Sabtu, 03 Oktober 2020

Kasus Reinfeksi Corona Kembali Terjadi, Tanda Antibodi Tak Bertahan Lama?

 Kasus reinfeksi virus Corona kembali dilaporkan, dan kali ini terjadi di daerah Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat. Para peneliti mengatakan reinfeksi ini dialami seorang penghuni panti jompo.

Pasien dari panti jompo yang tidak diketahui namanya ini berusia 60 tahun, yang sebelumnya dirawat selama empat bulan di rumah sakit karena terinfeksi COVID-19. Tetapi, saat terinfeksi kedua kalinya ini ia hanya mengalami gejala yang ringan.


"Sebagian besar kasus menjadi lebih ringan untuk kedua kalinya," kata Dr Jason Goldman yang merupakan kepala Tim Riset COVID-19 di Swedish Medical Center, Seattle yang dikutip dari New York Post, Jumat (2/10/2020).


"Bahkan jika sistem kekebalan tubuh gagal untuk mencegah infeksi kedua ini, tetapi itu membatasi tingkat keparahan untuk kedua kalinya akibat virus Corona tersebut," lanjutnya.


Sebelumnya, kasus reinfeksi yang dilaporkan pertama kali dialami pria berusia 35 tahun di Hong Kong dan pria lain berusia 25 tahun di Reno, Nevada.


"Kebanyakan kasus memiliki jarak empat bulan atau lebih dari infeksi pertama sampai yang kedua. Jadi, itu mungkin merupakan titik perubahan, di mana kekebalan tubuh mulai berkurang," jelas Dr Goldman.


Dr Goldman juga mengatakan sampai saat ini para peneliti masih terus mencoba untuk mempelajari dan memahami terkait berapa lamanya antibodi virus Corona bisa bertahan. Hal ini berguna untuk menjaga tubuh dari virus tersebut.


"Kami masih harus belajar tentang virus ini dan (jumlah) kekebalan yang kami butuhkan untuk melindungi diri dari virus ini," lanjutnya.

https://kamumovie28.com/hacked/


Mahalnya Tes Swab Mandiri, Sekali Periksa Bisa Sampai Rp 4 Juta


Penularan virus Corona COVID-19 masih terjadi di Indonesia. Salah satu cara untuk menekan penularan dan penyebaran infeksi COVID-19 adalah dengan melakukan pengujian secara luas.

Idealnya, pengujian spesimen dilakukan secara massal oleh dinas kesehatan provinsi terkait untuk menjaring mana saja orang yang tertular, terutama mereka yang tanpa gejala. Hanya saja kebanyakan baru melakukan pemeriksaan swab untuk penelusuran kontak yang dilakukan oleh puskesmas atau dinas kesehatan.


Tapi, beberapa orang yang bekerja di 'zona merah' mengaku tetap melakukan swab mandiri demi alasan keselamatan dan untuk menjaga diri sendiri. Seperti yang diceritakan Dafy (21) yang melakukan swab mandiri karena khawatir terkena virus Corona karena ia bekerja di Jakarta Pusat di mana kasus Corona masih tinggi.


"Biar tahu positif apa nggak. Soalnya aku kerja di Jakarta, rawan gitu," ucapnya saat dihubungi detikcom pada Jumat (02/10/2020).


Sebelum memutuskan tes swab, Dafy sempat melakukan rapid test dan dinyatakan reaktif. Untuk memastikan dirinya tak tertular, ia melakukan tes swab dan dinyatakan negatif.


Dafy mengaku biaya yang dikeluarkan untuk swab di sebuah rumah sakit di Jakarta Pusat sebesar Rp 2,5 juta dan hasilnya keluar 3 hari.


Jika ingin cepat dan hasil test hari itu juga keluar dikenakan biaya Rp 3,5 juta - Rp 4 juta. Sebelumnya swab, ia melakukan riset di beberapa rumah sakit.


"Riset dulu, cari yang murah. Aku riset ke rumah sakit S Tangerang sama ke rumah sakit H Jakarta. Harganya 3-5 jutaan mahal banget tapi itu sehari sih, besoknya udah keluar," katanya.


Baru-baru ini, Kementerian Kesehatan akhirnya menetapkan standar harga tes swab mandiri. Harga maksimal ditetapkan Rp 900 ribu.

https://kamumovie28.com/extinction/

Alami Kesalahan Saat Tes Swab, Cairan Otak Wanita Ini Bocor

 Seorang wanita mengalami kondisi langka, yakni kebocoran cairan otak di hidungnya. Setelah dicari tahu penyebabnya, ternyata cairan serebrospinal (CSF) ini keluar setelah ia melakukan tes swab.

"Sepengetahuan kami, ini adalah laporan pertama kasus kebocoran CSF iatrogenik setelah melakukan tes swab COVID-19 lewat hidung," tulis laporan yang diterbitkan di jurnal JAMA Otolaryngology bagian Bedah Kepala dan Leher, dikutip dari New York Post, Jumat (2/10/2020).


Kejadian bermula saat wanita berusia 40 tahun yang tidak disebutkan namanya ini wajib menjalani tes Corona, sebelum dirinya menjalani operasi hernia elektif. Tes swab itu dilakukan melalui hidung, yang sesuai dengan rekomendasi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat.


Setelah melakukan tes swab, wanita ini mulai merasa sakit kepala, lehernya kaku, fotosensitifitas, muntah, dan ada 'rasa logam' di mulutnya. Saat menyadari ada yang salah, ia langsung melapor ke rumah sakit dan melakukan CT scan.


Terlihat ada kantung CSF berukuran 1,8 sentimeter yang menjorok ke dalam rongga sinus di antara celah tulangnya. Menurut Children's Wisconsin health system, kondisi ini dikenal dengan ensefalokel yaitu tulang tengkorak yang tidak menutup sepenuhnya, sehingga meninggalkan retakan di tempat CSF dan jaringan otak menumpuk.


Melihat kondisi wanita ini, dokter berspekulasi bahwa tes swab yang dilakukan di hidung itu memecahkan kantong CSF sehingga cairan tulang belakang pelindung otaknya bocor. Akibatnya, wanita ini mengalami perubahan keseimbangan serebral yang disebut hipotensi intrakranial spontan dan tekanan tinggi di otaknya.


Analisis CT scan mengungkapkan kondisi wanita tersebut salah diidentifikasi. Bukannya teridentifikasi sebagai encephalocele, tetapi peradangan hidung. Untuk mengatasinya, dokter bisa mengisi celah yang bermasalah itu dengan mencangkok kulit jaringan lunak.


Menurut laporan tersebut dari kasus ini, sangat dibutuhkan pelatihan dokter terkait skrining usap atau swab ini. Hal ini untuk menghindari cedera otak yang tidak disengaja, dan juga mengusulkan adanya prosedur skrining alternatif lainnya untuk pasien yang mengalami masalah sinus atau penyakit yang berkaitan dengan tengkorak.

https://kamumovie28.com/good-people/


Kasus Reinfeksi Corona Kembali Terjadi, Tanda Antibodi Tak Bertahan Lama?


Kasus reinfeksi virus Corona kembali dilaporkan, dan kali ini terjadi di daerah Seattle, negara bagian Washington, Amerika Serikat. Para peneliti mengatakan reinfeksi ini dialami seorang penghuni panti jompo.

Pasien dari panti jompo yang tidak diketahui namanya ini berusia 60 tahun, yang sebelumnya dirawat selama empat bulan di rumah sakit karena terinfeksi COVID-19. Tetapi, saat terinfeksi kedua kalinya ini ia hanya mengalami gejala yang ringan.


"Sebagian besar kasus menjadi lebih ringan untuk kedua kalinya," kata Dr Jason Goldman yang merupakan kepala Tim Riset COVID-19 di Swedish Medical Center, Seattle yang dikutip dari New York Post, Jumat (2/10/2020).


"Bahkan jika sistem kekebalan tubuh gagal untuk mencegah infeksi kedua ini, tetapi itu membatasi tingkat keparahan untuk kedua kalinya akibat virus Corona tersebut," lanjutnya.


Sebelumnya, kasus reinfeksi yang dilaporkan pertama kali dialami pria berusia 35 tahun di Hong Kong dan pria lain berusia 25 tahun di Reno, Nevada.


"Kebanyakan kasus memiliki jarak empat bulan atau lebih dari infeksi pertama sampai yang kedua. Jadi, itu mungkin merupakan titik perubahan, di mana kekebalan tubuh mulai berkurang," jelas Dr Goldman.


Dr Goldman juga mengatakan sampai saat ini para peneliti masih terus mencoba untuk mempelajari dan memahami terkait berapa lamanya antibodi virus Corona bisa bertahan. Hal ini berguna untuk menjaga tubuh dari virus tersebut.


"Kami masih harus belajar tentang virus ini dan (jumlah) kekebalan yang kami butuhkan untuk melindungi diri dari virus ini," lanjutnya.

https://kamumovie28.com/the-legend-of-sarila-2/