Rabu, 13 Mei 2020

Riset: Perokok Diduga Lebih Kebal Virus Corona, Tapi...

 Ilmuwan di dunia ini sepakat kalau perokok lebih rentan kena COVID-19. Namun data pasien corona cuma sedikit yang merokok. Apakah kebal?

Secara umum, para perokok berisiko lebih tinggi kena COVID-19 karena bulu tipis pada saluran pernapasan dan paru-paru untuk menyaring patogen, biasanya rusak karena zat beracun dari rokok. Namun kalau ditanya, berapa perokok yang dirawat di RS, jawabannya mengejutkan.

Dari Daily Mail Inggris, Rabu (13/5/2020) ada riset yang dilakukan Dr Nicola Gaibazzi di Parma, Italia. Diungkap bahwa dari 441 pasien COVID-19 yang dirawat di RS, hanya 5 persen yang perokok. Artinya, 95 persen pasien adalah bukan perokok atau mantan perokok.

Tapi, dari pasien COVID-19 yang merokok tersebut, risiko kematiannya tinggi. 47 Persen pasien COVID-19 yang merokok meninggal. Sedangkan kematian pasien COVID-19 yang tidak merokok adalah 35 persen dan kematian mantan perokok 31 persen.

Jika dirangkum, kesimpulan riset itu adalah meskipun perokok rentan terhadap virus Corona, hanya sedikit sekali pasien COVID-19 yang merokok. Namun sekalinya kena virus Corona, hampir separuhnya meninggal.

"Studi ini berguna karena ada dugaan perokok mungkin membawa semacam mekanisme perlindungan dari infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala," kata Gaibazzi.

Riset ini sudah diterbitkan di jurnal MedRxiv yang artinya masih dalam proses uji kebenaran. Namun, studi dari University College London (UCL) menunjukkan data yang mirip.

David Simmons dan tim membandingkan 28 studi dengan 23.000 perokok yang kena COVID-19 di China, Amerika, Korea Selatan, Prancis dan Inggris. Hasilnya, dari populasi perokok di negara-negara itu, yang kena COVID-19 cuma 10-25 persen, kecuali Korea Selatan yang hampir seluruh perokoknya kena COVID-19.

Namun lagi-lagi data menunjukan, 43 persen perokok yang akhirnya kena COVID-19, sakitnya lebih parah daripada yang tidak merokok. Profesor Linda Bauld dari University of Edinburgh menduga nikotin menghalangi virus tapi dengan cara yang buruk juga.

Virus Corona masuk ke sel tubuh manusia lewat struktur reseptor ACE-2. Namun pada perokok, reseptor ACE-2 ini habis duluan digerus nikotin.

"Mungkin perokok lebih tidak kena kondisi itu karena nikotin. Tapi yang penting dalam riset UCL, ketika perokok ini kena COVID-19, akibatnya jauh lebih buruk," kata Bauld.

Pasien Positif Corona Jadi Imam Tarawih, Tanda Masih Kurangnya Kesadaran?

Sebanyak 28 orang di Tambora, Jakarta Barat, berstatus orang dalam pemantauan (ODP) setelah menjalani salat Tarawih di musala. Sebab imam salat tersebut sehari sebelumnya telah dinyatakan positif virus Corona COVID-19.
"Iya (28 jemaah berstatus ODP)," ujar Camat Tambora Bambang Sutama ketika dihubungi detikcom, Rabu (13/5/2020).

Sebelumnya petugas puskesmas dan pihak dari kelurahan Jembatan Besi, Tambora, sudah melakukan penjemputan untuk mengevakuasi imam berinisial O tersebut. Namun, O menolak.

"Karena dirinya (merasa) sehat (tidak bergejala) dan akhirnya dia bilang. 'Saya ini gejala tifus', jadi dia itu nggak yakin apa yang disampaikan oleh dokter," jelas Bambang.

Lantas apakah ini menunjukkan masih adanya kurang kesadaran di kalangan masyarakat terkait pandemi virus Corona?

Menurut dr Heri Munajib dari Perhimpunan Dokter Nahdlatul Ulama (PPNU), dalam beberapa kasus memang ada orang yang masih memiliki kesadaran rendah karena rasa egoisnya yang tinggi. Misalnya pada orang-orang yang memiliki hak istimewa atau privilege.

"Jadi dalam suatu seminar saya pernah bilang, dua orang yang susah sekali diberitahu adalah yang pertama ustaz atau kyai dan yang kedua dokter," kata dr Heri kepada detikcom, Rabu (13/5/2020).

"Karena ustaz atau kyai dengan segala previlegenya itu dia sering ngotot bahwa dia tidak apa-apa, tapi yang ditular itu adalah jemaahnya. Begitu juga dokter, dia juga nggak merasa apa-apa, tapi faktanya dia menulari ke pasien. Itu dalam beberapa kasus terjadi," lanjutnya.

Meski begitu, dr Heri mengatakan tidak semua ustaz, kyai, dan dokter atau orang-orang yang memiliki privilege lainnya seperti itu. Ia menyarankan sebaiknya para pemuka agama dan pemerintah saling berkolaborasi agar kejadian ini tidak terjadi lagi dan angka penyebaran virus Corona di Indonesia bisa ditekan.

