Rabu, 18 Desember 2019

Menelusuri Jejak Proklamator di Batu Hampar

Bersepeda di pagi hari bisa jadi sarana untuk travelling sambil mencari jejak sejarah peradaban dan budaya. Salah satunya mendatangi makam ayah dari Bung Hatta.

Munculnya sinar mentari pagi kali ini terasa sangat berarti dan begitu spesial. Setelah dalam beberapa waktu, berminggu-minggu lamanya lingkungan kami berselimut kabut asap sejak awal Bulan September yang lalu.

Musibah kabut asap akibat kebakaran lahan gambut di provinsi tetangga, yaitu Riau dan Jambi dampaknya cukup terasa di Kota Payakumbuh ini. Asap pekat yang memutih sepanjang hari, membuat cahaya matahari pagi yang bersih bersinar cerah seperti hari ini, seolah seperti barang mahal dan langka dalam beberapa minggu belakangan.

Efeknya, dalam berapa pekan terakhir, acara gowes yang biasa diadakan tiap minggu pagi harus dibatalkan demi menghindari terpapar asap jerebu hasil pembakaran hutan. Bahkan konon kabarnya, angka indeks konsentrasi bahan polutannya sudah melebihi nilai ambang batas aman untuk kesehatan, sudah masuk kategori berbahaya.

Tapi pagi ini terasa berbeda, langit cukup cerah, udara segar dan pandangan mata cukup bersih meski masih terasa sedikit lapis asap tipis. Waktu yang tepat untuk mengayuh pedal lagi.

Janji berkumpul di pusat kota, cuma dua pengayuh yang hadir. Mungkin yang lainnya masih ragu akan kondisi udara.

Kayuhan pertama dimulai tepat di depan Tugu Adipura di pusat Kota Payakumbuh, menuju ke arah barat di jalur jalan lintas menuju Kota Bukittinggi yang terkenal itu. Kayuhan demi kayuhan dari 2 pengayuh sepeda beriringan menapaki jalan aspal yang mulus dan sedikit basah sisa hujan gerimis tadi malam.

Aktivitas pagi di hari Minggu mulai terlihat seperti biasanya, para warga mulai kembali keluar rumah untuk berolahraga senam, lari, jalan dan juga bersepeda di sepanjang jalanan pusat kota dan dibeberapa titik kumpul taman kota. 

Empat kilometer selepas titik start menjelang batas kota, keramaian warga tak lagi tampak, berganti dengan jalanan yang mulai menanjak. Jalanan dua jalur yang tadi ramai dengan aktivitas warga, kini menyempit menjadi tinggal satu jalur 2 arah, merupakan jalan arteri yang menghubungkan Kota Payakumbuh dengan Kota Bukittinggi.

Selayaknya jalanan yang menghubungkan antar kota, lalu lintas kendaraan yang melintas cukup padat dengan kecepatan sedang dan tinggi. Situasi ini membuat kami harus berpacu dan berebutan dengan lalu lalang arus lalu lintas yang ramai.

Perlu ekstra waspada dalam berkendara, apalagi sepeda dalam kondisi jalanan dan lalu lintas seperti ini. Tak jarang kendaraan mungil seperti kami harus dipepet oleh kendaraan besar seperti truk dan bus yang melintas beriringan. Jika tak hati-hati menjaga keseimbangan, apalagi mengayuh dalam kondisi mendaki tanjakkan dan kurang perhitungan, maka hal-hal buruk dapat saja terjadi.

Bersyukur, jalur padat dan ramai ini tak perlu lama dilewati. Sekitar 5 kilometer selepas batas kota, roda sepeda berbelok ke kanan keluar dari jalan lintas yang ramai itu, menuju ruas jalan yang lebih kecil sesuai rute dan tujuan yang tadi disepakati.

Lega rasanya keluar dari jalur padat dan bising itu. Kini berganti dengan jalan kampung selebar 3 meter yang sepi namun tetap beraspal mulus. Cuma satu-dua kendaraan roda empat yang melintas, lebih didominasi oleh kendaraan roda 2 penduduk setempat yang sesekali mendahului atau berpas-pasan dengan kami.

Selasa, 17 Desember 2019

Suku Sasak Lombok: Tradisi Kawin Lari & Rumah dari Kotoran Kerbau

 Pulau Lombok di Nusa Tenggara Barat terkenal akan keindahan panorama pantainya. Namun jangan lupa kebudayaanya, seperti kehidupan suku Sasak.

Lombok juga memiliki warisan adat budaya yang menarik. Hal ini berkaitan dengan adanya suku Sasak yang masih melestarikan budaya adat dan tradisinya .Tidak ada salahnya menyempatkan diri sejenak untuk mengenal lebih dalam kebudayaan masyarakat lokal. Dengan begitu, akan banyak nilai pembelajaran yang dapat diperoleh. Perlu diketahui Lombok saat ini telah dinobatkan sebagai salah satu tujuan wisata halal terbaik di dunia.

Saat berkeliling ke perkampungan di Desa Sade kamu akan disuguhkan keindahan budaya yang masih sangat tradisional. Atap rumahnya masih menggunakan jerami ataupun alang-alang yang sudah dikeringkan. Lantai dari rumah dibuat dari campuran tanah, getah pohon dan abu jerami yang kemudian diolesi dengan kotoran kerbau.

Bahkan sampai sekarang pun, mereka masih menggunakan kotoran kerbau untuk mengepel rumah mereka. Memang terdengar aneh ketika pertama kali mendengarnya, namun saat kamu mencoba masuk ke dalam rumah, tidak tercium bau kotoran apapun. Fungsi kotoran kerbau ini untuk memeperkuat struktur lantai agar tidak pecah-pecah saat panas dan mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah.

Rumah adat suku sasak disebut juga bale tani yang berbentuk persegi, tidak berjendela, pintu leluar masuk hanya satu, dan di dalamnya terdiri dari dua sampai tiga ruangan.

Keunikan lain dari Bale tani memiliki teras rendah dengan tangga tiga buah sehingga untuk memasuki rumah ini,kamu harus membungkukkan badan agar kepala tidak terbentur bagian atas pintu. Itu ada makna sebagai tanda menghormati pemilik rumah. Sedang anak tangga dari rumah bagian luar ke dalam ada tiga. Ini bermakna, paling atas itu Tuhan, kedua ibu dan ketiga ayah. Ketiga unsur yang harus dihormati. Jadi rata-rata rumah di sini punya tiga anak tangga. Wah, Filosofis banget ya!

Masyarakat suku sasak masih memelihara budaya warisan leluhur, salah satunya adalah tenun. Perempuan di desa ini wajib memiliki keterampilan menenun yang diajarkan sejak dini. Salah satu aturan adat suku sasak yang masih dijalankan di beberapa tempat adalah perempuan baru diperbolehkan menikah jika sudah bisa menenun.

Oh iya, warga Desa Sade memeluk agamaIslam, namun agak sedikit berbeda dengan kebanyakan. Islam Wetu Telu yang mereka anut masih dipengaruhi ajaran animisme, dinamisme, Budha, dan Hindu. Wetu Telu berarti tiga waktu, sehingga mereka hanya menjalankan sholat tiga kali dalam sehari.

Selain agama, tradisi pernikahan juga menjadi hal unik dari kebiasaan mereka. KawinĂ‚  lari menjadi budaya yang dilestarikan.

Kawin lari yang dimaksud yakni saat ada seorang laki-laki yang menyukai perempuan suku sasak atau di antara keduanya saling suka, maka si laki-laki tersebut dapat membawa lari si perempuan tersebut ke salah satu kerabatnya untuk diinapkan. Kemudian keesokan harinya, laki-laki dan keluarganya yang telah melarikan anak gadis tersebut wajib melamar keluarga sang gadis untuk menikah. Umumnya laki-laki di Desa Sade di wajibkan untuk menikahi perempuan dari sukunya sendiri yaitu orang sasak.

Meski perjalananku termasuk singkat di Desa Sade, namun banyak hal yang saya pelajari. Belajar tentang mencintai Budaya sendiri serta melihat kehidupan suku Sasak.