Selasa, 18 Februari 2020

Tual, Lukisan Tuhan dari Indonesia Timur (2)

Saat yang ditunggu pun tiba. Tidar, kapal ini yang akan mengantar kami menyebrang menuju Maluku Tenggara selama satu hari satu malam. Akan tetapi naasnya, apes menimpa kami. Saat itu, kapal penuh dengan penumpang, sehingga tak ada tempat yang tersisa untuk kami beristirahat.

Alhasil, kami harus tidur di dek luar, tepatnya di dek tujuh, di bawah tangga, di teras-teras kapal. Saat malam tiba, angin laut berhembus sangat  kencang menusuk  hingga ke tulang, hujan pun turun melengkapi kemalangan kami, berbagai cara dilakukan untuk menghangatkan badan dan memejamkan mata dengan tenang.

Kami menata tas-tas sebagai pembatas untuk tidur, hammock untuk menghalau angin laut, dan beberapa peralatan lainnya untuk alas, bantal, dan selimut. Segala peralatan terpaksa kami keluarkan untuk menyelamatkan diri dari kedinginan, termasuk matras, sleeping bag, dan banner bekas untuk alas. Persis, dalam waktu sehari semalam itu kami tak ubahnya seperti puntung rokok yang berceceran, sedih si tetapi menantang.

Tual, Mutiara di Ranah Timur

Sedikit menolak lupa, pada zaman dahulu tepatnya sekitar abad XV dan XVI, disebutkan dalam buku Adrian B. Lapian, bahwa Tual menjadi salah satu daerah yang memproduksi kapal-kapal yang digunakan oleh para pedagang di Nusantara.

Akan tetapi, jejak sejarah dan pencapaian itu seolah hilang ditelan waktu, tidak ada peninggalan yang dapat menjelaskan secara detail tentang sejarah kapal-kapal tersebut. Yang ada hingga kini, hanyalah Tual dengan sejuta pesona alamnya.

Belum juga kapal berhenti di pelabuhan Tual, mata sudah dimanjakan dengan pemandangan laut yang berwarna hijau bening dan airnya yang tenang. Sesekali terlihat gundukan pasir di tengah laut yang berwarna putih muncul ke permukaan air.

Tak henti-hentinya kami berdecak kagum melihat apa yang tersaji di depan mata, seperti lukisan tiga dimensi dan ini lebih nyata. Kami berteriak histeris setiap kali melihat jernihnya air laut yang mengelilingi kota ini. Maklum, setiap hari kami terus terjebak dalam hiruk pikuk dunia metropolitan, dimana-mana yang ditemui hanyalah gedung-gedung pencakar langit yang dikelilingi asap polutan.

Tual, hanyalah kota kecil, yang dihuni oleh suku Kei dengan beragam nama marga yang ada. Hanya ada empat kecamatan di kota ini, diantaranya Kecamatan Pulau Kur-Kur, Tayando Tam, Dullah Utara, dan Dullah Selatan.

Lebetawi, desa yang akan kami kunjungi tepat berada di Kecamatan Dullah Utara dan bersebrangan dengan Desa Dullah Laut. Hari pertama kedatangan kami, disambut oleh tarian khas Kepulaun Kei, yakni Tari Panah yang dibawakan oleh murid-murid. Tari panah ini dibawakan oleh 7-15 anak laki-laki, masing-masing dari mereka membawa panah dan satu orang membawa pedang kemudian meliuk-liukan pedang tersebut di depan kami.

Tarian  ini mempunyai makna, jikalau ada dari kami yang datang ini merasa takut, berarti dianggap sebagai penyusup atau penjahat. Tari ini juga diiringi oleh nyanyian adat khas timur. Rasa haru dan bahagia tak bisa dibendung lagi melihat ragam khas yang dimiliki Indonesia di wilayah timur ini.

Tual, Lukisan Tuhan dari Indonesia Timur

 Tual bisa dibilang sebagai lukisan indah Tuhan di Indonesia Timur. Kecantikan Tual bisa jadi pilihan untuk traveler jelajahi libur panjang ini.

Awal mula perjalanan kami menjalajahi Indonesia. Tanjung Priuk, satu-satunya pelabuhan di Jakarta sejak zaman kolonial Belanda menjadi saksi perjalanan saya dan kawan-kawan. Bukan tanpa alasan, kapal menjadi pilihan transportasi kami untuk menjalankan misi kali ini.

Sebagai negara maritim, anak bangsa seperti kami wajib mewarisi tradisi nenek moyang sebagai seorang pelaut. Bagi kami, Indonesia bukan negara kepulauan, tetapi negara lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau. Potensi dan kekayaan lautnya menjadi alasan mengapa harus ada ekspedisi maritim ini.

Selain itu, biaya naik kapal terbilang cukup murah, yakni berkisar antara Rp 600.000-an. Ekspedisi yang saya impikan ini menuju ke Indonesia bagian timur, tepatnya di pulau rempah-rempah, Maluku. Bukan hanya sekedar liburan, kami juga akan melakukan pengabdian di Desa Lebetawi, Kota Tual, Maluku Tenggara.

Sore itu, senja menemani kami menjinjing beberapa peralatan menaiki tangga menuju kapal. Saya dan 17 orang lainnya menjadi salah satu bagian dari hiruk pikuk penumpang kapal besar yang memiliki tujuh dek tersebut, yakni kapal Dobonsolo.

Ransel, box, carrier, kardus, dan beberapa koper adalah cadangan amunisi kami selama satu bulan pengabdian di sana. Untuk menuju Maluku atau pelabuhan Ambon, waktu yang diperlukan adalah lima hari.

Beberapa pelabuhan terlewati, diantaranya Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Bau-Bau, Pelabuhan Ambon, dan setelah itu kapal akan bergerak mengangkut penumpang menuju Papua.

Selama enam hari di kapal, sejauh mata memandang hanya terdapat lautan tenang bergradasi biru tua dan biru muda. Tak ada suara apa-apa, selain suara mesin kapal yang membelah gulungan ombak dan suara beberapa penumpang yang sedang bercengkrama mengusir kebosanan.

Oh iya, ada satu lagi, sesekali suara klakson kapal juga cukup mengagetkan seisi kapal. Hingga saat kapal tepat berada di atas Laut Banda, ombak yang menghantam kapal semakin besar. Laut Banda adalah salah satu laut yang menyeramkan, karena laut ini mempunyai palung atau jurang laut terdalam di Indonesia, kedalaman palung Laut Banda mencapai hingga 7000 meter.

Kami membayangkannya seperti lubang kematian, jadi siapapun yang melewati negeri di atas ombak ini harus berhati-hati dan banyak berdoa. Keadaan ombak seperti ini, membuat sejumlah penumpang kapal merasakan pusing dan mual, karena terkoyak oleh hantaman air laut. Ombak terasa seolah mengamuk bersama angin laut.

Sempat Menjadi Puntung Rokok di Kapal

Setelah empat hari berjibaku dengan lautan, akhirnya waktu mulai menunjukkan perbedaan dengan biasanya, iya, ponselku berganti dengan Waktu Indonesia Timur. Ambon, memiliki kontur pegunungan yang dikelilingi laut. Khas laut di sini mempunyai air yang berwarna hijau kebiru-biruan, bening, hingga nemo-nemo di dalam air pun terlihat dari permukaan.

Apa yang kalian lihat di internet atau tv tak seberapa dibanding pemandangan asli yang ditangkap langsung oleh lensa mata. Kami tak ingin menyia-nyiakan dua hari ini hanya untuk berdiam diri, karena Ambon terlalu manis untuk dilewatkan.