Selasa, 18 Februari 2020

Tual, Lukisan Tuhan dari Indonesia Timur

 Tual bisa dibilang sebagai lukisan indah Tuhan di Indonesia Timur. Kecantikan Tual bisa jadi pilihan untuk traveler jelajahi libur panjang ini.

Awal mula perjalanan kami menjalajahi Indonesia. Tanjung Priuk, satu-satunya pelabuhan di Jakarta sejak zaman kolonial Belanda menjadi saksi perjalanan saya dan kawan-kawan. Bukan tanpa alasan, kapal menjadi pilihan transportasi kami untuk menjalankan misi kali ini.

Sebagai negara maritim, anak bangsa seperti kami wajib mewarisi tradisi nenek moyang sebagai seorang pelaut. Bagi kami, Indonesia bukan negara kepulauan, tetapi negara lautan yang ditaburi oleh pulau-pulau. Potensi dan kekayaan lautnya menjadi alasan mengapa harus ada ekspedisi maritim ini.

Selain itu, biaya naik kapal terbilang cukup murah, yakni berkisar antara Rp 600.000-an. Ekspedisi yang saya impikan ini menuju ke Indonesia bagian timur, tepatnya di pulau rempah-rempah, Maluku. Bukan hanya sekedar liburan, kami juga akan melakukan pengabdian di Desa Lebetawi, Kota Tual, Maluku Tenggara.

Sore itu, senja menemani kami menjinjing beberapa peralatan menaiki tangga menuju kapal. Saya dan 17 orang lainnya menjadi salah satu bagian dari hiruk pikuk penumpang kapal besar yang memiliki tujuh dek tersebut, yakni kapal Dobonsolo.

Ransel, box, carrier, kardus, dan beberapa koper adalah cadangan amunisi kami selama satu bulan pengabdian di sana. Untuk menuju Maluku atau pelabuhan Ambon, waktu yang diperlukan adalah lima hari.

Beberapa pelabuhan terlewati, diantaranya Tanjung Perak (Surabaya), Pelabuhan Makassar, Pelabuhan Bau-Bau, Pelabuhan Ambon, dan setelah itu kapal akan bergerak mengangkut penumpang menuju Papua.

Selama enam hari di kapal, sejauh mata memandang hanya terdapat lautan tenang bergradasi biru tua dan biru muda. Tak ada suara apa-apa, selain suara mesin kapal yang membelah gulungan ombak dan suara beberapa penumpang yang sedang bercengkrama mengusir kebosanan.

Oh iya, ada satu lagi, sesekali suara klakson kapal juga cukup mengagetkan seisi kapal. Hingga saat kapal tepat berada di atas Laut Banda, ombak yang menghantam kapal semakin besar. Laut Banda adalah salah satu laut yang menyeramkan, karena laut ini mempunyai palung atau jurang laut terdalam di Indonesia, kedalaman palung Laut Banda mencapai hingga 7000 meter.

Kami membayangkannya seperti lubang kematian, jadi siapapun yang melewati negeri di atas ombak ini harus berhati-hati dan banyak berdoa. Keadaan ombak seperti ini, membuat sejumlah penumpang kapal merasakan pusing dan mual, karena terkoyak oleh hantaman air laut. Ombak terasa seolah mengamuk bersama angin laut.

Sempat Menjadi Puntung Rokok di Kapal

Setelah empat hari berjibaku dengan lautan, akhirnya waktu mulai menunjukkan perbedaan dengan biasanya, iya, ponselku berganti dengan Waktu Indonesia Timur. Ambon, memiliki kontur pegunungan yang dikelilingi laut. Khas laut di sini mempunyai air yang berwarna hijau kebiru-biruan, bening, hingga nemo-nemo di dalam air pun terlihat dari permukaan.

Apa yang kalian lihat di internet atau tv tak seberapa dibanding pemandangan asli yang ditangkap langsung oleh lensa mata. Kami tak ingin menyia-nyiakan dua hari ini hanya untuk berdiam diri, karena Ambon terlalu manis untuk dilewatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar