Senin, 30 Desember 2019

Belanja di Pasar Ini, Bayarnya Pakai Uang Bambu (2)

Di bawah rimbunan pohon bambu, alas tikar terhampar. Ratusan pengunjung tumpah-ruah. Seorang pengunjung bernama Budi, warga Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, terlihat bingung.

Lelaki berusia 45 tahun bersama sang istri bingung sebab setiap kali memesan makanan, selalu ditanya penjualnya. "Pringnya (bambunya) mana," kata Budi menirukan ucapan penjual makanan.

Akhirnya dia baru tahu kalau bambu yang dimaksud penjual makanan adalah alat bayar di pasar itu. Dia pun menukarkan uannya dengan uang bambu.

"Saya tadi tukar uang bambu sebanyak 10 koin. Nanti kalau kurang, saya tukar lagi," ungkapnya.

Satu uang bambu bernilai Rp 2 ribu. Pengunjung harus menukarkan uangnya lebih dulu ke lapak khusus bertuliskan 'ijol duwit'. Di sana, pengunjung pasar bisa menukar uangnya dengan uang bambu tanpa ada batasan. Selain juga mereka diminta mengisi buku tamu sebagai tanda kehadiran di pasar.

Penggagas Pasar Kalangon, Salma Istianahar terlihat sibuk di lapak penukaran uang bambu. Saat berbincang dengan detikcom, perempuan ini mengatakan, semua pengunjung yang hendak membeli makanan memang harus menukar uang lebih dulu.

"Bambu ini jadi uang atau koin untuk membeli makanan di pasar ini," kata Salma.

Pihaknya tidak membatasi pengunjung menukarkan uang rupiahnya dengan koin. "1 koin boleh, banyak bebas. Rata-rata pengunjung menukarkan uang Rp 20 ribu. Tapi yang lebih besar juga banyak," imbuh dia.

Menurut dia, pengunjung rata-rata bisa membeli makanan dan minuman per porsi, setidaknya harus membayar lima uang bambu. Itu pun tergantung juga dari menu yang dimakannya. Ada beragam menu tradisional disajikan. Mulai dari sate, pecel, soto, aneka ubi, kue putu, dan lainnya.

Menurut dia, para penjual makanan di Pasar Kalangon bisa mencatatkan transaksi penjualan dari Rp 150 ribu sampai Rp 2 juta per hari buka.

"Transaksinya ada yang sampai Rp 2 juta, Rp 1,5 juta, dan paling sedikit ya Rp 150 ribu," beber Salma.

Dia melanjutkan, para penjual makanan dan minuman itu tidak dibebankan biaya sewa. Baik sewa lapak, atau sewa tempat. Namun mereka menyisihkan 10 persen dari total pendapatannya hari itu untuk pengelola pasar.

"Total penjualan disisihkan 10 persen untuk panitia. 10 persen itu untuk operasional panitia," ujarnya.

Adapun jumlah panitia di pasar itu mencapai sekitar 22 orang. Yang semuanya adalah warga Desa Kradenan. Sedangkan jumlah penjual makananan dan minumannya sekitar 40 orang. Sama seperti panitia, para penjual di lokasi itu seluruhnya warga desa setempat. Hal itu sekaligus sebagai bentuk pemberdayaan penduduk desa.

Setiap kali buka, lanjut Salma, jumlah pengunjung rata-rata bisa mencapai 2 ribu orang sampai 4 ribu orang. Selain panitia mendapatkan pemasukan dari bagi hasil 10 persen penjualan, juga mendapatkan pemasukan dari uang tiket.

Dia mengaku gagasan Pasar Kalangon mencontoh dari Pasar Papringan di Temanggung. Kemudian dimodifikasi dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia yang ada. Seperti halnya lokasi pasar di tepi waduk.

Tempat ini di bawah pengelolaan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Pesona. Menurut dia, untuk pemasaran lokasi murni dari media sosial. Tidak heran jika tempat ini juga dikenal sebagai Pasar Digital Kalangon.

"Promosi atau pemasaran kita ya selain dari mulut ke mulut warga, ya dari media sosial. Ada Facebook, Instagram, Twitter, Youtube," ungkap seorang panitia pengelolaan pasar, Febri.

Pasar Kalangon, terang pemuda ini, berdiri pada minggu pertama bulan Januari 2019. Meski belum genap satu tahun, namun selalu ramai dikunjungi warga dari berbagai daerah.

Seorang penjual makanan hasil kebun, Ny Suti (50), keberadaan Pasar Kalangon amat menguntungkan. Sebab, warga bisa mendapatkan pendapatan.

"Senang ya bisa berjualan di sini. Saya kan juga jualan makanan di luar. Di sini (Pasar Kalangon) juga bisa jualan hasil kebun. Ada ubi rebus, kacang rebus, pisang rebus, buah nanas dan lainnya," kata Suti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar