Selasa, 24 Desember 2019

Sawahlunto, Kota Tambang yang Jadi Situs UNESCO (2)

Buku kecil ini mewakili episode sejarah, yakni awal ditemukannya sumber energi batubara sampai dibangunnya kota tambang Swahlunto. Sebenarnya ada lagi satu buku yang saya dapatkan tentang episode semangat kemerdekaan dari tambang panas sunga durian berjudul 'Pekik Merdeka dari Sel Penjara dan Tambang Panas' yang akan dibahas pada tulisan berikutnya.

Buku berjudul 'Jejak De Greve dalam Kenangan Swahlunto' tulisan Yonni Saputra pada intinya menceritakan kontribusi seorang insinyur atau ahli geologi pertambangan lulusan dari Akademi Delft bernama De Grave. Siapa sangka berkat jasanya maka Sawahlunto ada dan menjadi kota modern pada saat itu hingga sekarang yang masih bisa dirasakan peninggalannya.

Lantas apa sebenarnya jasa De Grave yang monumental tersebut? Berdasarkan pembahasan secara kronologis dalam buku tersebut, ternyata sumbernya adalah karena sebuah karya ilmiah yang dipublikasikan bersama koleganya W.A. Henny pada 1871 dengan judul 'Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatras Weskust' (Tambang Batubara Ombilin di Dataran Tinggi Padang dan Sistem Transportasi di Sumatra Barat).

De Grave dengan nama lengkapnya adalah Willem Hendrik de Greve lahir di Franeker, 15 April 1840. Sejak kelahirannya sampai dengan 1859 berhasil menyelesaikan pendidikannya sebagai Insinyur Geologi. Periode 1861-1871 ditugaskan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda untuk mengikuti pelatihan dan memulai debut penelitiaanya dengan dikiri ke daerah koloni Hidia Belanda di seluruh dunia termasuk Indonesia di Sungai Ombilin dan Sawahlunto.

Karirnya yang begitu cemerlang dengan cepat naik pangkat menjadi Insinyur tingkat utama walaupun ditolaknya. de Greve harus terhenti karirnya dalam usia yang masih cukup muda pada 1872 di Sijunjung kaena kecelakaan di Sungai Kuantan. Hasi penelitiannya sendiri yang begitu monumental dan dipublikasikan merupakan penelitian lanjutan dari yang telah dilakukannya oleh pendahulunya.

Pasca publikasi tersebut, di negeri Belanda banyak didiskusikan agar pemerintah Kerajaan Belanda mengambil keputusan untuk segera membuka dan mengeksploitasi batu bara di Swahlunto. Sejak itu persiapan dengan sumber daya yang besar dikerahkan untuk membangun infrastruktur pada proyek terintegrasi tersebut pada periode 1891-1894.

Pembangunan inftarsrutur jalan, rel kereta api, dan pelabuhan agar dapat mengangkut batu bara dari Sawahlunto menuju Padang menggunakan kereta api, dan dibawa ke Batavia dan diekspor ke Belanda untuk mendukung perkembangan revolusi Industri yang sedang berlangsung di Eropa sejak pertengahan abad XVIII menggunakan kapal melalui pelabuhan laut.

Tentu saja pembangunaanya tidak berhenti di situ saja, perlu dilakukan pembangunan sarana dan prasarana perumahan untuk pegawai dan buruh, dapur umum, tempat ibadah, kantor, dan gedung-gedung hiburan, serta pembagkit listrik tenaga uap. Dengan cepatnya pembangunan ini maka Sawahlunto menjadi salinan (photo copy) negeri kincir angin agar orang Belanda yang bekerja di sana tidak jenuh karena merasa seperti di kampung halamannya sendiri.

Kota modern Sawahlunto disebut juga dengan 'The Little Dutch' dan terkenal ke seluruh penjuru dunia sebagai salah satu pendorong bagi kemajuan revolusi industri di Eropa melalui pasokan batu baranya. Kini gedung-gedung rumah sakit, kantor pertambangan yang menajdi kator PT. BA, rumah ibadah gereja, hotel, gedung pertemuan (societeit) sekarang menjadi gedung pusat kebudayaan, dapur umum sekarang menjadi museum Goedang Ransoem, stasiun kereta api, gedung PLTU sekarang menjadi masjid Nurul Iman, dan sarana tambang bawah tanah masih ada hingga saat ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar