Senin, 24 Februari 2020

Tiket Pesawat Mahal, Travel Fair Jadi Harapan Wisatawan

Beberapa waktu lalu sempat ramai isu tiket pesawat mahal. Pameran wiata pun jadi harapan traveler untuk mendapatkan tiket murah.

Mencari tahu respon masyarakat soal harga tiket pesawat yang mahal, detikTravel bertanya pada sejumlah pengunjung Astindo Travel Fair di Jakarta Convention Center, Jakarta, Jumat (22/2/2019). Mereka semua berharap bisa mendapat harga miring di pameran wisata.

Pengunjung pertama yang ditanyai detikTravel adalah Ridho, seorang pekerja bank dari Jakarta. Datang bersama rekannya, ia datang untuk mencari tiket untuk liburan ke Jepang. Menurutnya, harga tiket ke Jepang selama pameran kurang lebih sama.

"Kayaknya sama ya, karena promo dari maskapai juga banyak. Tahun lalu ke Jepang pas GATF dapat Rp 3 juta PP karena cashback. Sekarang cashbacknya nggak terlalu," ujar Ridho.

Selain harga promo selama pameran travel, cashback memang jadi andalan pengunjung untuk mendapat potongan tiket lebih. Hanya saja, besaran jumlah cashback memang bervariasi dari satu travel fair ke yang lainnya.

Lain lagi dengan pengunjung bernama Amalia yang datang bersama rekannya. Pulang sambil menenteng koper, ia menceritakan rencananya untuk liburan ke Jepang.

"Kayaknya iya lebih murah. Kemarin (harga di luar pameran - red) SQ hampir Rp 10 juta PP, tadi Rp 5 jutaan. Sekitar 30% diskonnya," ujar Amalia.

Ada juga pengunjung bernama Kina asal Depok yang ingin mencari tiket pesawat ke Hong Kong bersama keluarganya. Mengincar libur panjang di momen Lebaran, Kina tidak menemukan harga yang sesuai.

"Hong Kong, kebetulan nyari pas Lebaran karena liburnya lumayan. Cuma masih mahal, tadi Rp 8,6 sampai Rp 11 juta," ujar Kina.

Walau harga tiket pesawat cenderung lebih murah saat travel fair, tapi pemesanan pada high season atau momen liburan kadang tak banyak berdampak pada harga. Setidaknya, itu yang dialami oleh Kina.

Kemudian ada juga pengunjung yang mencari paket wisata. Selain menjual tiket pesawat dengan harga lebih miring, tak sedikit paket wisata dijual di travel fair dengan harga bersahabat.

"Shanghai, cari paket tur buat keluarga. Rp 20 juta 1 orang. Agak sedikit lebih murah," ujar Herman dari Jakarta.

Itulah ragam komentar dari para pengunjung travel fair terkait harga tiket pesawat di pameran dibanding harga luar pameran. Di tengah mahalnya harga tiket pesawat, traveler yang ingin liburan memang dituntut untuk lebih cerdik dengan memanfaatkan promo maskapai hingga pameran travel demi harga yang kompetitif.

Ponsel 'Membunuh' Tukang Foto Wisata di Pangandaran

 Inilah senja kala para tukang foto wisata di Pantai Pangandaran. Pernah jaya sampai awal tahun 2000-an, sekarang mereka kalah dengan kamera ponsel wisatawan.

Sudir (60), salah seorang juru foto di Pantai Pangandaran bercerita, ia telah mengikuti perubahan tren teknologi fotografi sejak tahun 1970-an. Ketika menjajal usaha sebagai fotografer wisata sejak tahun 1978, kata Sudir, para fotografer yang jumlahnya hanya segelintir orang masih menggunakan kamera Polaroid.

Ia mengingat, para juru foto wisata ramai-ramai pindah ke kamera analog yang menggunakan negatif film pada tahun 1990-an. Selain tuntutan jaman dengan berkembangnya kamera analog, ia mengingat, para fotografer pindah ke analog karena sempat terjadi kelangkaan kertas foto Polaroid di Indonesia.

Tren kamera analog di kalangan pemotret wisata, kata dia, mulai bergeser ke digital sekitar pertengahan dekade 2000. Mula-mula, kata dia, para fotografer pantai menggunakan kamera saku.

"Nggak lama ramai DSLR, kita ganti lagi," ujar Sudir, Jumat (22/2/2019).

Sudir mengenang, masing-masing era punya kenangannya tersendiri. Sewaktu zaman kamera Polaroid, menurut dia, juru foto harus sangat hati-hati memfoto karena gambar langsung tercetak begitu tombol ditekan.

"Enaknya, foto langsung ada dan langsung dibayar. Waktu itu harganya masih Rp 1000 selembar, terus naik-naik sampai Rp 5 ribu," ujar Sudir.

Kelemahannya, kata dia, foto Polaroid tidak bisa diperbesar. Karena itu, menurut dia, foto negatif film saat itu menjadi alternatif. Namun, menurut dia, menggunakan negatif film bukan berarti tanpa keurangan.

"Nggak enaknya kita harus cuci dulu ke studio, pas balik mau kasih foto, tamunya sudah enggak ada," kata Sudir.

Secara teknologi, menurut Sudir, kamera digital paling menunjang pekerjaan. Fotografer, menurut dia, bebas mengambil gambar dan memilih hasil terbaik.

Namun sisi tidak enaknya, menurut Sudir, banyak wisatawan membawa kamera sendiri, termasuk kamera ponsel. Alhasil, ia menyebut penghasilannya berkurang drastis. Apalagi kamera ponsel sekarang bagus-bagus dan wisatawan suka selfie sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar