Jika dulu Dubai menggantungkan hidupnya pada minyak, kini tidak lagi. Dubai mengemas pariwisatanya, serba mewah dan menarik untuk mendatangkan devisa.
Melansir CNN Travel +, Rabu (23/1/2019), Uni Emirat Arab pernah dilanda stagnasi minyak pada tahun 1969. Kini emas hitamnya hanya menyumbang kurang dari 1% dari total PDB.
Lalu, apakah Dubai akan bisa jadi role model ekonomi di kawasan Teluk Persia?
Kisah ini dimulai dari suatu pagi di bulan Oktober yang cerah, lebih dari tiga dekade yang lalu, sebuah maskapai penerbangan yang tidak dikenal dari kota yang kurang dikenal naik ke langit untuk penerbangan perdananya. Maskapai ini menyewa dua pesawat dari Pakistan International Airlines untuk perjalanan pertama mereka ke Karachi. Itu adalah Emirates.
Hari ini, Emirates yang berbasis di Dubai adalah raksasa penerbangan global. Logonya ada di baju tim sepakbola Liga Premier dan Serie A juga menghiasi lapangan di turnamen tenis global.
Dengan mengangkut penumpang lebih dari 60,5 juta pada akhir 2016-17, itulah maskapai internasional terbesar di dunia. Dubai sering menjadi berita utama dengan gedung pencakar langitnya, pulau buatan dan lereng ski di pusat perbelanjaan.
Kebangkitan Emirates dijalankan dengan hati-hati, mencerminkan perencanaan ekonomi yang serius. Keberadaannya telah menopang evolusi emirat regional ke kota dunia yang terkemuka.
Syekh Rashid bin Saeed al Maktoum, emir atau pemimpin Dubai antara tahun 1958 dan 1990, alih-alih mengandalkan sumber daya yang menipis lalu mendayagunakan pada sumber daya permanen, yakni geografi Dubai. Terletak di rute perdagangan utama antara Timur dan Barat, emirat memiliki akses ke Laut Arab dan Samudra Hindia melalui garis pantai Teluk Persia.
Dari Dubai, traveler dapat terbang ke sepertiga negara di dunia dalam waktu empat jam dan ke dua pertiga dalam waktu delapan jam. Singkatnya, Dubai memiliki geografi komersial yang patut dikembangkan.
Putranya, penguasa Dubai saat ini dan perdana menteri Uni Emirat Arab, Sheikh Mohammed bin Rashid al Maktoum, memanfaatkannya dengan tiga cara, yakni perdagangan, transportasi dan pariwisata. Ketiganya menciptakan ekonomi bebas minyak di wilayahnya.
Lalu dimulailah pengerukan Sungai Dubai pada awal 1960-an memungkinkan kapal dagang berukuran besar dapat berlabuh, penciptaan pelabuhan laut besar, Jebel Ali pada tahun 1979. Sejarawan Graeme Wilson mencatat dalam bukunya, kegigihannya terbayar, karena pada 2015 Jebel Ali Port adalah pelabuhan peti kemas terbesar kesembilan di dunia berdasarkan volume perdagangan dengan layanan mingguan hingga 140 pelabuhan.
Konektivitas transportasi udara Dubai lebih mengesankan. Pada tahun 2014, Bandara Internasional Dubai melampaui London Heathrow sebagai bandara tersibuk di dunia dalam hal penumpang internasional.
Para pemimpin Dubai sedang merencanakan bandara baru, yakni Bandara Internasional Al Maktoum, yang telah dibuka untuk penerbangan kargo. Setelah selesai pada tahun 2025 akan menjadi rumah baru untuk Emirates Airline dengan kapasitas hingga 120 juta penumpang.
Tidak mengherankan bahwa penerbangan menyumbang lebih dari seperempat dari PDB Dubai. Bahkan dapat mencapai 44% pada tahun 2030, menurut sebuah studi Oxford Economics.
Ketika para pemimpin Dubai memulai rencana besar, mereka tidak bisa meramalkan guncangan ekonomi ke depan. Karena bahwa negara-negara seperti China, India dan banyak negara Asia lainnya akan menjadi bagian dari penyeimbangan kembali kekuatan ekonomi dari Barat ke Timur.