Sabtu, 04 Juli 2020

Sejarah Pajak di Indonesia di Masa Kerajaan-kerajaan Kuno

Pajak sudah menjadi sumber penerimaan atau pemasukan sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Pada saat itu masyarakat mengenalnya dengan istilah upeti. Pembayaran upeti ini jauh sebelum tanah air dijajah oleh bangsa Eropa dan Jepang. Upeti merupakan pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa. Cerita ini menjadi bagian dari sejarah pajak di Indonesia di masa kerajaan abad IX.
Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja, dan sebagai imbal baliknya maka masyarakat mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Berdasarkan jurnal humaniora berjudul 'Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi' terinfo sumber penerimaan kerajaan-kerajaan kuno berasal dari pajak. Jurnal yang ditulis oleh Djoko Dwiyanto ini menyebut dalam sejarah pajak di Indonesia ada tiga objek pajak yang dikenakan oleh pihak kerajaan.

Pajak Tanah
Berbagai jenis tanah yang terkena pajak antara lain sawah, pegagan (sawah kering), kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai (P. Kamalagyan, 1037 M:3). Objek pajak tersebut terutama sawah gaga dan kebun ditetapkan berdasarkan luas yang dihitung dengan ukuran luas tampah haji atau setara 1 hektar (10.000 m).

Pengukuran tanah dilakukan oleh petugas kerajaan yang disebut wilang thani (P. Sugihmanek, 915 M, 6-7). Dari hasil pengukuran itu kemudian melahirkan ketentuan tentang besarnya pajak yang harus dibayar.

Pajak Perdagangan
Aktivitas perdagangan dalam prasasti disebut dengan masambyawahara, sedangkan perdagangan disebut sambyawahara. Pajak perdagangan diketahui dari adanya pembatasan usaha dalam sebuah sima. Sima itu istilah untuk kebijakan meringankan pajak bagi desa-desa perdikan. Maka bagi daerah yang bukan sima diwajibkan sepenuhnya untuk membayar pajak.

Pajak Orang Asing
Di dalam prasasti tentang sejarah pajak di Indonesia orang asing menjadi wajib pajak, orang asing yang dimaksud dalam prasasti adalah orang Kling, Arya, dan Singhala (P. Palebuhan 927 M.7). Orang asing yang dimaksud berkaitan erat dengan aktivitas perdagangan. Pajak yang dikenakan kepada mereka bukan karena aktivitas perdagangannya, tetapi sebagai orang asing.

Pajak Exit-Permit
Di dalam prasasti pajak keluar-masuk wilayah dikenal dengan sebutan pinta palaku. Pihak kerajaan menginstruksikan semul jabatan yang termasuk dalam kelompok san manilala drabya haji atau yang ditafsirkan sebagai profesi yang tugasnya meminta pajak dari orang-orang yang melakukan perjalanan (Machi Suhadi: 1978:5).

Hasil pemungutan empat objek pajak era kerajaan kuno ini dibagi menjadi dua kategori, yaitu dari hasil daerah yang berstatus sima dan dari daerah yang bukan sima. Dari daerah sima, hasil pemungutannya dibagi menjadi tiga yakni untuk bangunan suci (dharma), penjagaan atau perawatan dharma, dan untuk manilala haji.

Sedangkan untuk pajak yang berasal dari bukan daerah sima, hasil pengelolaan uang pajak itu sebagian diberikan kepada mereka yang ikut menikmati kekayaan raja (drabya haji) atau para pejabat kerajaan yang mendapat gaji dari kerajaan.

Masih dari jurnal yang ditulis Djoko Dwiyanto menyebut, dalam sejarah pajak di Indonesia, pajak sebagai sumber penghasilan kerajaan dan bisa mempengaruhi kondisi sosial ekonomi secara keseluruhan. Hal ini dibuktikan dengan adanya kasus permohonan keringanan pembayaran pajak, bahkan pembebasan pajak.
https://cinemamovie28.com/astro-boy-tetsuwan-atom-episode-6/

Vivo Konfirmasi X50 Series yang Bakal Masuk ke Indonesia

Setelah sebelumnya membocorkan kehadiran X Series di Indonesia, kini Vivo mengonfirmasi smartphone yang dimaksud adalah Vivo X50 Series. Vivo juga mengungkap keunggulan yang dibawanya. Seperti apa?
Mengadopsi teknologi kamera mutakhir dari Vivo Apex 2020, X50 Series akan menjadi smartphone pertama dengan teknologi stabilisasi gimbal dari Vivo Indonesia. Hal ini juga telah dikonfirmasi oleh Product Manager Vivo Indonesia Hadie Mandala.

