Kamis, 05 Maret 2020

Tanusang, Pasir Timbul Cantik dari Maluku

 Memang tak lengkap menikmati Maluku jika tidak ke pasir timbul di lautannya. Inialh Tanusang, pasir timbul favoritnya warga lokal untuk menikmati sunset.

Indah dan menakjubkan. Itulah yang terpikir oleh kita saat memandang lepas ke hamparan pasir putih yang memanjang dari arah selatan ke utara itu. Terlihat seperti ular raksasa yang sedang mengapung di tengah laut. Itulah panorama yang tersaji di gunung pasir ini.

Di berbagai sudut Tanusang ini, kami dapat menikmati keindahan alam yang asri. Berdiri diatas Tanusang yang diapit oleh Pulau Geser, Pulau Seram, Pulau Seram Laut dan Pulau Kiltai-Kilwaru ini, kami seperti sedang berlayar dengan sebuah kapal.

Warga setempat mengakui, Tanusang itu sudah ada sejak ratusan tahun lalu bahkan mereka percaya, Tanusang itu telah timbulnya bersamaan dengan Pulau Geser dan pulau-pulau sekitarnya. Sebelumnya, Tanusang itu terletak pada jarak sekira tiga kilometer dari Pulau Geser dan Pulau Seram. Tepatnya di samping salah satu jalur keluar masuknya kapal ke dermaga Geser.

Letaknya yang terbilang jauh dari daratan pulau-pulau sekitar membuat Tanusang itu hanya dapat dinikimati dari kejauhan. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, secara perlahan, gunung pasir itu bergeser mendekati daratan Pulau Geser. Menurut warga, bergesernya Tanusang itu akibat diterpa arus laut di wilayah itu yang cukup deras.

Kini, letak Tanusang semakin dekat dengan daratan Geser, jaraknya hanya sekira satukilometer. Dan panjangnya saat ini telah mencapai empat ratus meter dan lebar sekira lima puluhmeter, melebihi ukuran sebelumnya. Mendekatnya Tanusang itu ke daratan Pulau Geser makin memperindah panorama alam sekitar. Tak heran, Tanusang itu pun menjadi sasaran warga sekitar saat hari menjelang malam untuk berfoto ria menjelang matahari terbenam.

Tanusang ini juga kian ramai terutama pada hari libur. Warga dari berbagai pulau sekitar meramaikan Tanusang itu menggunakan kendaraan laut berupa longboat/speed. Tapi semua itu kini telah bisa dijangkau dengan mudah karena telah ada jembatan penghubung antara daratan Pulau Geser dengan Tanusang yang menambah nilai eksotiknya. Rasanya tidak sempurna kalau menginjak Negeri Ita Wotu Nusa tapi belum menginjak Tanusang yang menakjubkan ini.

"Subhanallah.." itu kalimat yang terungkap dari bibir seorang hijaber traveler yang sedang melakukan sesi pemotretan di delta nan indah ini.

Siang Tampak Klasik, Kota Tua di Malam Hari Tetap Cantik

Kota Tua Jakarta selalu memiliki bagian menarik untuk menjadi sebuah objek wisata yang tak membosankan. Kawasan yang terletak di Jakarta Barat ini pun selalu ramai dikunjungi, khususnya pada momen-momen liburan.

Bagian yang paling jelas menjadi daya tarik utama dari kawasan Kota Tua adalah sebuah museum yang didirikan pada abad ke-17, yaitu Museum Fatahillah. Museum ini didirikan pada abad ke-17.

Sampai saat ini lokasi yang menjadi cagar budaya ini tetap mempertahankan desain arsitekturnya yang khas kolonial Belanda. Oleh karena itu museum ini pun menjadi spot foto favorit wisatawan di Kota Tua.

Di siang hari kawasan Kota Tua, khususnya Taman Fatahillah akan tampak berbeda dengan kawasan lainnya. Selain adanya Museum Fatahillah, bangunan lain seperti kafe-kafe di sekitarnya pun memiliki desain bangunan yang khas kolonial.

