Selasa, 18 Februari 2020

Tual, Lukisan Tuhan dari Indonesia Timur (3)

Warga berkumpul menyambut kami dengan senyuman. Hal ini menandakan bahwa mereka bersikap terbuka dan siap menerima perubahan yang akan kami lakukan. Satu bulan mengabdi di sini terasa sangat menyenangkan, beragam karakter orang timur kami temui, keras memang tetapi mereka baik sekali khususnya kepada tamu, seperti kami. Kami sudah dianggap layaknya seperti keluarga sendiri, erat sekali.

Setiap hari kami melihat laut, makan hasil laut, bermain di laut, hingga mandi pun di laut. Inilah masyarakat maritim yang kami maksud, memanfaatkan dan menjaga laut dengan maksimal. Layaknya sebuah ladang dan halaman, laut menjadi sumber harapan masyarakat Tual. Tak mau kalah dengan tarian ombak yang setiap waktu menghantam pasir di pantai, kami dan para mama disini setiap hari juga melakukan senam Tobelo, dan Nona Kei Ratu, senam khas Kepulauan Kei.

Usai pengabdian selama satu bulan, kami mempunyai waktu untuk mengeksplor segala apa saja yang ada di Kota Tual. Waktu tersebut benar-benar kami manfaatkan untuk melepaskan penat, melihat sisi lain dari kota kecil ini, barangkali untuk beberapa puluh tahun ke depan, kota ini tenggelam ditelan samudera. Semoga saja tidak.

Pulau Bair

Perjalanan pertama, kami mengunjungi Pulau Bair diantar oleh warga Desa Lebetawi. Mereka menyediakan dua kapal nelayan untuk kami tumpangi beserta pisang goreng untuk bekal selama dua jam perjalanan dari Desa Lebetawi menuju Pulau Bair. Walaupun kapal ini membuat sedikit gatal di kulit, akan tetapi kami tetap bersyukur atas fasilitas yang warga berikan.

Entah ini kejutan yang keberapa kali yang Tuhan berikan kepada kami. Dua jam perjalanan sangat tak terasa, mata kami sibuk berputar mengelili luasnya lautan dan telinga dengan asyiknya mendengarkan deru ombak yang menenangkan. Beberapa kali kami menemui pulau-pulau karang yang dihiasi tanaman-tanaman yang berwarna hijau. Cantik nian bumi pertiwi ini.

Begitu sampai di Pulau Bair, barisan-barisan pulau karang yang tinggi sangat elok dipandang mata. Burung-burung kaka laut berhamburan terbang ketika kami mulai memasuki kawasan ini dengan perahu. Mungkin burung-burung itu merasa terusik dengan kehadiran kami di habitat mereka.

Layaknya burung surga, mereka berwarna putih cantik, bergerombol bersama-sama terbang untuk mencari penghidupan. Disana, kami mendaki puncak bukit karang, rumayan curam dan terjal memang, ceroboh sedikit bisa jadi kami terpeleset ke bebatuan karang atau mungkin jatuh di antara curamnya tebing karang lalu tercebur ke laut.

Dari atas bukit karang, kami bisa melihat keindahan gugusan bukit-bukit karang dan pepohonan hijau, serta melihat jernihnya air laut yang berwarna hijau tosca. Untungnya laut di sini berpasir dan tidak terlalu dalam, arusnya pun cukup tenang, jadi siapapun bisa berenang bebas.

Sebagian orang mengatakan bahwa Pulau Bair adalah Raja Ampat nya Maluku. Memang mirip, tetapi kami tidak setuju kalau ini dikatakan sebagai Raja Ampat. Bagi kami, setiap tempat di Indonesia memiliki keindahannya masing-masing dan itu bukan untuk dibandingkan atau disamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar