Kamis, 05 Desember 2019

Abdul Somad di Antara Hukum dan Kemanusiaan (3)

Begini maksud saya. Ketika seorang penyanyi kondang berbuat mesum dengan pacarnya (atau pacar-pacarnya) sambil merekamnya dengan kamera, apakah itu pelanggaran hukum? Jelas bukan. Hukum kita tidak mengatur itu, sepanjang pacarnya itu bukan anak di bawah umur, atau istri orang, dan sepanjang perbuatan mesum itu tidak bersifat transaksional. Namun ketika ia menyebarkan video rekaman itu ke mana-mana, dia tersambar pasal pornografi.

Maka, kasus yang menyambar penyanyi itu bukanlah perbuatan mesum itu sendiri, melainkan penyebaran videonya. Dengan kata lain, jika yang menyebarkan videonya bukan dia sendiri, melainkan orang lain yang ingin menghancurkan kehidupannya, semestinya yang dicokok adalah orang yang menyebarkan itu.

Ini persis dengan kasus chatting mesum yang menimpa seseorang di sana. Saya tetap yakin bahwa tindakan chatting itu sendiri bukanlah pelanggaran hukum. Sebab ia wilayah privasi, sehingga kalau si pelaku chatting dituduh berbuat kriminal dengan itu, saya sepakat bahwa ada kriminalisasi.

Namun, jika tangkapan layar chatting itu disebarluaskan, aksi penyebarluasan itulah yang merupakan tindakan kriminalitas. Bukankah begitu? Lalu siapa yang menyebarkannya?

Jadi mohon maaf, ini mungkin akan menyakiti hati banyak orang. Tapi saya memang berpandangan bahwa UAS tidak melakukan pelanggaran hukum. Yang melanggar hukum adalah orang yang menyebarkan video ceramah UAS itu, siapa pun dia.

"Lho nyatanya Ahok dihukum! Ini tidak adil! Mentang-mentang mayoritas!"

Nah, ini. Ini. Kasus UAS dan Ahok bukan dua apel yang bisa dibandingkan apa adanya. Unsur-unsur kontekstualnya berbeda, meski bagi saya hasilnya sama: sebenarnya mereka sama-sama tidak bersalah di mata hukum.

UAS, setahu saya, berceramah di forum "kalangan sendiri". Ahok tidak; dia berpidato di depan masyarakat umum. Konten ceramah UAS jelas menghina keyakinan orang lain, sementara bagi saya Ahok tidak menghina keyakinan lain, melainkan sekadar mengejek kelakuan umat beragama lain.

Unsur "menghina keyakinan orang lain" dan "menyampaikannya di ruang publik" itu dua hal yang sepaket, tidak bisa diecer, agar terbentuk suatu tindakan pelanggaran hukum.

Baik UAS maupun Ahok telah melanggar batas-batas etika, tapi kedua-duanya tidak melanggar hukum. Itu menurut saya, meski saya tetap menghormati keputusan-keputusan dari otoritas hukum.

Saya sama sekali bukan pakar hukum, tapi sebagai warga negara yang dilindungi sekaligus "diancam" oleh hukum, kita wajib memahami soal-soal mendasar seperti itu. Sekali lagi: mohon berikan koreksi kalau saya salah.

Terakhir, mari kita tinggalkan dulu soal hukum positif. Kita bicara etika dan kemanusiaan.

Saya memang tidak setuju jika dikatakan bahwa UAS melanggar hukum. Maka atas nama hukum, dia harus dibebaskan.

Sayangnya, hidup dan kehidupan ini bukan melulu perkara hukum. Kita menata hukum juga dengan satu tujuan bersama, yaitu membangun ketertiban dan harmoni sosial.

Dinamika masyarakat semakin kompleks. Ada banyak situasi baru yang kita hadapi, tantangan-tantangan baru dalam kehidupan sosial yang belum ada di masa penataan aturan hukum, dan sebagainya.

Kita ingin menjalani kehidupan bersama secara baik, damai, mengalokasikan energi untuk bersama meraih capaian-capaian positif di masyarakat, di dalam sebuah masyarakat yang majemuk, yang mengayomi banyak unsur sekaligus menghadapi banyak potensi konflik.

Cara berdakwah, bahkan cara berkeyakinan, sebagaimana yang disampaikan dalam ceramah UAS itu memang tidak melanggar hukum positif, tapi ia kontraproduktif dengan cita-cita harmoni sosial. Ia mungkin dapat diposisikan sebagai hak legal, namun ia sangat tidak membawa kemaslahatan dalam kehidupan bersama yang saling berdampingan.

Semestinya ada introspeksi yang serius dalam perkara itu dari para pemuka agama. Agama apa pun itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar