Rabu, 18 Desember 2019

Melihat Wisata Lumpur Lapindo

Peristiwa menyemburnya Lumpur Lapindo di Sidoarjo telah terjadi 13 tahun yang lalu. Kini, lokasinya sudah jadi tempat wisata.

Wisata ini berada tepat di Lokasi Lumpur Lapindo. Berada di pinggir Jl Raya Surabaya-Malang, tanggul sudah bisa dilihat dan ditemukan. Terdapat papan penunjuk di pinggir jalan yang berarti sebagai pintu masuk.

Sebelum naik ke atas tanggul kendaraan diparkir terlebih dahulu di bawah tanggul. Lalu membayar tiket masuk sebesar Rp 10.000 dan langsung naik ke atas tanggul. Sampai di atas tanggul langsung bisa terlihat hamparan luas lumpur yang beberapa bagiannya sudah mengering, terlihat juga dari kejauhan asap-asap yang berasal dari pusat semburan.

Jika ingin melihat pusat semburan sebenarnya bisa, beberapa warga akan menawarkan ojek untuk mengantar pengunjung mendekati pusat semburan. Harga yang ditawarkan untuk samapai ke pusat semburan sebesar Rp 50.000 namun kemungkinan masih bisa untuk ditawar jika terasa terlalu mahal. terdapat juga beberapa monumen yang menggambarkan kejadian ini yang dapat digunakan sebagai objek untuk berfoto.

Dari tiket masuk hingga ojek semuanya dikelola oleh warga sekitar. Jika berkunjung disarankan untuk datang pada pagi hari atau sore hari, karena pada saat siang hari terik dan panas matahari sangat terasa. Apabila ingin berkunjung siang hari sebaiknya membawa kacamata, topi atau alat pelindung lainnya agar terhindar dari sinar matahari.

Apakah kamu tertarik melihat langsung Lumpur Lapindo Sidoarjo?

Cantiknya Pantai Yendidori di Biak

Papua memiliki banyak kabupaten yang sangat terkenal dengan wisata lautnya. Salah satunya adalah ada di Biak.

Biak, salah satu kota di Papua ini dijuluki sebagai kota karang panas karena memiliki banyak pantai yang didominasi oleh batuan karang. Memiliki banyak pantai cantik, ada satu pantai yang berada di pinggir jalan dan sangat mudah diakses. Pantai itu adalah pantai Yendidori.

Pantai Yendidori berada di Biak, Numfor. Membutuhkan waktu sekitar 15 menit dari pusat kota untuk tiba di pantai cantik ini. Untuk biaya masuk, mungkin karena saya ke sini pada hari Senin maka tidak ada penjaga tiket masuk. Jadi saya hanya membayar tiket parkir kepada warga sekitar.

Begitu memasuki pintu gapura menuju pantai, maka kita akan menuruni anak tangga dan akan langsung terlihat patung kecil yang berisi fauna laut seperti lumba-lumba, gurita, ikan, bintang laut dan masih banyak hewan lainnya yang menggambarkan betapa kayanya alam bawah laut di Biak.

Selain patung yang menceritakan tentang kekayaan laut Biak, ada satu tugu yang sangat unik, yaitu tugu salib. Wah jarang-jarang dong liat salib di pantai. Sebagai penganut agama Kristen hal ini sangat menarik perhatian saya. Saya sendiri tidak tahu kenapa ada monumen salib di sini, tapi mungkin karena mayoritas penduduk Biak beragama Kristen.

Selain itu tersedia juga beberapa spot foto menarik. Lalu yang paling lucu adalah, adanya papan yang dipasang di pohon kelapa yang berisi banyak rayuan jenaka menggunakan bahasa setempat. Ada beberapa yang bisa saya mengerti dan artinya sangat lucu.

Melihat semua hal itu saya rasa pantai Yendidori sangat layak untuk dikunjungi. Terlebih lokasinya sangat mudah dijangkau. Pemandangannya juga sangat indah, padahal saya ke sini pas lagi mendung apalagi saat cerah. Jadi kapan mau ke pantai Yendidori?

Menelusuri Jejak Proklamator di Batu Hampar (2)

Selebihnya sepi, bahkan sesekali para pesepeda bisa meliuk-liuk dalam perjalanan. Melaju kencang di jalur jalan yang diapit hamparan sawah yang menghijau dan kadang menguning sejauh mata memandang.

Kiri dan kanan persawahan terlihat dipagari oleh bukit-bukit kokoh sedikit berbatu cadas yang ditumbuhi cemara. Sungguh sebuah sensasi yang amat menyenangkan untuk dipandang.

Keringat yang tadi membasahi saat di jalur mendaki, kini mulai mengering di hembus angin dingin saat melaju di jalur yang mulai menurun. Tak perlu mengayuh lagi, roda berputar kencang menapaki jalan aspal membuat target tujuan semakin dekat di depan mata.

Batu Hampar, nama daerah yang dituju, di sana ada jejak sejarah yang hendak kami telusuri keberadaannya. Kampung kecil yang berada di Kecamatan Akabiluru Kabupaten 50 Kota ini nyatanya punya andil besar dalam sejarah dalam berdirinya negara ini.

Persis selepas turunan panjang, mata kami tertuju pada sebuah gerbang Pondok Pesantren Al-Manaar, Batu Hampar. Begitu tulisan yang terpampang di gerbangnya. Disitulah target perjalanan kami berada, di sanalah jejak sejarah itu bersemayam.

Melangkah sedikit ke halaman pesantren itu, terlihat sebuah bangunan kecil yang menyerupai musholla yang berasitektur zaman tempo dulu. Namun jangan salah, bangunan itu bukanlah surau atau langgar tempat beribadah sebagaimana mestinya.

Di sisi luar bangunan, terlihat 2 makam lain yang terpisah yang dilindungi oleh cungkup berpagar besi. Pada satu makam dengan batu nisan yang cukup mencolok, inilah dia jejak sejarah yang kami cari.

Batu nisan dengan marmer persegi itu memuat tulisan : Syekh MHD Jamil bin Abdurrahman, Ayah dari Mohammad Hatta Proklamator RI. Disinilah makam orang yang telah menjadi perantara hadirnya seorang tokoh yang amat berjasa bagi kemerdekaan negara Indonesia. Ayahanda Wapres pertama sekaligus Proklamator kemerdekaan Indonesia, Drs. Mohammad Hatta atau yang kita kenal dengan Bung Hatta.

Fakta yang menyedihkan bahwa Bung Hatta tak sepenuhnya mengenal ayahandanya. Bung Hatta kecil telah ditinggal wafat oleh sang ayah tercinta sejak beliau berusia 8 bulan. Sebagaimana yang ditulis dalam buku memoir, Bung Hatta menuliskan kenangan akan sosok ayah yang tak dikenalnya itu.

"Ayah kandungku bernama Haji Muhammad Jamil, anak Syekh Batu Hampar. Ia meninggal dalam usia 30 tahun, waktu aku berumur 8 bulan. Karena itu, aku tak kenal akan dia. Menurut cerita orang, termasuk ibuku sendiri, aku serupa benar dengan ayahku. Ibuku pernah berkata, 'Engkau potret hidup dari ayahmu'." Begitulah Bung Hatta mengenang akan sosok ayah yang bahkan tak mampu diingatnya wajahnya.

Tak perlu berlama-lama disini, panas yang mulai terik memaksa kami untuk segera lanjutkan perjalanan lagi. Sebait doa yang tadi sempat dipanjatkan sudahi ziarah ini, untuk orang-orang besar yang telah berjasa bagi negeri. Tapak kaki pun kembali mengayuh menyongsong ke arah sinar matahari pagi.

Dalam sebuah perjalanan yang penuh makna, kami mensyukuri kebebasan hidup merdeka. Seperti merdekanya kami yang kembali bisa bersepeda menghirup udara bersih, tanpa kabut asap lagi