Jumat, 20 Desember 2019

Sanghyang Kenit, 'Surga' di Balik Pembangunan PLTA Rajamandala

Ada pesona "surga" tersingkap di balik pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Rajamandala di Cisameng, Rajamandala Kulon, Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB). Namanya Sanghyang Kenit.

Dibendungnya aliran Sungai Citarum Purba ke PLTA Rajamandala, membuat air yang melewati Sanghyang Kenit mendangkal. Arus sungai yang deras mulai menjinak, menyisakan air sungai yang mengalir tenang di antara bebatuan purba.

Rasa gerah setelah melewati jalanan di area pertambangan Cipatat, tempat hilir mudik truk bermuatan batu berukuran besar, luruh seketika melihat alam yang asri dan air yang jernih.

Anak-anak tampak girang menyepak air di sungai berwarna toska bening itu. Di badan mereka terpasang pelampung, ada juga yang berenang dengan orang tuanya sambil mengapung di atas ban karet yang disewakan pengelola.

Di sebelah timur, tampak beberapa anak remaja asyik berfoto dengan pemandangan bebatuan yang kolosal. Sementara, pengunjung lainnya santai berbaring di atas hammock dengan semilir angin yang merayap diantara ngarai yang membentuk atap alami.

Biaya masuknya relatif murah. Cukup merogoh kocek Rp 5.000 per orang untuk masuk. Sebelum itu ada pula biaya parkir Rp 2.000 untuk sepeda motor dan Rp 10 ribu buat mobil.

Pesona Sanghyang Kenit tak hanya di wisata airnya semata, tapi juga ada goa yang bisa dijelajahi oleh wisatawan. Goa ini semula merupakan tempat aliran sungai bawah tanah dengan reruntuhan batuan kapur.

Pengunjung yang bermaksud wisata goa di sini akan dipandu oleh pemandu lokal dengan tarif Rp 150 ribu per orang. Penelusuran gua eksotis ini cukup menantang karena akan melewati celah gua yang sempit dan licin.

Belum lagi dengan rute melewati genangan air Citarum Purba setinggi perut, yang masih dihuni oleh berbagai jenis ikan seperti baung dan gabus. Siapkan stamina dan lampu senter meskipun pemandu akan memberikan fasilitas helm dan pelampung.

Perjalanan menelusuri gua akan memakan waktu sekitar 45 menit. Bila air sedang tinggi, wisatawan bisa melakukan tubing dari Sanghyang Tikoro yang menjadi pintu keluar gua menuju titik awal Sanghyang Kenit.

Perjalanan wisata kian sempurna ketika dipungkas dengan menjaja nasi liwet yang disediakan warga Kampung Cisameng dan pisang yang tumbuh di bantaran sungai.

Konon, nama Sanghyang Kenit berasal dari kata "kenit" yang berarti arus yang memutar. Versi lain menyebut, berasal dari nama domba kenit yang memiliki corak sabuk melingkar di badannya. Hewan itu dijadikan sesembahan oleh leluhur adat dan disembelih di area wisata sekarang.

Saat ini pengelolaan Sanghyang Kenit berada di tangan Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kampung Cisameng, Rajamandala Kulon. Kehadiran PLTA Rajamandala juga memberikan energi baru untuk memutar roda ekonomi warga setempat.

Doddy Aang Satibi (24), pengelola Sanghyang Kenit, mengatakan bahwa saat ini ada puluhan warga di Kampung Cisameng yang mengais rezeki dengan hadirnya wisata baru ini.

"Sangat terasa bagi masyarakat, walau nilainya belum besar karena masih merintis. Tapi bisa menjadi sampingan di kala pemuda yang masih sulit bekerja, ibu-ibu membuka warung dan ibu PKK menjadi penyedia nasi liwet pesanan para pengunjung," ujar Doddy ketika berbincang dengan detikcom belum lama ini.

Ia menilai, warga menjadi kompak dan bergotong royong dalam usaha mengembangkan wisata Sanghyang Kenit. Ia dan warga lainnya pun terus berkomitmen untuk menjaga keasrian wisata ini.

"Kami juga selalu mengimbau kepada pengunjung untuk selalu menjaga kebersihan, ini yang akan masyarakat Cisameng pertahankan," ujarnya.

Rencananya, pihak pengelola akan menambah fasilitas lainnya. Seperti wisata water line, panjat tebing, dan hammocking.

"Perlahan, tapi kita akan benahi dulu soal akses jalan dari parkiran ke lokasi Sanghyang Kenit, meski baru beberapa bulan sudah ada ribuan wisatawan di akhir pekan, bahkan ada dari Mancanegara seperti dari Cina dan Singapura," tuturnya.

Sumatera Punya Kebun Teh Favorit Keluarga Kerajaan Belanda (2)

Banyak pekerja migran dari Jawa dan Sunda didatangkan karena mereka sangat berpengalaman dalam memelihara, merawat dan memetik dauh teh. Sehingga tidak heran apabila ada tradisi wiwitan petik teh, gabungan dari tradisi Jawa, Sunda dan Minang diperkebunan tersebut. Bahkan banyak warga pendatang dari Jawa dan Sunda yang sudah berasimilasi dengan budaya Minang.

Siang hari bahkan cuaca di sini sering berawan dan hawanya sangat sejuk sekali, kami mengambil posisi dilantai 2 cafe Liki sehingga bisa menikmati kebun teh Liki 360 derajat.

Beragam angle foto kami abadikan dan bahkan berswafoto, kemudian kami memesan makanan dan minuman. Minuman yang paling top yaitu Liki Green Tea dan Rose Tea. Green Tea Liki dihidangkan dengan air panas dan gelas tungku khusus dari kaca dan bahkan teh hijau/Green Tea Liki ini merupakan favorit Ratu Beatrix dari Kerajaan Belanda.

Mengapa keluarga kerajaan Belanda sampai tergila-gila dengan teh hijau Liki dari Solok Selatan ini? Ternyata sudah turun temurun, keluarga kerajaan Belanda ini memesan Teh Hijau Liki karena kandungan Tanin (zat akti oksidan) yang sangat tinggi yaitu sekitar 17%, bahkan tertinggi di Indonesia.

Teh hijau dari lokasi perkebunan lain di Indonesia, biasanya taninya hanya 10-11% kadarnya, tetapi dikebuh teh Liki bisa mencapai 17% dikarenakan kondisi tanah gunung Kerinci yang sangat baik dan sumber air yang mengandung Alkaline sehingga sangat baik bagi kesehatan.

Setiap bulannya, kebun teh Liki ini mengirimkan dua kontener dengan berat 50 ton ke negri Belanda, hingga pada suatu saat kerajaan Belanda sempat mendengar bahwa perkebunan teh ini mau tutup.

Akhirnya perwakilan kerajaan Belanda memastikan berita tersebut dengan berkunjung langsung kekebun teh ini. Dan pada akhirnya kabar burung itu ditepis dan bahkan keluarga kerajaan Belanda pun sering pesan langsung dengan jumlah terbatas tanpa melalui agen trader.

Bagaimana rasanya? Teh Hijau Liki sedikit asam tapi sangat harus sekali baunya, dan ketika bercampur dengan air panas dan diseduh rasanya sangat ringan dan menyegarkan sekali. Sementara Rose tea yang asli dari kebun teh Liki juga sangat enak sekali ketika bercampur dengan es.

Hampir 3 hari dikota ini, saya selalu menyempatkan makan siang dan malam dicafe Liki, selain makanan enak serta minumannya yg asli dr kebun di depan cafe, harganya pun sangat bersahabat.

Bayangkan kalau teh hijau ini sudah tiba di Belanda, pasti harganya bisa ratusan ribu pergelas. Padahal di cafe aslinya hanya 15 ribu secangkir besar dan bisa diminum 2-3 orang.

Jangan petik dauh teh perkebunan Liki, cukup nikmati saja keindahan padang teh yang maha luas dikaki gunung kerinci, hiruplah oksigen gratis tanpa batas sambil makan pisang goreng serta seduhan teh panas tanpa gula. Ah ingin rasanya kembali kekebun teh favorit keluarga kerajaan Belanda dan kebanggaan masyarakat Solok Selatan!

Sebagai oleh-oleh, saya membeli beberapa jenis teh yaitu teh celup rasa jahe dan jeruk seharga Rp 25.000/bungkus besar. Sementara yang paling mahal yaitu White Tea dalam bentuk kalengan seharga Rp 160.000 dan ini murah lho, kalau beli di mall dengan merk yang sudah diganti bisa ratusan ribu. Karena white tea hanya bisa diambil dari pucuk terbaik dan waktu tertentu, tidak semua pucuk teh bisa untuk white tea.