Sabtu, 31 Oktober 2020

Tertinggi di Dunia, COVID-19 di AS Sudah Tembus 9 Juta Kasus

 Total kasus virus Corona COVID-19 di Amerika Serikat (AS) sudah melewati sembilan juta kasus. AS pun kini masih menjadi negara penyumbang kasus COVID-19 terbanyak di dunia.

Berdasarkan data worldometers, total kasus COVID-19 di AS sudah mencapai 9.212.546 kasus pada hari Jumat (30/10/2020).


Menurut laporan New York Times, AS mencatat rekor penambahan kasus baru COVID-19 pada Kamis (29/10/2020), yakni sebanyak 86.600 kasus dalam sehari.


Ahli epidemiolog dari University of Wisconsin-Milwaukee, Amanda Simanek, mengatakan ia belum pernah melihat lonjakan kasus COVID-19 sebanyak ini di negara lain. Simanek pun khawatir, jika tidak cepat ditangani, penyebaran virus Corona di AS akan semakin mudah saat musim dingin tiba.


"Pola penyebaran ini bisa terus terjadi jika kita tidak menekan infeksi hingga ke tingkat yang bisa kita kendalikan," ucap Simanek.


Sementara itu, mantan komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), Dr Scott Gottlieb, meyakini bahwa dalam waktu dekat AS akan mencatatkan kasus harian COVID-19 sebanyak 100.000 kasus per hari.


"Kami akan mengatasi 100.000 infeksi di beberapa titik dalam beberapa minggu mendatang, mungkin. Mungkin juga bisa dalam minggu ini, jika semua negara bagian melaporkan kasus dengan tepat waktu," kata Gottlieb, dikutip dari CNN.


Menurut Gottlieb, lonjakan kasus ini dikarenakan masih banyaknya warga AS yang kurang memperhatikan prokotokol kesehatan.


"Kenyataannya adalah saya pikir kita tidak akan mulai melihat perlambatan kasus sampai adanya perubahan perilaku di masyarakat dan sampai Anda melihat data mobilitas mulai menurun," jelasnya.


Selain itu, diketahui hingga saat ini sudah sebanyak 5.983.316 pasien COVID-19 di AS yang sudah dinyatakan sembuh. Sementara 234.177 pasien lainnya dilaporkan meninggal dunia.

https://nonton08.com/cabin-28/


Cerita Eks Petinggi WHO Soal Murahnya Tes PCR dan Harga Obat di India


Sebelum kembali ke tanah air dalam rangka persiapan pensiun sebagai Direktur Penanggulangan Penyakit Menular WHO untuk Kawasan Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama menjalani uji PCR pertengahan September lalu. Tes dilakukan di teras rumah dinasnya oleh petugas laboratorium di New Delhi, India. Biayanya cuma Rp 480 ribu.

Atas saran anaknya yang seorang dokter, dia kembali menjalani tes PCR di sebuah rumah sakit di Jakarta. "Tarifnya Rp 1,3 juta ha-ha-ha," kata Prof Tjandra Yoga dalam program Blak-blakan yang tayang di detikcom, Jumat (30/10/2020).


Tak cuma itu. Ahli paru Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) itu juga menyebut harga obat-obatan di India juga jauh lebih murah ketimbang di Indonesia. Tak heran bila sejumlah koleganya yang menjadi dokter kerap minta dibelikan obat di India.


Sebelum ada pandemi COVID-19, Prof Tjandra Yoga mengaku biasa pulang ke Jakarta sebulan sekali. Di saat itulah koleganya titip dibelikan obat-obatan tertentu.


"Harganya memang bisa lebih murah 50 persen bahkan lebih dari harga di sini. Jadi, bukan cuma biaya PCR harga obat pun lebih murah," kata mantan Dirjen Perlindungan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI itu.


Kenapa India bisa demikian, Prof Tjandra Yoga menduga karena 'Negeri Sungai Gangga' itu punya banyak persediaan bahan baku obat. Jumlah penduduk yang mencapai 1,3 miliar jiwa menjadi pangsa pasar sangat besar sehingga bisa menurunkan ongkos produksi. Selain itu, upah pekerja di India kemungkinan lebih murah.


"Tapi soal upah pekerja ini saya tidak tahu persis ya," ujarnya.


Duta Besar India untuk Indonesia Gurjit Singh, 2012-2015, pernah mengungkapkan alasan lain kenapa negerinya dapat memproduksi dan menjual obat dengan harga sangat murah. Selain punya bahan baku dan pangsa pasar di dalam negeri sangat besar, kata dia, banyak ilmuwan yang belajar di Amerika lalu mengembangkan obat di negaranya.


Dalam bidang farmasi India merupakan negara eksportir obat generik terbesar di dunia. Secara volume, negeri itu juga menjadi eksportir obat generik terbesar dengan jaringan industri yang kuat karena 15% ilmuwan farmasinya berada di AS.

https://nonton08.com/brownian-movement/

Eks Diplomat WHO Pun Susah Cari Pesawat Saat Pandemi, Ini Kisahnya

 Sejak awal Oktober lalu, Prof Tjandra Yoga Aditama mengakhiri masa tugas sebagai Direktur Penanganan Penyakit Menular WHO untuk Asia Tenggara. Jabatan itu dia emban sejak 2018 dan berkantor di New Delhi, India. Pada pertengahan September dia pun kembali ke Jakarta untuk menikmati masa pensiun bersama keluarga.

Meski berstatus diplomat WHO, proses kepulangan tak berlangsung mulus. Maklum, India belum sepenuhnya membuka status lockdown yang diterapkan sejak Maret lalu. Bandara Internasional New Delhi masih tutup, tak melayani penerbangan komersial internasional. Kerja sama penerbangan terbatas memang mulai dibuka sejak awal September, seperti dengan Malaysia.


Prof Tjandra Yoga pun akhirnya memesan tiket Malaysia Airlines. Tapi karena satu dan lain hal, penerbangan tersebut ditunda beberapa hari dari jadwal yang telah ditetapkan.


"Padahal visa izin tinggal saya sudah habis sehingga akan dianggap illegal kalau tetap mengikuti jadwal penerbangan tersebut," tuturnya dalam program Blak-blakan di detik.com, Jumat (30/10/2020).


Oleh WHO, ahli paru Fakultas Kedokteran-Universitas Indonesia (FKUI) itu yang pernah menjadi Dirjen Perlindungan Penyakit Menular Kementerian Kesehatan RI itu kemudian disediakan tiket penerbangan lain. Rutenya New Delhi-Dubai-Jakarta, artinya ke arah barat dulu lalu balik ke arah timur. Meski sedikit memutar, dia setuju.


Penerbangan ini pun akhirnya batal diikuti karena yang boleh terbang cuma warga India dan Uni Emirat Arab. Alternatif lain disodorkan, yaitu penerbangan New Delhi, Frankfurt (Jerman) Bangkok, Jakarta. Total 36 jam karena harus transit selama 12 jam di Frankfurt.


"Tentu saya tolak karena bukan hanya terlalu melelahkan, tapi juga terlalu berisiko penularan COVID-19," kata Prof Tjandra Yoga.


Dia beruntung karena akhirnya KBRI di New Delhi mengupayakan penerbangan repatriasi, khusus New Delhi-Jakarta untuk WNI dan atau warga negara lain yang harus terbang dari New Delhi ke Jakarta. "Pengalaman ini menunjukkan bahwa kalau memang harus terbang, amat tidak mudah mendapatkan pesawat yang tersedia," ujarnya.


Terlepas dari kendala tersebut, Prof Tjandra Yoga mengingatkan bila hendak bepergian dengan penerbangan internasional tetap memperhatikan aturan yang diminta oleh maskapai dan atau negara yang akan dituju. Sebagian besar negara mensyaratkan semua orang yang mendarat di bandara internasionalnya sudah membawa hasil PCR negatif untuk COVID-19.


"Ini juga harus hati-hati, karena ada yang mensyaratkan pemeriksaan PCR-nya paling lambat 48 jam sebelum mendarat, ada yang 72 jam, dan ada yang 7 hari," ujarnya.

https://nonton08.com/pitbull-new-order-2016/


Tertinggi di Dunia, COVID-19 di AS Sudah Tembus 9 Juta Kasus


Total kasus virus Corona COVID-19 di Amerika Serikat (AS) sudah melewati sembilan juta kasus. AS pun kini masih menjadi negara penyumbang kasus COVID-19 terbanyak di dunia.

Berdasarkan data worldometers, total kasus COVID-19 di AS sudah mencapai 9.212.546 kasus pada hari Jumat (30/10/2020).


Menurut laporan New York Times, AS mencatat rekor penambahan kasus baru COVID-19 pada Kamis (29/10/2020), yakni sebanyak 86.600 kasus dalam sehari.


Ahli epidemiolog dari University of Wisconsin-Milwaukee, Amanda Simanek, mengatakan ia belum pernah melihat lonjakan kasus COVID-19 sebanyak ini di negara lain. Simanek pun khawatir, jika tidak cepat ditangani, penyebaran virus Corona di AS akan semakin mudah saat musim dingin tiba.


"Pola penyebaran ini bisa terus terjadi jika kita tidak menekan infeksi hingga ke tingkat yang bisa kita kendalikan," ucap Simanek.


Sementara itu, mantan komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA), Dr Scott Gottlieb, meyakini bahwa dalam waktu dekat AS akan mencatatkan kasus harian COVID-19 sebanyak 100.000 kasus per hari.


"Kami akan mengatasi 100.000 infeksi di beberapa titik dalam beberapa minggu mendatang, mungkin. Mungkin juga bisa dalam minggu ini, jika semua negara bagian melaporkan kasus dengan tepat waktu," kata Gottlieb, dikutip dari CNN.


Menurut Gottlieb, lonjakan kasus ini dikarenakan masih banyaknya warga AS yang kurang memperhatikan prokotokol kesehatan.


"Kenyataannya adalah saya pikir kita tidak akan mulai melihat perlambatan kasus sampai adanya perubahan perilaku di masyarakat dan sampai Anda melihat data mobilitas mulai menurun," jelasnya.


Selain itu, diketahui hingga saat ini sudah sebanyak 5.983.316 pasien COVID-19 di AS yang sudah dinyatakan sembuh. Sementara 234.177 pasien lainnya dilaporkan meninggal dunia.

https://nonton08.com/english-dogs-in-bangkok-2020/