Kamis, 05 Desember 2019

Sepak Bola dan Prestise Bangsa

Berbicara mengenai sepak bola di Indonesia, apa yang kita pikirkan? Prestasi? Juara Sea Games? Langganan Piala Asia? Masuk Piala Dunia? Ataukah permainan yang indah dan menghibur? Tentunya semua itu tidak masuk dalam pikiran dan bayangan kita ketika mendengar "sepak bola Indonesia".

Sepak bola adalah salah satu olahraga yang paling populer di Indonesia. Tentunya olahraga ini sangat tidak asing lagi di telinga anak-anak, remaja maupun dewasa. Menurut riset Nielsen Sport hampir sebanyak 77 persen penduduk Indonesia memiliki ketertarikan pada olahraga sepak bola, terutama saat Timnas Indonesia berlaga. Hal ini menandakan sepak bola merupakan sesuatu yang sangat prestisius bagi masyarakat Indonesia.

Menilik dari pertandingan terakhir Timnas Indonesia melawan Malaysia di kualifikasi Piala Dunia 2022, banyak hal yang perlu dibenahi. Laga yang berakhir 2-0 untuk kemenangan Malaysia itu menandakan bahwa sepak bola kita belum mengalami perkembangan yang signifikan. Ketika negara-negara di ASEAN mulai berbenah dengan kualitas sepak bolanya, Indonesia bisa dikatakan masih diam di tempat. Jauh dari kata prestasi, malah fluktuasi yang kita rasakan saat ini.

Naik-turunnya performa Timnas Indonesia menjadi salah satu faktor kegagalan di 5 laga terakhir Timnas dalam Kualifikasi Piala Dunia 2022. Melihat kondisi seperti ini, banyak hal harus dibenahi demi kemajuan sepak bola Indonesia. Dimulai dari pembinaan usia dini, sistem liga yang jelas dan terstruktur, sampai ke bidang infrastruktur seperti kualitas lapangan, training center, dan tentunya didukung oleh kualitas suporter yang sehat.

Komponen-komponen tersebut merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi bagian untuk kemajuan sepak bola Indonesia. Tentunya semua komponen tersebut harus dibenahi oleh pemerintah bersama dengan seluruh masyarakat Indonesia.

Pembinaan usia dini sepak bola di Indonesia ditampung di Sekolah Sepak Bola (SSB). Perkembangan SSB di Indonesia terbilang cukup menjanjikan saat ini. Beberapa nama SSB yang terkenal di Indonesia yaitu SKO Ragunan, ASIOP APCINTI (Jakarta), Diklat Salatiga, Tulehu Putera, Mitra Surabaya, Makassar Football School (MFS), dan ASAD 313 Jaya Perkasa Purwakarta.

Beberapa SSB tersebut banyak melahirkan bakat-bakat muda yang menjadi langganan bermain di Timnas Indonesia. Sebut saja Bambang Pamungkas dari Diklat Salatiga, Hamka Hamzah dari MFS, dan yang sedang naik daun Egy Maulana Vikry dari SKO Ragunan. Sekarang tinggal bagaimana pemerintah untuk mewujudkan distribusi SSB yang berkualitas ke pelosok-pelosok negeri untuk menjaring lebih banyak potensi dari anak-anak muda di seluruh Indonesia.

Komponen yang kedua adalah kualitas liga yang saat ini sedang berlangsung. Liga 1 atau yang saat ini bertajuk Liga Shopee adalah kasta tertinggi dalam liga sepak bola Indonesia. Jadwal liga yang terstruktur, wasit dan perangkat pertandingan yang berkualitas, serta basis suporter yang sehat. Jika melihat bagaimana Liga Shopee berjalan sampai pekan ini, banyak hal yang harus diperbaiki. Seperti halnya ketika Timnas Indonesia berlaga pada Piala AFF 2018, jadwal Liga masih berjalan sehingga tentunya mengakibatkan beberapa klub kehilangan pilar pentingnya. Selain itu fokus kepada Timnas Indonesia juga akan terbagi karena jadwal liga masih tetap dilaksanakan.

Selain jadwal, Komdis PSSI juga menjadi sorotan. Ketika denda atau sanksi yang diterapkan oleh Komdis kepada klub ataupun pemain begitu luar biasa besar dalam hal nominal, tetapi tidak sejalan dengan kedisiplinan klub ataupun pemain. Perhatian yang besar tentunya bagaimana harusnya Komdis PSSI mampu membina klub atau pemain dalam hal kedisiplinan baik di luar maupun di dalam lapangan. Bukan dengan memberikan sanksi material saja, tetapi diperlukan sanksi yang lebih membangun kedisiplinan, seperti halnya pembinaan secara berkelanjutan terhadap klub yang dikenakan sanksi.

Drama Kepemimpinan Golkar

Salah satu agenda penting Munas Partai Golkar yang dibuka Rabu (4/12) malam adalah memilih Ketua Umum. Airlangga Hartarto sebagai incumbent berpeluang besar untuk kembali memimpin partai berlambang beringin itu. Sejumlah rival, sebut saja yang tengah digadang-gadang seperti Bambang Soesatyo, akhirnya mengundurkan diri dari pencalonan.

Golkar memang pernah berada di persimpangan sejarah, sejak beberapa kasus korupsi yang menggerogoti elite-elitenya, sebut saja kasus Setya Novanto. Karenanya, semua tergantung pada nahkoda Golkar ke depan. Karena itu pemilihan figur kepemimpinan akan menentukan jatuh atau bangkitnya pada kelanjutan partai ke depan.

Para kader elite partai Golkar masih terus bergerilya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan partai. Memang kini dibutuhkan estafet kepemimpinan yang energik, untuk mengimbangi era milenial yang sesungguhnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mengerti dunia muda.

Apalagi menurut survei yang pernah dirilis beberapa lembaga seperti LSI, angka elektabilitas Golkar berada di kisaran 13 persen --disalip Partai Gerindra. Ini mirip dengan situasi Partai Demokrat yang elektabilitasnya langsung terjun bebas usai sang ketua umum Anas Urbaningrum ditahan KPK, Januari 2014. Hanya dalam tempo empat bulan, elektabilitas Demokrat pun terjun bebas.

Melihat situasi terkini, Golkar jelas mesti berbenah. Hitung-hitungan politik secara matang mesti dikalkulasi partai yang berjaya pada zaman Orde Baru itu.

Partai Golkar kembali mengalami dinamika, termasuk kemungkinan pecahnya kepentingan-kepentingan politik dari kader-kader senior. Melihat kondisi ini, sudah sepatutnya Golkar memberikan kesempatan pada kader muda untuk memimpin. Dengan memberikan kesempatan pada kader muda terutama yang pro perubahan diharapkan dapat kembali mendongkrak elektabilitas partai.

Selain itu, dengan munculnya kader muda memimpin Golkar, dapat membawa partai ini menjadi partai yang lebih modern. Partai yang menjadi salah satu komponen demokrasi yang dapat memobilisasi dan mengaktifkan rakyat, mewakili kepentingan rakyat, memberikan jalan kompromi bagi pendapat serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara damai.

Partai Golkar perlu melakukan proses demokratisasi internal. Kedaulatan partai harus di tangan anggota atau mereka yang secara demokratis dipilih mewakili konstituen. Jika tidak melakukan proses demokratisasi, hanya akan memperpanjang paradoks politik yang akan menghasilkan aktor-aktor atau elite politik yang perilakunya amat jauh dari harapan masyarakat.

Jika itu terjadi, hal itu menunjukkan bahwa lembaga politik, yaitu partai politik, institusi yang memproduksi aktor atau elite politik tidak melakukan perekrutan sesuai standar dan kualitas minimal yang diperlukan bagi lembaga-lembaga di mana mereka akan ditempatkan.

Regenerasi di tubuh Golkar telah menjadi keharusan. Itu sudah menjadi tuntutan perubahan dan menjadi sebuah paradigma baru bagi Golkar yang berada di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, partai Golkar yang sudah kaya pengalaman.
Bila Golkar ingin tetap eksis, maka tuntutan untuk melahirkan generasi politik baru harus dapat diimplementasikan. Kehadiran kader-kader muda untuk ikut mengurus manajemen Golkar mesti disambut dengan terbuka. Selain muda dalam arti usia, juga harus segar dari sudut pandang gagasan.

Adalah suatu keberhasilan bila selama ini sudah terjadi upaya untuk menghadirkan orang-orang muda dalam struktur Partai Golkar. Keberadaan Partai Golkar yang hanya tergantung pada figur tertentu sudah tidak zamannya lagi. Masyarakat sangat mendambakan adanya regenerasi yang berjalan secara mulus.

Kerinduan rakyat atas lahirnya sebuah generasi politik baru yang mempunyai visi kepemimpinan sudah terlihat jelas, dibuktikan pada Pemilu Legislatif yang mengikuti kompetisi politik yang ketat.

Jadi persoalan regenerasi politik tergantung pada paradigma para elite Golkar. Keraguan atas kemampuan anak muda selama ini menggejala setidaknya bisa dipatahkan dengan melihat keberhasilan anak-anak muda dalam mengemban kepercayaan publik.

Namun dalam pilpres yang lalu, kehadiran anak muda sebagai pelaku politik belum teradopsi dengan baik, sekalipun kontribusi mereka dalam meraih dukungan rakyat tak bisa dipandang sebelah mata. Jajaran tim kampanye sudah mulai banyak diisi oleh para generasi terakhir di dalam partai-partai politik tersebut.

Ke depan, para generasi lama yang hingga kini masih menempati posisi kunci di tubuh Golkar yang ada secara sadar harus mulai menarik diri. Tibalah saatnya untuk menyerahkan dinamika politik untuk lima tahun ke depan kepada generasi yang lebih muda. Jika Golkar gagal dalam melahirkan generasi politik yang berkesinambungan, tentu akan berpengaruh pada kepemimpinan nasional secara umum.