Hal itu pun dipertegas dengan adanya sejumlah seniman patung yang mengenakan kostum unik, misalnya memakai pakaian noni Belanda atau pahlawan kemerdekaan. Ada pula yang menyediakan sepeda onthel warna-warni untuk disewakan kepada wisatawan.

Serambi Mekkah yang Penuh Cerita (2)

Museum ini merupakan rancangan Ridwan Kamil (pada waktu itu beliau belum menjabat sebagai wali kota Bandung, melainkan seorang dosen jurusan arsitektur di ITB) yang berhasil memenangkan perlombaan desain pada sayembara merancang Museum Tsunami Aceh. Museum ini terbuka untuk umum pada 8 Mei 2009 dengan menelan biaya kurang lebih 140 Miliar. Pengunjung yang datang seolah-olah dapat merasakan kejadian tsunami Aceh 14 tahun silam.

Ada satu ruangan yang bernama Space of Sorrow (Sumur Doa), di ruangan ini anda dapat melihat nama para korban tsunami Aceh 2004 silam yang tertera di dinding ruangan ini. Hebatnya bukan saja berfungsi sebagai monumen peringatan,tetapi museum ini juga bisa dijadikan tempat perlindungan jika tsunami datang kembali, Desainnya yang berbentuk bukit, bisa dijadikan lokasi penyelamatan. Atapnya yang landai dimaksudkan untuk bisa menampung penduduk.

Cukup dengan cerita kelam tsunami, mari kita beranjak ke keindahan alam Serambi Mekah. Aceh terkenal dengan pantai yang bersih, indah, dengan garis pantai yang panjang. Kala itu saya hanya sempat mengunjungi Pantai Lampuuk dan Pantai Pasir Putih Lhok Me. Garis pantai yang panjang,pasir yang putih, bersihnya lingkungan membaut saya betah berlama-lama menikmati keindahan alam Serambi Mekkah.

Penduduk setempat menamakan kampung ini adalah kampung Jackie Chan, karena sang aktor dan penyanyi ini turut menyumbang pembangunan kampung ini. Kampung ini berada di atas bukit dengan pemandangan gunung dan laut. Rumah-rumah yang d bangun pun sangat rapi dan sangat layak tinggal. Jalanannya pun di aspal sangat rapi.

Matahari sudah dipuncak, kami pun berhenti untuk sekedar makan siang menikmati ayam sampah atau ayam tangkap khas Banda Aceh. Namanya saja sampah mungkin karena tampilannya yang berserakan seperti sampah.Tetapi soal rasa jangan ditanya, lezat dan unik.

Selain itu, Aceh juga terkenal dengan kopinya yang nikmat. Kopi sanger adalah minuman kopi susu khas Aceh. Kuliner yang tidak kalah menarik untuk di coba adalah Sate Matang dan Mie Aceh.Jangan sampai dilewatkan yah kuliner-kuliner ini. Menuju perjalanan ke hotel kami sempatkan untuk singgah melihat salah satu mesjid terbesar di Aceh, yaitu Mesjid Baiturrahman.

Selain itu Masjid Baiturrahman ini juga merupakan salah satu bangunan paling megah di Asia Tenggara. Masjid ini sudah melalui tragedi pembakaran oleh kolonial Belanda tahun 1973 sampai hantaman tsunami tahun 2004. Bangunan Mesjid ini selamat dari hantaman tsunami walaupun terjadi kerusakan di beberapa bagian mesjid. Renovasi pasca tsunami 2004 menelan biaya kurang lebih sekitar 20 Miliar, dananya di dapat berasal dari bantuan dunia internasional.

Besarnya tsunami kala itu turut menyeret kapal PLTD Apung ke daratan,bukan itu saja bahkan ada kapal yang nyangkut di atap rumah warga. Kapal ini setidaknya menyelematkan 59 nyawa penumpang didalamnya. Baik kapal PLTD Apung dan Kapal di atas Rumah  Lampulo ini sekarang menjadi objek wisata tsunami. Sebagai tempat pendidikan bencana serta perlindungan darurat andai tsunami terjadi lagi, Aceh sudah memiliki Museum Tsunami.