"Yang jadi sorotan ini kan para pemuka agama. Nah para pemuka agama ini diharapkan bisa bekerja sama dan berkolaborasi dengan pemerintah, bagaimana cara kita menekan angka terjadinya kasus positif (COVID-19) di masyarakat," tuturnya.

Dicari! 300 Ribu Petani Buat Garap Sawah Baru di Kalimantan

Rencana pemerintah untuk membuka lahan persawahan baru di Kalimantan Tengah (Kalteng) akan segera direalisasikan. Untuk menggarap lahan tersebut setidaknya akan dibutuhkan petani sekitar 300 ribu orang.
Menteri Koordinator bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menjelaskan, lahan yang sudah disisir di Kalteng diperkirakan mencapai 255 ribu hektare (Ha) lebih. Dari hasil studi lahan itu, potensi yang bisa dijadikan lahan sawah baru sekitar 164.598 Ha yang sebagian sudah ada jaringan irigasi dan sudah dilakukan penanaman padi.

"Sedang dilakukan studi dalam waktu 3 minggu ini dengan luas potensi 164.598 Ha dari jumlah tersebut. Lahan yang sudah ada jaringan irigasi 85.456 Ha dan ada 57.195 Ha yang sudah dilakukan penanaman padi selama ini oleh transmigran dan keluarganya dan ada potensi ekstensifikasi sebesar 79.142 ha," ujarnya dalam konferensi pers virtual, Rabu (13/5/2020).

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menambahkan, dalam pengembangan lahan tersebut dibutuhkan ketersediaan petani yang cukup. Sebab meski lahan sawah itu dimodifikasi tetap membutuhkan petani yang cukup banyak.

"Pengembangan itu memang harus tersentuh dengan kepemilikan dan ketersediaan petani dalam lahan-lahan ekstensifikasi yang dikembangkan. Jadi petani selain menggunakan mekanisasi yang full system tentu saja petani-petani itu harus dipersiapkan juga di sana dan kalau jumlah ratusan ribu itu tidak mudah," tambahnya.

Menurutnya dengan jumlah sebesar itu, dia perkirakan dibutuhkan 300 ribu petani untuk menggarap lahan sawah baru itu di Kalteng.

"1 Ha itu dibutuhkan minimal sekali 2-3 orang, kalau 200 ribu ha berarti 300 ribu orang harus dimukimkan di sana," ujarnya.

Karena keterbatasan jumlah petani, maka dibutuhkan untuk menyerap petani dari wilayah lainnya. Petani yang dicari juga harus bersedia untuk mengelola lahan itu secara berkelanjutan.

"Belajar dari kegagalan yang lalu kita kurang petani di situ jadi setelah selesai serbuan tanam, satu musim ditinggalkan lagi petani dan lahan jadi tertinggal lagi. Kami berharap di bawah koordinasi pak Menko kita persiapkan lebih matang lagi dari hal tersebut terutama dari petani terutama koordinasi pemerintah daerah dan transmigrasi yang ada," ucapnya.

Riset: Perokok Diduga Lebih Kebal Virus Corona, Tapi...

 Ilmuwan di dunia ini sepakat kalau perokok lebih rentan kena COVID-19. Namun data pasien corona cuma sedikit yang merokok. Apakah kebal?

Secara umum, para perokok berisiko lebih tinggi kena COVID-19 karena bulu tipis pada saluran pernapasan dan paru-paru untuk menyaring patogen, biasanya rusak karena zat beracun dari rokok. Namun kalau ditanya, berapa perokok yang dirawat di RS, jawabannya mengejutkan.

Dari Daily Mail Inggris, Rabu (13/5/2020) ada riset yang dilakukan Dr Nicola Gaibazzi di Parma, Italia. Diungkap bahwa dari 441 pasien COVID-19 yang dirawat di RS, hanya 5 persen yang perokok. Artinya, 95 persen pasien adalah bukan perokok atau mantan perokok.

Tapi, dari pasien COVID-19 yang merokok tersebut, risiko kematiannya tinggi. 47 Persen pasien COVID-19 yang merokok meninggal. Sedangkan kematian pasien COVID-19 yang tidak merokok adalah 35 persen dan kematian mantan perokok 31 persen.

Jika dirangkum, kesimpulan riset itu adalah meskipun perokok rentan terhadap virus Corona, hanya sedikit sekali pasien COVID-19 yang merokok. Namun sekalinya kena virus Corona, hampir separuhnya meninggal.

"Studi ini berguna karena ada dugaan perokok mungkin membawa semacam mekanisme perlindungan dari infeksi SARS-CoV-2 yang bergejala," kata Gaibazzi.

Riset ini sudah diterbitkan di jurnal MedRxiv yang artinya masih dalam proses uji kebenaran. Namun, studi dari University College London (UCL) menunjukkan data yang mirip.

David Simmons dan tim membandingkan 28 studi dengan 23.000 perokok yang kena COVID-19 di China, Amerika, Korea Selatan, Prancis dan Inggris. Hasilnya, dari populasi perokok di negara-negara itu, yang kena COVID-19 cuma 10-25 persen, kecuali Korea Selatan yang hampir seluruh perokoknya kena COVID-19.