"Kehadiran Vivo X50 Series akan menjadi pembaruan bagi pengembangan teknologi Vivo di Indonesia. Gimbal Stabilization menjadi teknologi utama yang kami unggulkan yang diciptakan melalui proses desain yang presisi serta struktur yang kompleks," ungkap Hadie dalam keterangan tertulis, Sabtu (4/7/2020).

Teknologi stabilisasi gimbal tentunya bakal menjadi batu loncatan dari Vivo Indonesia yang melampaui batas optical image stabilization (OIS) yang sudah ada. Teknologi ini juga telah diintegrasikan dengan material, proses manufaktur, dan tingkat kepresisian.

Dilansir dari berbagai sumber, mekanisme micro gimbal ini memungkinkan sudut kemiringan sumbu-X dan sumbu-Y masing-masing hingga 3 derajat. Ini diklaim tiga kali lipat stabilnya dari OIS tradisional.

Dengan adanya teknologi ini, pengguna Vivo X50 Series bakal mendapatkan stabilitas dalam pengambilan gambar melalui lensa smartphone dan membawanya ke tingkat yang setara fotografi profesional.

Sebelumnya kehadiran teknologi gimbal pada kamera smartphone Vivo terungkap dalam poster iklan yang ditujukan untuk gelaran MWC pada Februari lalu. Diketahui kalau perangkat prototipe, Apex 2020, akan memiliki gimbal kamera sebagai penstabil gambar. Poster dalam tiang pondasi tersebut menampilkan bagian belakang Apex 2020, sehingga bagian kamera utamanya terlihat jelas memiliki gimbal.

Kira-kira seperti apa spesifikasi yang bakal dibawa oleh ponsel flagship dari Vivo kali ini, patut untuk ditunggu!

Sejarah Pajak di Indonesia di Masa Kerajaan-kerajaan Kuno

Pajak sudah menjadi sumber penerimaan atau pemasukan sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia. Pada saat itu masyarakat mengenalnya dengan istilah upeti. Pembayaran upeti ini jauh sebelum tanah air dijajah oleh bangsa Eropa dan Jepang. Upeti merupakan pungutan sejenis pajak yang bersifat memaksa. Cerita ini menjadi bagian dari sejarah pajak di Indonesia di masa kerajaan abad IX.
Perbedaannya adalah upeti diberikan kepada raja, dan sebagai imbal baliknya maka masyarakat mendapat jaminan keamanan dan ketertiban dari raja. Pada saat itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan dan apa yang terjadi di masyarakat dianggap dipengaruhi oleh raja.

Berdasarkan jurnal humaniora berjudul 'Pungutan Pajak dan Pembatasan Usaha di Jawa Pada Abad IX-XV Masehi' terinfo sumber penerimaan kerajaan-kerajaan kuno berasal dari pajak. Jurnal yang ditulis oleh Djoko Dwiyanto ini menyebut dalam sejarah pajak di Indonesia ada tiga objek pajak yang dikenakan oleh pihak kerajaan.

Pajak Tanah
Berbagai jenis tanah yang terkena pajak antara lain sawah, pegagan (sawah kering), kebun, sungai, rawa, dan lembah sungai (P. Kamalagyan, 1037 M:3). Objek pajak tersebut terutama sawah gaga dan kebun ditetapkan berdasarkan luas yang dihitung dengan ukuran luas tampah haji atau setara 1 hektar (10.000 m).

Pengukuran tanah dilakukan oleh petugas kerajaan yang disebut wilang thani (P. Sugihmanek, 915 M, 6-7). Dari hasil pengukuran itu kemudian melahirkan ketentuan tentang besarnya pajak yang harus dibayar.

Pajak Perdagangan
Aktivitas perdagangan dalam prasasti disebut dengan masambyawahara, sedangkan perdagangan disebut sambyawahara. Pajak perdagangan diketahui dari adanya pembatasan usaha dalam sebuah sima. Sima itu istilah untuk kebijakan meringankan pajak bagi desa-desa perdikan. Maka bagi daerah yang bukan sima diwajibkan sepenuhnya untuk membayar pajak.

Pajak Orang Asing
Di dalam prasasti tentang sejarah pajak di Indonesia orang asing menjadi wajib pajak, orang asing yang dimaksud dalam prasasti adalah orang Kling, Arya, dan Singhala (P. Palebuhan 927 M.7). Orang asing yang dimaksud berkaitan erat dengan aktivitas perdagangan. Pajak yang dikenakan kepada mereka bukan karena aktivitas perdagangannya, tetapi sebagai orang asing.
https://cinemamovie28.com/astro-boy-tetsuwan-atom-episode-4/