Sabtu, 20 Maret 2021

Dampak Buruk Kecanduan Gawai, Kondisi yang Dialami Seratusan Anak di Jabar

 Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Cisarua, Jawa Barat (Jabar), melaporkan sepanjang bulan Januari-Februari 2021 sudah ada 14 anak yang dirawat karena mengalami kecanduan gawai. Sementara sepanjang tahun 2020 total ada 98 anak yang dirawat dengan kondisi serupa.

"Mereka murni gangguan adiksi gawai, jadi yang dominan itu kecanduan internet di antaranya adiksi games," ungkap Direktur Utama RSJ Cisarua Elly Marliyani pada detikcom, Selasa (16/3/2021).


Ahli kesehatan jiwa dr Lahargo Kembaren, SPKJ, dari RS Siloam Bogor menjelaskan bahwa dampak buruk kecanduan gawai dapat dilihat dari tanda-tandanya. Seseorang yang kecanduan gawai berkaitan dengan internet atau game akan sulit mengendalikan keinginannya menggunakan gawai sampai mengganggu fungsi sehari-hari.


"Misalnya bolos kelas, penurunan prestasi sekolah, dan tidur menjadi berkurang. Anak dan remaja lebih rentan mengalami kecanduan internet karena rasa ingin tahu yang sangat besar dan bagian otak yang berfungsi untuk mengendalikan perilaku masih dalam proses perkembangan," papar dr Lahargo.


Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga sudah mengakui kecanduan game sebagai gangguan mental. Seseorang dikatakan kecanduan bila kondisi negatif yang dialaminya sudah berlangsung minimal selama 12 bulan.


"Pasien yang kecanduan bermain game itu, lebih mementingkan game-nya dari pada melakukan hal postif lainnya. Kalau anak-anak kan harusnya belajar tapi itu diabaikan," kata ahli kesehatan jiwa anak dan remaja, dr Lina Budiyanti, beberapa waktu lalu.


Beberapa pasien anak mengatakan bisa main game lebih dari 6 jam perhari. Jika tidak main game, mereka akan merasa cemas. "Cemas itu karena tidak bermain game atau game yang membuatnya cemas, seperti lingkaran setan," pungkasnya.

https://maymovie98.com/movies/suami-yang-menangis/


Ada Varian Corona yang Sulit Terdeteksi PCR, Pakar: Babak Baru Pandemi


Beberapa hari lalu pemerintah Prancis menemukan varian baru Corona yang sulit terdeteksi oleh tes PCR (polymerase chain reaction). Hal ini diketahui setelah sebanyak 8 orang di wilayah Brittany, Prancis, mengalami gejala COVID-19, namun hasil tes PCR-nya negatif.

Setelah dilakukan sejumlah pemeriksaan, diketahui mereka terinfeksi virus Corona. Untuk sementara waktu, varian tersebut diberi nama 'le variant breton'.


"Yang perlu dapat perhatian adalah bahwa kasus-kasus ini ternyata memberi hasil negatif waktu dites dengan PCR test yang biasa kita pakai untuk memastikan seseorang sakit atau tidak," komentar Mantan Direktur WHO Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, melalui pesan singkat yang diterima detikcom, Sabtu (20/3/2021).


"Untuk kasus-kasus di Prancis ini mereka baru dipastikan sakit sesudah dilakukan pemeriksaan mendalam darah dan bahkan jaringan paru-parunya, suatu pemeriksaan yang amat tidak mudah dilakukan," lanjutnya.


Prof Tjandra mengatakan ini bukan pertama kalinya mutasi virus Corona menyebabkan sensitivitas tes PCR menjadi terganggu. Pada pertengahan Februari 2021 hal serupa juga terjadi di Finlandia.


"Pada pertengahan Februari 2021 Finlandia melaporkan mutasi varian 'Fin-796H' yang mereka temukan di 'Helsinki-based Vita Laboratories', yang virusnya tidak bisa terdeteksi dengan salah satu pemeriksaan PCR yang mereka biasa gunakan. Memang data dari Finlandia belum terlalu konklusif," jelasnya.


Hingga saat ini varian baru Corona dari Prancis tersebut masih dianalisis lebih lanjut. "Kalau memang nantinya keampuhan tes PCR jadi benar-benar terganggu maka tentu dunia akan menghadapi babak baru dan tantangan cukup berat untuk mendiagnosis COVID-19," tuturnya.

https://maymovie98.com/movies/bali-beats-of-paradise/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar