Museum tersebut diberi nama Museum Perkabaran Injil Pulau Mansinam. Sayangnya saat saya datang museum tersebut sedang tutup. Namun saya menyempatkan diri naik ke undakan terjal yang mengantar kita ke puncak museum. Dari sana kita dapat memandang ke arah pantai Pulau Mansinam dan tugu pendaratan. Beberapa remaja yang berkunjung menggunakan undakan terjal tersebut sebagai sudut untuk mengambil foto yang semenarik mungkin.
Gereja Kristen Injil merupakan situs berikutnya yang kita temui saat mendaki lebih tinggi di Pulau Mansinam. Oleh warga bangunan ini disebut gereja baru. Bentuknya memang modern dengan ornamen kaca patri bermotif geometris menjadi hiasan dominan. Bangunan ini juga dipakai umat kristiani saat mereka melakukan ritual ibadah di Mansinam.
Sedikit menanjak dari bangunan gereja baru ini kita akan menemukan puncak tertinggi dari Pulau Mansinam dengan situs utama yaitu Patung Kristus Raja. Sebuah patung menjulang tinggi dengan tangan terbuka menghadap Kota Manokwari berdiri megah di situs ini. Ini merupakan tempat berfoto paling favorit di Mansinam. Di internet Anda akan menemukan beragam pose pengunjung dengan mengambil latar Patung Kristus Raja yang megah tersebut. Situs ini merupakan situs terakhir yang saya susuri di Mansinam.
Dari perjalanan menyusuri lima situs utama di Mansinam terasa sekali bahwa pulau ini jarang dikunjungi dan bisa dibilang sedikit tidak terurus. Ini terlihat jelas dari semak-semak yang menjulang tinggi di kiri kanan jalan yang saya susuri. Soal semak-semak ini sebenarnya saya masih tidak keberatan, karena bunga-bunga liar yang bermekaran dari semak-semak ini membuat pemandangan terlihat indah natural.
Namun sayangnya, di beberapa titik mata kita diganggu oleh jejak-jejak sampah plastik yang ditinggalkan para pengunjung. Satu lagi, mengingat Mansinam merupakan sistus bersejarah, sebenarnya saya mengharapkan lebih banyak prasasti yang dipajang yang memuat kisah Ottow-Geissler. Penempatan prasasti ini membuat kisah mereka tetap dapat dibaca pengunjung meskipun museum sedang tutup.
Bagaimanapun kondisi Mansinam saat ini, kita berharap kisah Ottow-Geissler tetap diingat tidak hanya oleh masyarakat Papua tetapi juga oleh seluruh rakyat Indonesia. Industri film Hollywood menggemari cerita-cerita superhero sehingga kisah-kisah seperti Ottow-Geissler selalu menarik minat mereka.
Di usia yang muda, dua pendeta ini meninggalkan negerinya untuk berdakwah di belahan bumi lain yang sangat asing bahkan bagi penduduk nusantara saat itu sekalipun. Saat tiba di sana pun kehadiran Ottow-Geissler tidak langsung diterima dengan mudah. Suku setempat masih memandang curiga pada dua manusia kulit putih ini.
Butuh waktu bertahun-tahun sampai Ottow-Geissler dan ajarannya benar-benar diterima di Mansinam. Selama periode tersebut, mereka berdua berjuang untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat setempatâ€â€membantu mereka saat kesusahan, belajar bahasa suku setempat, menerjemahkan lagu-lagu ke dalam bahasa ibu penduduk, dll.
Perjuangan Ottow-Geissler ini rasanya patut diteladani oleh pemerintah atau siapapun yang melakukan pekerjaan kemanusiaan di Papua atau di sudut lain negeri ini. Supaya kita dan gagasan yang kita bawa bisa benar-benar diterima masyarakat setempat, kita harus benar-benar mengenal dan mencintai mereka terlebih dahulu.