Senin, 23 Desember 2019

Mengenal Perayaan Karo dari Suku Tengger Probolinggo

 Arak-arakan kelontongan atau jimat suci dilakukan ratusan anggota Suku Tengger. Inilah perayaan Yadnya Karo yang masih terjaga turun temurun di Probolinggo.

Warga dari dua desa yakni Ngadisari dan Jetak merayakan Yadnya Karo tahun Saka 1941, Selasa (17/9/2019). Diiringi suara gamelan, dua arak-arakan kemudian bertemu.

Perayaan itu layaknya iring-iringan sepasang pengantin pria dan wanita. Namun, dalam perayaan ini peran mempelai wanita digantikan oleh seorang pria.

Kepala Desa Jetak sebagai pengantin laki-laki dan Kades Ngadisari sebagai pengantin perempuan, sementara selaku saksi adalah Kades Wonotoro. Usai melakukan arak-arakan, kedua pengantin lantas menuju Balai Desa Jetak, Kecamatan Sukapura.

Di dalam balai desa, perayaan Yadnya Karo dilanjutkan dengan Tari Sodoran. Ritual suci ini mengisahkan pertemuan dua benih manusia, yakni pria dan perempuan, sebagai gambaran cikal bakal adanya kehidupan di alam semesta.

Di akhir acara, para wanita warga Suku Tengger, lantas menyuguhkan makanan bagi kaum pria yang mengikuti prosesi perayaan Yadnya Karo. Semua warga Suku Tengger lantas berbaur dari anak-anak hingga orang dewasa untuk menyantap sajian makanan bersama.

Tokoh adat Suku Tengger, Supoyo, mengatakan Karo adalah nama kalender Tengger bulan kedua. Makna Karo sendiri merupakan perlambang asal mula kelahiran manusia yang diciptakan Sang Hyang Widiwasa melalui perkawinan dua orang jenis manusia yakni pria dan perempuan.

"Untuk Tari Sodoran dalam Hari karo sendiri, maknanya adalah pertemuan dua manusia. Di mana itu adalah perwujudan leluhur Suku Tengger, yakni sosok Joko Segger dan Roro Anteng," kata Supoyo.

Dijelaskan Supoyo, meski berlawanan jenis manusia bisa hidup rukun dan saling bertanggung jawab. Mereka akan menjaga keutuhan rumah tangga.

Sementara Bupati Probolinggo Puput Tantrianasari mengatakan bahwa Hari Raya Karo merupakan adat khas Suku Tengger, yang masuk budaya Indonesia. Budaya warga Suku Tengger harus terus dilestarikan karena merupakan simbol toleransi antar umat beragama.

"Suku Tengger merupakan simbol toleransi budaya dan agama, karena semua bisa hidup berdampingan," jelas Tantri.

Wisata ke Rote, Aman Nggak Ya?

 Rote adalah bagian selatan terdepan Indonesia, punya berbagai destinasi wisata yang menarik. Namun kalau liburan ke sana, aman nggak ya?

20-26 Agustus 2019, tim Tapal Batas detikcom bersama Bank Rakyat Indonesia (BRI) menjelajahi Kabupaten Rote Ndao di NTT. Kabupatennya berupa kepulauan dengan total 96 pulau. Namun, hanya 7 pulau yang berpenghuni dengan Pulau Rote sebagai yang paling besar.

Terdapat 10 kecamatan di Rote Ndao. Tiap kecamatan punya potensi dan tempat wisata yang beragam.

Tim Tapal Batas detikcom pun disambut Komandan Kodim (Dandim) 1627/Rote Ndao Letkol Kav Andriyan Wahyu Dwi Atmoko. Sebagai penjaga pulau terdepan, bagaimana soal keamanan di Rote?

"Di sini Alhamdulillah sangat kondusif. Baik masyarakat, aparat pemerintah, Polri dan TNI sangat kondusif. Hubungan Polri dan TNi sangat erat," ujar Andriyan.

Menurut Andriyan, masyarakat Rote hidup dengan rukun, damai dan punya toleransi yang tinggi. Pihaknya dari Bintara Pembina Desa (Babinsa) juga merangkul masyarakat.

"Babinsa dengan masyarakat saling bersinergi dan berkolaborasi. Apa-apa yang dibutuhkan masyarakat langsung kita bantu," terangnya.

Sudah 8 bulan bertugas di Kabupaten Rote Ndao, Andriyan melihat hal menarik dari kehidupan masyarakatnya. Dia berujar, rasa rukun dan kebersamaan muncul dari 'nasib' yang sama.

"Nasib yang tinggal di bagian terdepan Indonesia. Artinya karena kita sama-sama tinggal di sini dan jauh dari mana-mana, maka suka dan dukanya sama. Sehingga muncul keakraban dan jiwa korsa yang terus tumbuh dalam masyarakat dan pemerintahan," paparnya.

"Daerah-daerah di NTT itu kompak-kompak, tapi menurut saya paling kompak di Kabupaten Rote Ndao ini," tambah Andriyan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar