Kamis, 05 Desember 2019

Drama Kepemimpinan Golkar

Salah satu agenda penting Munas Partai Golkar yang dibuka Rabu (4/12) malam adalah memilih Ketua Umum. Airlangga Hartarto sebagai incumbent berpeluang besar untuk kembali memimpin partai berlambang beringin itu. Sejumlah rival, sebut saja yang tengah digadang-gadang seperti Bambang Soesatyo, akhirnya mengundurkan diri dari pencalonan.

Golkar memang pernah berada di persimpangan sejarah, sejak beberapa kasus korupsi yang menggerogoti elite-elitenya, sebut saja kasus Setya Novanto. Karenanya, semua tergantung pada nahkoda Golkar ke depan. Karena itu pemilihan figur kepemimpinan akan menentukan jatuh atau bangkitnya pada kelanjutan partai ke depan.

Para kader elite partai Golkar masih terus bergerilya untuk melanjutkan estafet kepemimpinan partai. Memang kini dibutuhkan estafet kepemimpinan yang energik, untuk mengimbangi era milenial yang sesungguhnya dibutuhkan pemimpin-pemimpin yang mengerti dunia muda.

Apalagi menurut survei yang pernah dirilis beberapa lembaga seperti LSI, angka elektabilitas Golkar berada di kisaran 13 persen --disalip Partai Gerindra. Ini mirip dengan situasi Partai Demokrat yang elektabilitasnya langsung terjun bebas usai sang ketua umum Anas Urbaningrum ditahan KPK, Januari 2014. Hanya dalam tempo empat bulan, elektabilitas Demokrat pun terjun bebas.

Melihat situasi terkini, Golkar jelas mesti berbenah. Hitung-hitungan politik secara matang mesti dikalkulasi partai yang berjaya pada zaman Orde Baru itu.

Partai Golkar kembali mengalami dinamika, termasuk kemungkinan pecahnya kepentingan-kepentingan politik dari kader-kader senior. Melihat kondisi ini, sudah sepatutnya Golkar memberikan kesempatan pada kader muda untuk memimpin. Dengan memberikan kesempatan pada kader muda terutama yang pro perubahan diharapkan dapat kembali mendongkrak elektabilitas partai.

Selain itu, dengan munculnya kader muda memimpin Golkar, dapat membawa partai ini menjadi partai yang lebih modern. Partai yang menjadi salah satu komponen demokrasi yang dapat memobilisasi dan mengaktifkan rakyat, mewakili kepentingan rakyat, memberikan jalan kompromi bagi pendapat serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara damai.

Partai Golkar perlu melakukan proses demokratisasi internal. Kedaulatan partai harus di tangan anggota atau mereka yang secara demokratis dipilih mewakili konstituen. Jika tidak melakukan proses demokratisasi, hanya akan memperpanjang paradoks politik yang akan menghasilkan aktor-aktor atau elite politik yang perilakunya amat jauh dari harapan masyarakat.

Jika itu terjadi, hal itu menunjukkan bahwa lembaga politik, yaitu partai politik, institusi yang memproduksi aktor atau elite politik tidak melakukan perekrutan sesuai standar dan kualitas minimal yang diperlukan bagi lembaga-lembaga di mana mereka akan ditempatkan.

Regenerasi di tubuh Golkar telah menjadi keharusan. Itu sudah menjadi tuntutan perubahan dan menjadi sebuah paradigma baru bagi Golkar yang berada di tengah-tengah masyarakat. Terlebih, partai Golkar yang sudah kaya pengalaman.
Bila Golkar ingin tetap eksis, maka tuntutan untuk melahirkan generasi politik baru harus dapat diimplementasikan. Kehadiran kader-kader muda untuk ikut mengurus manajemen Golkar mesti disambut dengan terbuka. Selain muda dalam arti usia, juga harus segar dari sudut pandang gagasan.

Adalah suatu keberhasilan bila selama ini sudah terjadi upaya untuk menghadirkan orang-orang muda dalam struktur Partai Golkar. Keberadaan Partai Golkar yang hanya tergantung pada figur tertentu sudah tidak zamannya lagi. Masyarakat sangat mendambakan adanya regenerasi yang berjalan secara mulus.

Kerinduan rakyat atas lahirnya sebuah generasi politik baru yang mempunyai visi kepemimpinan sudah terlihat jelas, dibuktikan pada Pemilu Legislatif yang mengikuti kompetisi politik yang ketat.

Jadi persoalan regenerasi politik tergantung pada paradigma para elite Golkar. Keraguan atas kemampuan anak muda selama ini menggejala setidaknya bisa dipatahkan dengan melihat keberhasilan anak-anak muda dalam mengemban kepercayaan publik.

Namun dalam pilpres yang lalu, kehadiran anak muda sebagai pelaku politik belum teradopsi dengan baik, sekalipun kontribusi mereka dalam meraih dukungan rakyat tak bisa dipandang sebelah mata. Jajaran tim kampanye sudah mulai banyak diisi oleh para generasi terakhir di dalam partai-partai politik tersebut.

Ke depan, para generasi lama yang hingga kini masih menempati posisi kunci di tubuh Golkar yang ada secara sadar harus mulai menarik diri. Tibalah saatnya untuk menyerahkan dinamika politik untuk lima tahun ke depan kepada generasi yang lebih muda. Jika Golkar gagal dalam melahirkan generasi politik yang berkesinambungan, tentu akan berpengaruh pada kepemimpinan nasional secara umum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar