Kamis, 05 Desember 2019

Abdul Somad di Antara Hukum dan Kemanusiaan (2)

Dalam suatu analogi yang tersebar banyak di media sosial, meyakini bahwa istri tetangga kita jelek bukanlah pelanggaran hukum. Namun, begitu di pos ronda Anda ketemu si tetangga tersebut lalu bilang istrinya jelek, tindakan Anda bisa terkena pasal perbuatan tidak menyenangkan. Apalagi kalau ucapan itu dilemparkan di forum arisan RT. Klir, kan?

Maka, secara hukum dan demokrasi, kata-kata UAS dan gambarannya tentang salib itu bukan pelanggaran. Syaratnya: sepanjang dia mengucapkannya di ruang terbatas, alias "untuk kalangan sendiri".

Biar adil, karena saya muslim, saya pun harus mengatakan bahwa bila ada pemuka agama selain Islam menjelek-jelekkan Nabi Muhammad, atau menertawakan ibadah haji (kemarin ada yang membagi video seperti itu di kolom komentar Facebook saya), itu pun bukan pelanggaran hukum positif. Syaratnya sekali lagi: asal disampaikan di ruang internal terbatas.

Persoalannya, lagi-lagi, ada yang kacau balau dalam memahami ruang. Sebab sekarang kita memakai ruang-ruang digital, dan ruang digital adalah ruang yang tanpa batas. Problem ini yang terjadi pada orang-orang yang menggunakan medsos setiap hari, tapi mindset-nya masih buletin Jumatan. Mereka mengira akun Facebook-nya adalah seratus persen rumahnya, dan mengunggah sesuatu di akun personal medsosnya adalah sama dan sebangun dengan mengobrol di kamar tidur bersama pasangannya!

Padahal, tentu situasinya sama sekali berbeda. Apa yang telah dilempar ke ruang online berarti sudah menembus sekat ruang publik. Ia tak beda dengan gosip yang dipresentasikan di rapat RT. Ia tak beda dengan video aktivitas ranjang koleksi pribadi yang diputar di layar tancap. Maka, perlakuan negara dan hukum kepada ruang-ruang online itu mirip sikap yang diterapkan kepada ruang publik offline. Kira-kira begitu.

Untuk lebih mematangkan pemahaman kita soal itu, mari kita bandingkan soal iman ini dengan pornografi. Tentu saya tidak bermaksud mengatakan bahwa iman sama dengan pornografi, nanti sampeyan melaporkan saya juga ke polisi hehe.

Begini maksud saya. Ketika seorang penyanyi kondang berbuat mesum dengan pacarnya (atau pacar-pacarnya) sambil merekamnya dengan kamera, apakah itu pelanggaran hukum? Jelas bukan. Hukum kita tidak mengatur itu, sepanjang pacarnya itu bukan anak di bawah umur, atau istri orang, dan sepanjang perbuatan mesum itu tidak bersifat transaksional. Namun ketika ia menyebarkan video rekaman itu ke mana-mana, dia tersambar pasal pornografi.

Maka, kasus yang menyambar penyanyi itu bukanlah perbuatan mesum itu sendiri, melainkan penyebaran videonya. Dengan kata lain, jika yang menyebarkan videonya bukan dia sendiri, melainkan orang lain yang ingin menghancurkan kehidupannya, semestinya yang dicokok adalah orang yang menyebarkan itu.

Ini persis dengan kasus chatting mesum yang menimpa seseorang di sana. Saya tetap yakin bahwa tindakan chatting itu sendiri bukanlah pelanggaran hukum. Sebab ia wilayah privasi, sehingga kalau si pelaku chatting dituduh berbuat kriminal dengan itu, saya sepakat bahwa ada kriminalisasi.

Namun, jika tangkapan layar chatting itu disebarluaskan, aksi penyebarluasan itulah yang merupakan tindakan kriminalitas. Bukankah begitu? Lalu siapa yang menyebarkannya?

Jadi mohon maaf, ini mungkin akan menyakiti hati banyak orang. Tapi saya memang berpandangan bahwa UAS tidak melakukan pelanggaran hukum. Yang melanggar hukum adalah orang yang menyebarkan video ceramah UAS itu, siapa pun dia.

"Lho nyatanya Ahok dihukum! Ini tidak adil! Mentang-mentang mayoritas!"

Nah, ini. Ini. Kasus UAS dan Ahok bukan dua apel yang bisa dibandingkan apa adanya. Unsur-unsur kontekstualnya berbeda, meski bagi saya hasilnya sama: sebenarnya mereka sama-sama tidak bersalah di mata hukum.

UAS, setahu saya, berceramah di forum "kalangan sendiri". Ahok tidak; dia berpidato di depan masyarakat umum. Konten ceramah UAS jelas menghina keyakinan orang lain, sementara bagi saya Ahok tidak menghina keyakinan lain, melainkan sekadar mengejek kelakuan umat beragama lain.

Unsur "menghina keyakinan orang lain" dan "menyampaikannya di ruang publik" itu dua hal yang sepaket, tidak bisa diecer, agar terbentuk suatu tindakan pelanggaran hukum.

Baik UAS maupun Ahok telah melanggar batas-batas etika, tapi kedua-duanya tidak melanggar hukum. Itu menurut saya, meski saya tetap menghormati keputusan-keputusan dari otoritas hukum.

Saya sama sekali bukan pakar hukum, tapi sebagai warga negara yang dilindungi sekaligus "diancam" oleh hukum, kita wajib memahami soal-soal mendasar seperti itu. Sekali lagi: mohon berikan koreksi kalau saya salah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar