salah satu pendiri Naked Wonders.

Karena terbuat dari pati, sedotan mungkin memiliki warna yang kurang elok bagi beberapa orang. Campuran beras dan tapioka menghasilkan warna nude atau putih off-white. Tapi justru warna alami itulah yang menginspirasi mereka untuk membuat nama brand dengan Naked Wonders.

Andre dan Melissa berharap bisa bekerjasama dengan industri lokal di bidang kuliner untuk menyediakan sedotan ini di restoran atau bisnis mereka. Saat ini sejumlah restoran lokal di Kuching, Malaysia, sudah menggunakan sedotan yang bisa dimakan ini di tempat mereka.
https://nonton08.com/into-the-storm/

Terpopuler Sepekan: DKI Kembali Zona Merah Corona, Ada 90 Klaster Kantor

Sebagian wilayah DKI Jakarta yang dianggap mulai berhasil menekan kasus virus Corona COVID-19 kembali mengalami peningkatan. Jakarta Selatan, Jakarta Timur, dan Jakarta Utara yang sebelumnya dikategorikan zona oranye kini disebut oleh juru bicara Satuan Tugas (Satgas) Penanganan COVID-19 Wiku Adisasmito kembali jadi zona merah.

Area perkantoran jadi salah satu tempat rawan terjadinya penularan virus. Hingga tanggal 28 Juli Satgas Penanganan COVID-19 mencatat sudah ada 90 kantor yang jadi klaster Corona, melibatkan 459 kasus. Berikut rinciannya:

- Kementerian: 20 klaster, 139 kasus
- Badan/lembaga: 10 klaster, 25 kasus
- Kantor di lingkungan Pemda DKI: 34 klaster, 141 kasus
- Kepolisian: 1 klaster, 4 kasus
- BUMN: 8 klaster, 35 kasus
- Swasta: 14 klaster, 92 kasus

Tim pakar Satgas Penanganan COVID-19 Dewi Nur Aisyah mengatakan bisa jadi seseorang yang positif virus Corona sudah tertular kala dia berada di rumahnya atau sedang menaiki transportasi umum dari dan ke kantor.

Dewi menyarankan masyarakat yang bekerja di kantor k selalu disiplin akan protokol kesehatan seperti menjaga jarak, cuci tangan dengan sabun, dan selalu memakai masker. Jika memungkinkan, jendela di kantor disarankan dibuka agar sirkulasi udara lebih baik.

"Kalau ruangan ada ruangan yang jendelanya bisa dibuka, itu dibuka saja. Sirkulasi juga berjalan bagus. Pastikan juga kapasitas kantor jangan padat-padat juga, kalau bisa makanya disarankan 50 persen. Kalau bisa lebih rendah lagi bagus banget, 25 persen misalnya. Maka ini bisa mengurangi risiko penularan di kantor," kata Dewi.

Angka Kehamilan di Desa Selama Pandemi Meningkat

Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mencatat selama pandemi virus Corona (COVID-19) ada penurunan penggunaan alat kontrasepsi. Peningkatan itu diketahui dalam kurun waktu tiga bulan terakhir.
Hal itu memicu penambahan angka kehamilan masyarakat Indonesia. Pasalnya, selama pandemi, masyarakat lebih sering berada di rumah untuk bekerja dari rumah.

"Ya bisa (karena WFH membuat angka kehamilan meningkat), karena stay at home itu komudian kontak suami istri menjadi lebih sering," kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo usai menerima gelar kehormatan di Audotorium UNY, Sabtu (1/8/2020).

Dia mencatat dalam tiga bulan terakhir ada penurunan penggunaan alat kontrasepsi sebesar 10 persen. Hal ini disebut berpotensi menyebabkan sekitar 400 ribu hingga 500 ribu kehamilan.

"Tiga bulan terakhir 10 persen dari 36 juta atau sekitar 3,6 juta putus menggunakan alat kontrasepsi. Kalau yang hamil itu 15 persen dari 3,6 juta itu kemudian ada 400-500 ribu tambahan kehamilan," urainya.

Menurut Hasto, kasus kehamilan di Indonesia itu unik. Peningkatan angka kehamilan itu hanya ditemukan di lapisan masyarakat tertentu

"Kehamilan selama pandemi cenderung yang (masyarakat) miskin, pendidikan rendah dan tinggal di desa. Nah itu menunjukkan bahwa kehamilan banyak dialami oleh orang yang tidak paham secara keilmuan," ungkapnya.

Oleh karena itu, untuk menekan angka kehamilan, pihaknya tengah menggencarkan program pengguna kontrasepsi. Tentunya dengan mekanisme yang menyesuaikan protokol kesehatan.

"Kedepan, BKKBN harus melakukan pelayanan secara serentak ke seluruh pelosok desa Indonesia tapi dalam jumlah kecil. Kemarin 29 Juni pelayanan sejuta aseptor bisa mencapai target bahkan lebih, 1,4 juta aseptor," pungkasnya.
https://nonton08.com/sakurada-reset-part-ii/