Kamis, 20 Februari 2020

Kastil di Jepang Dibikin Pakai Telur dan Batu, Percaya?

Jepang punya 12 kastil yang masih berdiri tegap, Matsuyama Castle salah satunya. Konon, kastil ini dibangun dari pondasi batu dan telur.

Liburan ke jepang memang tidak bisa lepas dari kunjungan ke kastil-kastil cantik yang penuh sejarah. Sebut saja Kastil Nagoya, Osaka atau Kumamoto.

Masing-masing kastil memiliki gaya yang berbeda dengan cerita unik di baliknya. Begitu juga Matsuyama Castle di Prefektur Ehime, Kota Matsuyama.

Kastil Mastsuyama menjadi ikon penting bagi Kota Matsuyama. Bangunan ini menjadi satu dari 12 kastil selamat dari bencana alam besar di Jepang selama beberapa waktu. detikTravel bersama Japan Airlines Indonesia (JAL) dan Japan National Tourism Organization (JNTO) tak melewatkan tempat wisata di Jepang ini dari daftar kunjungan.

Untuk bisa menikmati keindahan kastil berusia 400 tahun ini, wisatawan akan diajak naik kereta gantung terlebih dahulu. Dari loket karcis, traveler harus membayar JPY 150 untuk kereta gantung atau sekitar Rp 18.944 per orang dan karcis masuk kastil sebesar JPY 510 atau sekitar Rp 64.412 per orang.

Kereta gantung ini bisa diisi sampai 30 orang dalam sekali perjalanan. Hanya sekitar 10 menit, wisatawan akan tiba di bagian depan kastil.

Layaknya kastil zaman dulu yang memiliki banyak pengamanan, Matsuyama Castle memiliki benteng yang tinggi sebagai menara pandang. Traveler harus naik tangga untuk sampai di hadapan benteng.

Di sini pula ada, wisatawan sudah disambut dengan pohon sakura yang sudah berbunga. Rupanya, kastil ini dikelilingi dengan 20 jenis pohon sakura. Sehingga pada bulan Februari-April, kastil ini akan tambah cantik dengan merekahnya pohon sakura.

Menara ini diberi nama Matsuyama wall. Dengan tinggi mencapai 70 meter, bangunan ini disusun hanya dari batu dan telur.

"Menurut cerita dulu saat pembangunan kastil rakyat sangat senang, sehingga menghadiahi banyak makanan ke kastil ini. Yang paling banyak telur," ujar Watanabe, pemandu di Kastil Matsuyama.

Watanabe bercerita bahwa para pekerja mulai bosan dengan makanan berupa telur. Sehingga mereka mulai mencampurkan batu-batu bangunan dengan telur.

Batu-batu ini memang dibangun hanya dengan cara ditumpuk. Tapi tidak sembarangan tumpuk. Batu disusun panjang pendek dari arah kanan.

"Saat gempa, ujung bangunan tetap bertahan dan ini jadi bangunan paling stabil. Di total untuk membangun kastil butuh sekitar 203.000 batu sebagai pondasi," jelas Watanabe.

Semilir lembut angin membuat suasana di area kastil ini begitu sejuk. Perjalanan mulai menanjak dengan melewati beberapa gerbang. Tiap melewati gerbang, wisatawan harus naik tangga.

Kok sepertinya menanjak terus?

Memang, Kastil Matsuyama berada di ketinggian. Menurut cerita Watanabe, sang arsitektur, Kato Yoshiaki, memotong 2 gunung tersebut dan membangun kastil ini di atasnya. Hal ini juga jadi alasan dalam pengamanan serangan dari musuh.

Setelah melewati banyak gerbang, wisatawan akan tiba di bagian halaman kastil yang luas. Di area ini begitu banyak pohon plum dan sakura yang masih meranggas. Terbayag cantiknya kalau sudah musim semi.

Tak hanya pepohonan dan area istirahat, di halaman ini pula terdapat sebuah sumur. Sumur ini memiliki kedalaman 44 meter sampai menyentuh permukaan air.

Sumur ini masih berfungsi sampai sekarang. Namun hanya hari-hari tertentu saja wisatawan bisa melihat orang menimba air dari sumur ini.

"Letak sumur ini ditentukan dari potongan pertengahan dua gunung. Airnya tetap ada sampai sekarang, kalau mau lihat ritual pengambilan air bisa datang saat tahun baru," kata dia.

Setelah melewati halaman yang luas, wisatawan diajak masuk ke dalam kastil. Masih melewati beberapa gerbang tanpa pintu atau doorless gate.

Gerbang ini menjadi ciri khas dari peninggalan Zaman Edo. Bahkan doorless gate menjadi properti budaya khas Jepang.

"Tadinya ini gudang, di seberangnya pintu utama. Hanya master dari kastil ini yang boleh lewat. Sekarang tidak digunakan lagi. Wisatawan bisa masuk lewat gudang," ujarnya.

Sebuah gudang dimodifikasi menjadi pintu masuk kastil. Dari sini wisatawan diminta untuk mengganti sepatu dengan sendal yang sudah disediakan. Wisatatawan tak perlu khawatir sepatunya hilang, karena pengelola menyediakan loker. Kunci loker dibawa oleh wisatawan langsung.

Kastil ini dibuat dengan bahan utama kayu. Semua dirawat dengan begitu apik meski telah melewati bencana besar seperti gempa.

Kini ruang-ruang di Kastil Matsuyama dibuka untuk pameran. Benda-benda yang dipamerkan pun bermacam-macam, mulai dari pedang, senapan, baju perang sampai peralatan minum teh.

"Kastil Matsuyama pernah terbakar karena disambar petir. Di sini ada beberapa benda yang masih selamat dan bisa dipamerkan," cerita Watanabe.

Waduh, Ada Janda Hidup Sendiri di Pulau Sengketa Korsel-Jepang

 Ada pulau yang disengketakan oleh Korea Selatan dan Jepang. Nah, di pulau itu ada seorang janda yang hidup sendirian. Mau menemani dia?

Melansir CNN Travel +, Jumat (1/3/2019), pada tahun 1991, Kim Sin-yeol dan suaminya membuat keputusan yang tidak biasa untuk pindah ke pulau-pulau terpencil. Lokasi di jantung perselisihan wilayah antara Jepang dan Korea Selatan.

Saat ini dikelola oleh Seoul, Kepulauan Dokdo terletak di Laut Timur, menurut Korea Selatan. Oleh Jepang, menyebutnya dengan Pulau Takeshima yang mengacu pada perairan di sekitarnya sebagai Laut Jepang.

Selama bertahun-tahun, pasangan itu adalah satu-satunya penghuni permanen pulau kecil itu. Sedang keberadaan orang lain, seperti polisi, operator mercusuar dan turis hanya datang dan pergi secara berkala.

Cuaca buruk bisa memutus akses ke pulau-pulau ini dari dunia luar selama berminggu-minggu. Tetapi perairan di sekitarnya kaya ikan dan kepualauan ini bisa diakses selama 4 jam menggunakan kapal feri.

Kim berasal dari Pulau Jeju, bekerja sebagai 'haenyeo' atau pekerja tradisional perempuan sebagai freediver perempuan hingga tahun 2017. Ia berhenti ketika kesehatannya memburuk dan suaminya, Kim Sung-do meninggal Oktober tahun lalu.

"Dia bilang tinggal di Dokdo amat santai. Berada di sana, pikirannya tenang," kata menantunya, Kim Kyung-chul.

Pulau-pulau ini disengketakan karena buruknya hubungan Korsel-Jepang. Hubungannya masih diwarnai sejarah pendudukan Jepang dan penjajahan Semenanjung Korea Selatan di paruh pertama abad ke-20.

Jepang mengatakan Korea Selatan secara ilegal menduduki pulau-pulau ini yang diklaimnya sebagai wilayah kedaulatan sejak abad ke-17. Korea Selatan mengatakan klaimnya atas kepulauan itu atas keyakinan sebagai rumah bagi cadangan gas bawah laut dan berasal dari abad keenam.

Korea Selatan memperkuat kontrolnya atas pulau-pulau itu pada 1950-an. Mereka menempatkan prajurit bersenjata di sana.

Dalam penutupan KTT Antar-Korea 2018 ada makanan penutup dengan peta kepulauan di dalamnya dan Jepang secara resmi menyatakan keberatan dengan dimasukkannya pulau-pulau yang disengketakan ada di peta. Pulau-pulau itu adalah titik api diplomatik baru-baru ini.

Ketika Olimpiade Musim Dingin Korea Selatan berlangsung ada sebuah spanduk dalam upacara pembukaan. Itu menggambarkan mereka sebagai bagian dari Semenanjung Korea.

Bendera diubah setelah protes Jepang. Tetapi pulau-pulau itu muncul kembali berbulan-bulan kemudian sebagai bagian dari bendera Korea Bersatu dalam pertemuan penutup pada jamuan makan malam pertemuan puncak antar-Korea, yang mengarah ke protes formal Jepang.

Meskipun jauh dari kedua negara, pulau-pulau secara geografis lebih dekat ke daratan Korea daripada Jepang. Kepulauan ini juga merupakan tempat wisata di Korea Selatan.

Kembali ke Kim yang sudah berusia 81 tahun, tinggal bersama putrinya Kim Jin-hee di Pohang, di pantai tenggara Korea, sampai renovasi di rumah pulau terpencilnya selesai pada bulan April nanti. Sementara itu, warga Korea lainnya menyatakan minatnya untuk pindah ke pulau-pulau itu untuk memperkuat kepemilikan negara mereka atas wilayah itu.

Pejabat pemerintah setempat mengatakan tidak ada rencana untuk mendorong lebih banyak permukiman di sana. "Hanya ada ruang tinggal untuk satu keluarga saja, (seperti) warga di sana," kata seorang pejabat pemerintah.

Kesehatan Kim menurun, anak perempuan dan menantunya berencana untuk mendaftar sebagai penduduk tetap untuk menemani ibunya. Dengan menggunakan izin usaha yang ia warisi dari ayahnya, anak Kim berencana untuk menjual perangko, sabun dan makanan berbahan dari laut kepada para wisatawan.

Kehadiran keluarga ini lebih dari sekadar peluang bisnis. Korea Selatan memiliki kekuatan di sana atas hal itu.