Di tengah pandemi COVID-19, problema obesitas kian menjadi-jadi. Padahal, potensi penyakit komorbid pada pengidap obesitas berisiko menyebabkan gejala COVID-19 berkepanjangan, berat, hingga berujung kematian.
Hal ini dijabarkan dokter spesialis penyakit dalam dari Himpunan Studi Obesitas Indonesia (HISOBI) dr Dicky L. Tahapary, SpPD-KEMD, PhD.
"Dengan adanya COVID-19, obesitas itu meningkatkan risiko kematian dari COVID-19 dan risiko COVID yang berat. Di lain sisi, pandemi COVID-19 meningkatkan risiko obesitas karena orang tinggal di rumah, banyak makan, jarang aktivitas fisik," ujarnya dalam webinar oleh Kementerian Kesehatan, Rabu (24/3/2021).
Menurut dr Dicky, penyakit obesitas tak terlepas dari gaya hidup. Ia menyayangkan, sikap cuek soal pola makan masih menghantui tengah pandemi.
Ia mencontohkan, salah satu makanan paling 'jahat' kegemaran masyarakat masa kini tak lain boba milk tea.
"Satu gelas boba milk tea 521 kalori. Kebutuhan kalori orang dewasa rata-rata perempuan 1.500, sedangkan laki-laki 2.000 sampai 2.500 kalori. Artinya kalau sudah minum 1 gelas boba, untuk membakar kalori perlu main tenis selama 84 menit, berenang selama 77 menit, atau aerobik 83 menit.,"
Menurutnya, mengatur pola makan sebenarnya tak sesulit melakukan olahraga. Meski olahraga tak kalah penting, menjaga asupan makanan seharusnya bisa menjadi cara minimal untuk menjalankan hidup sehat di tengah pandemi.
Yang dikhawatirkan, vaksin Corona yang kini tengah digencarkan tak seratus persen efektif membentuk imunitas pada pengidap obesitas.
"Beberapa studi mengatakan bahwa pada pasien obesitas, respons imun setelah diberikan vaksin tidak sebaik pada orang yang tidak obesitas," imbuhnya pada detikcom.
https://kamumovie28.com/movies/a-better-tomorrow-ii/
Virus Flu Biasa Disebut Bisa Beri Perlindungan Terhadap COVID-19
Sebuah studi baru menunjukkan virus flu biasa dapat menawarkan beberapa tingkat perlindungan terhadap infeksi virus Corona COVID-19.
Dikutip dari laman Medical Xpress, studi yang terbit di Journal of Infectious Diseases yang dipimpin oleh para ilmuwan di MRC-University of Glasgow Center for Virus Research (CVR) menemukan rhinovirus manusia penyebab flu biasa, memicu respons imun bawaan yang tampaknya dapat memblokir replikasi COVID-19 di sel saluran pernapasan.
Dalam studi lebih lanjut, simulasi matematis oleh tim peneliti menunjukkan interaksi virus-virus ini mungkin memiliki efek pada seluruh populasi, dan peningkatan prevalensi rhinovirus manusia dapat mengurangi jumlah kasus COVID-19 baru.
Penelitian sebelumnya menunjukkan interaksi antara rhinovirus dan virus pernapasan lainnya dapat mempengaruhi jenis serta tingkat keparahan infeksi pada penderita, cara mereka menginfeksi dan menyebar di antara kelompok orang (pola infeksi).
Dalam studi tersebut, peneliti melakukan infeksi sel pernapasan manusia dengan SARS-CoV-2 di laboratorium, menciptakan kembali lingkungan selular tempat infeksi biasanya terjadi.
Kemudian mereka mempelajari replikasi SARS-CoV-2 dalam sel-sel ini, baik dengan rhinovirus maupun tidak.
"Penelitian kami menunjukkan rhinovirus memicu respons imun bawaan dalam sel epitel pernapasan manusia yang menghalangi replikasi SARS-CoV- 2," ujar penulis studi Pablo Murcia, dari MRC-University of Glasgow Center for Virus Research.
"Ini berarti bahwa respons kekebalan yang disebabkan oleh infeksi virus flu biasa yang ringan, dapat memberikan perlindungan sementara terhadap SARS-CoV-2, yang berpotensi memblokir penularan dan mengurangi keparahan Covid-19," sambungnya.
Tahap selanjutnya, peneliti akan mempelajari apa yang terjadi pada tingkat molekuler selama interaksi virus-virus tersebut.
"Kami kemudian dapat menggunakan pengetahuan ini untuk keuntungan kami, semoga mengembangkan strategi dan langkah-langkah pengendalian untuk infeksi COVID-19," lanjutnya.
Selagi penelitian tentang virus flu ini masih dilakukan, Murcia mengatakan vaksinasi merupakan metode perlindungan terbaik kami terhadap COVID-19.