Senin, 30 Desember 2019

Belanja di Pasar Ini, Bayarnya Pakai Uang Bambu

Di Grobogan, Jawa Tengah, ada satu pasar yang unik. Berkonsep jadul dan terletak di tepi waduk, traveler bisa belanja di sini pakai uang bambu. Seperti apa?

Nama destinasi wisata baru yang unik ini adalah Pasar Kalangon. Nama itu diambil karena lokasinya juga berada di tepi Waduk Nglangon, Jawa Tengah. Pasar ini berkonsep jadul.

Mulai dari tempatnya yang berada di tepian waduk, lapaknya terbuat dari anyaman bambu, uangnya pakai koin bambu, bungkus makanannya pakai daun serta bambu, serta petugas pengelolanya mengenakan pakaian adat.

Pasar ini hanya dibuka tiap Minggu pertama dan ketiga di setiap bulannya. Meski dibuka dua hari setiap bulan, jumlah pengunjung mencapai ribuan orang. Mereka tidak hanya datang dari wilayah sekitar tapi juga luar kota, seperti Kudus, Sragen, Solo, Boyolali, Pati, Semarang dan sekitarnya.

detikcom sendiri tahu pasar ini dari media sosial (medsos). Tempat ini ramai di kalangan warganet. Nama akun medsos Instagram lokasi itu adalah @pasarkalangon. Akhirnya Minggu (18/8/2019) kemarin, detikcom membuktikannya langsung dengan mendatangi lokasi.

Ternyata memang tempatnya tak biasa dan menarik untuk dikunjungi. Lokasinya berada di tepi Waduk Nglangon. Tepatnya di Desa Kradenan, Kecamatan Kradenan, Kabupaten Grobogan. Kecamatan Kradenan ini berjarak sekitar 18 Km dari Kota Purwodadi, ibu kota Kabupaten Grobogan.

Kebetulan Minggu (18/8/2019), merupakan minggu ketiga bulan tersebut. Sesuai jadwal, pasar itu buka. Untuk bisa masuk ke Pasar Kalangon, pengunjung harus masuk melalui permukiman dengan masuk Gang 3 Desa Kradenan. Terpampang tulisan Wahana Ranu Nglangon (WRN).

Traveler yang hendak berkunjung terlebih dulu membayar uang tiket masuk Rp 3 ribu per orang. Bila ke lokasi menggunakan kendaraan pribadi, maka harus membayar uang parkir Rp 2 ribu.
Di lokasi, ratusan kendaraan terlihat berjajar rapi di bagian depan yang juga halaman parkir.

Kemudian begitu masuk ke dalam, suasana hiruk-pikuk seperti pasar jadul amat terasa. Para anggota pengurus pasar hilir mudik dengan mengenakan baju adat setempat. Puluhan lapak bambu, menjajakan aneka makanan tradisional, tampak berjajar rapi.

Di bawah rimbunan pohon bambu, alas tikar terhampar. Ratusan pengunjung tumpah-ruah. Seorang pengunjung bernama Budi, warga Desa Kuwu, Kecamatan Kradenan, terlihat bingung.

Lelaki berusia 45 tahun bersama sang istri bingung sebab setiap kali memesan makanan, selalu ditanya penjualnya. "Pringnya (bambunya) mana," kata Budi menirukan ucapan penjual makanan.

Akhirnya dia baru tahu kalau bambu yang dimaksud penjual makanan adalah alat bayar di pasar itu. Dia pun menukarkan uannya dengan uang bambu.

"Saya tadi tukar uang bambu sebanyak 10 koin. Nanti kalau kurang, saya tukar lagi," ungkapnya.

Satu uang bambu bernilai Rp 2 ribu. Pengunjung harus menukarkan uangnya lebih dulu ke lapak khusus bertuliskan 'ijol duwit'. Di sana, pengunjung pasar bisa menukar uangnya dengan uang bambu tanpa ada batasan. Selain juga mereka diminta mengisi buku tamu sebagai tanda kehadiran di pasar.

Penggagas Pasar Kalangon, Salma Istianahar terlihat sibuk di lapak penukaran uang bambu. Saat berbincang dengan detikcom, perempuan ini mengatakan, semua pengunjung yang hendak membeli makanan memang harus menukar uang lebih dulu.

"Bambu ini jadi uang atau koin untuk membeli makanan di pasar ini," kata Salma.

Pihaknya tidak membatasi pengunjung menukarkan uang rupiahnya dengan koin. "1 koin boleh, banyak bebas. Rata-rata pengunjung menukarkan uang Rp 20 ribu. Tapi yang lebih besar juga banyak," imbuh dia.

Menurut dia, pengunjung rata-rata bisa membeli makanan dan minuman per porsi, setidaknya harus membayar lima uang bambu. Itu pun tergantung juga dari menu yang dimakannya. Ada beragam menu tradisional disajikan. Mulai dari sate, pecel, soto, aneka ubi, kue putu, dan lainnya.

Menurut dia, para penjual makanan di Pasar Kalangon bisa mencatatkan transaksi penjualan dari Rp 150 ribu sampai Rp 2 juta per hari buka.

"Transaksinya ada yang sampai Rp 2 juta, Rp 1,5 juta, dan paling sedikit ya Rp 150 ribu," beber Salma.

Dia melanjutkan, para penjual makanan dan minuman itu tidak dibebankan biaya sewa. Baik sewa lapak, atau sewa tempat. Namun mereka menyisihkan 10 persen dari total pendapatannya hari itu untuk pengelola pasar.

"Total penjualan disisihkan 10 persen untuk panitia. 10 persen itu untuk operasional panitia," ujarnya.

Adapun jumlah panitia di pasar itu mencapai sekitar 22 orang. Yang semuanya adalah warga Desa Kradenan. Sedangkan jumlah penjual makananan dan minumannya sekitar 40 orang. Sama seperti panitia, para penjual di lokasi itu seluruhnya warga desa setempat. Hal itu sekaligus sebagai bentuk pemberdayaan penduduk desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar