Selasa, 17 Maret 2020

Hai Para Pendaki, Ini yang Harus Kamu Tahu Tentang Hipotermia

Salah satu hal yang dihindari saat pendakian gunung adalah hipotermia. Berikut, hal-hal penting yang harus kamu tahu tentangnya.

Di awal tahun 2019 ini, tak sedikit pendaki gunung terkena hipotermia. Ada di Gunung Slamet dan Semeru, serta menjadi perbincangan di media sosial.

Apa itu hipotermia?

"Hipotermia itu adalah suhu tubuh turun sampai di bawah 37 derajat Celcius (suhu tubuh normal manusia), karena kedinginan. Itu ada beberapa stadiumnya," terang Tjahjadi Nurtantio, guide pendakian gunung dari DAKS Die Welt der Berge (German Alpine and Climbing School), operator wisata minat khusus dari Jerman, Selasa (8/1/2019).

Tjahjadi menjelaskan, terdapat beberapa stadium saat pendaki terkena hipotermia. Misalnya, stadium 1 suhu tubuhnya turun sampai 32 derajat Celcius, stadium 2 turun sampai 28 derajat Celcius hingga stadium 4 suhu tubuh di bawah 24 derajat Celcius atau bisa dikatakan sudah meninggal dunia.

"Hipotermia bisa sampai membuat orang meninggal dunia, jika tidak dilakukan penanganan yang cepat dan tepat," tegas Tjahjadi.

Cuaca yang dingin menjadi faktor utama para pendaki terkena hipotermia. Namun selain itu, Tjahjadi menyebut satu hal penting lainnya yang sering terlupakan yakni angin.

"Yang paling sering dilupakan pendaki adalah pakaian tahan angin atau windproof. Begini, puncak-puncak gunung di Indonesia itu ketinggiannya rata-rata 3.000-an mdpl dan suhunya tidak sampai minus. Mungkin paling dingin bisa sampai 5 derajat Celcius. Tapi, kalau ditambah kecepatan angin yang kencang, itu bisa membuat terkena hipotermia lebih cepat karena kita sudah kehilangan banyak energi dan akan cepat sekali suhu tubuh turun," paparnya.

Bagaimana tanda-tanda orang terkena hipotermia?

"Tanda pertamanya adalah jari kaki dan jari tangan yang dingin. Kemudian, badan menggigil terus menerus. Namun menggigil itu wajar ya, karena itu reaksi alamiah tubuh untuk melawan dingin, akan tetapi kalau terus-terusan itu sudah harus dicek benar kondisi tubuhnya," ujar Tjahjadi.

Tjahjadi sering menjadi guide untuk melakukan pendakian ke Gunung Kilimanjaro, Annapurna hingga gunung-gunung di Eropa. Khusus soal hipotermia, dia selalu menekankan satu hal penting.

"Saya selalu bilang kepada tamu saya, kalau kamu sudah tidak bisa merasakan di mana jari kaki dan jari tangan dan sudah tidak bisa diantisipasi dengan pertolongan pertama, maka kita turun. Kita harus berani memutuskan," katanya.

Bagaimana cara mengantisipasi hipotermia?

"Pakaiannya yang basah harus segera diganti supaya tetap menjaga suhu tubuh, beri selimut, beri minuman hangat dan hindari paparan angin," tutur Tjahjadi yang juga co-founder CSVakansi, operator wisata minat khusus di Indonesia.

Namun Tjahjadi menekankan, alangkah baiknya para pendaki mempersiapkan segala perlengkapan pendakian dengan matang. Selain itu, pelajari ramalan cuaca.

"Lebih baik mencegah daripada mengobati, artinya lebih baik kita antisipasi dulu segala hal sebelum mendaki gunung. Terutama soal cuaca, kita lihat apakah akan hujan, angin kencang atau sebagainya. Dari situ kita akan tahu, misal oh kalau begitu bawa jaket tambahan untuk menghadapi hujan dan angin kencang," urainya.

"Namun sebenarnya, lebih dari itu, saat cuaca tidak bersahabat misal angin kencang dan hujan, terdapat risiko lainnya seperti longsor, jalan licin dan lain-lain. Selain perlengkapan yang matang, persiapan pun harus matang," tambah Tjahjadi.

Tjahjadi berpesan, keselamatan saat mendaki gunung adalah nomor satu dan tidak bisa ditawar. Kalau dirasa kondisi tubuh tidak kuat, alangkah baiknya turun dan membatalkan pendakian.

"Selalu ingat, safety first. Nyawa kamu tidak bisa ditawar dengan apapun," tutupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar