Kamis, 05 Maret 2020

Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora

Tambora, raksasa itu dulu begitu megah, besar dan mematikan. Ia bertanggungjawab atas satu tahun tanpa musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Biang lenyapnya peradaban kerajaan Tambora, Sanggar dan Pekat. Serta Berkontribusi besar atas hilangnya 40.000 nyawa manusia.

Rabu 9 Mei 2018

Saya tak percaya! Bak habis disekap dalam gudang penyimpanan, semilir angin Bandara Sultan Muhammad Salahuddin, Bima Nusa Tenggara Barat begitu melegakan. Setelah hampir satu jam berada di salah satu maskapai lokal yang begitu pengap dan panas. Para penumpang keluar satu persatu dengan raut kusam dan sesekali mengoceh tidak karuan.

"Mbak AC-nya tadi mati ya?" celetuk seorang pria 30 tahunan dengan jenggot dan jambang tebal yang kelihatannya sudah tak sabar ingin tahu apa yang terjadi. Saya langsung menoleh karena penasaran pula. Sedangkan sang pramugari hanya menimpalinya dengan permohonan maaf.

Keringat saya masih belum kering sampai di tempat pengambilan bagasi. Menunggu tas carrier melintas, saya ngobrol-ngobrol di pojokan dengan bahasan yang belum berubah. Ya, tentang pesawat yang kami tumpangi tadi.

SELAMAT DATANG DI PULAU SUMBAWA

"Gimana Sumbawa?" Ya beginilah teriknya pulau ini, kalau kata orang mataharinya lebih dari satu,ujar Bang Wawan, driver yang akan menemani saya dan tim melintasi jalanan mulus nan berdebu di pulau yang terkenal dengan susu kuda liarnya. Konon katanya di sini matahari tak kenal musim, meskipun sering diguyur hujan juga, namun teriknya matahari sangatlah membakar kulit.

Tambora, raksasa itu dulu begitu megah, besar dan mematikan. Ia bertanggungjawab atas satu tahun tanpa musim panas di Eropa dan Amerika Utara. Biang lenyapnya peradaban Kerajaan Tambora, Sanggar dan Pekat. Berkontribusi besar atas hilangnya 40.000 nyawa manusia. Bahkan, ada peneliti yang bilang, Tambora patut disalahkan atas kekalahan Napoleon Bonaporte dalam perang di Waterloo, karena cuaca ekstrim hasil letusan pada Juni 1815. Kini ia masih berdiri gagah diantara Kabupaten Bima dan Dompu, tertidur lelap, berharap tak bangun dan memuntahkan isi perutnya lagi pada peradaban baru yang menggantikan Tambora, Sanggar dan Pekat.

Hampir enam jam sudah mobil MPV ini membawa saya menuju Desa Pancasila, dimana titik awal pendakian ini akan dimulai, dimana napak tilas kedahsyatan erupsi itu masih terasa, dimana bulir-bulir debu debu mengoyak hembusan-hembusan nafas tiap insan yang merayap di punggungnya. Kami duduk berhimpitan tiga orang dalam satu baris. Bersandar pada kursi yang empuk selama berjam-jam tak sepenuhnya nyaman, mengingat kendaraan ini juga dijejali barang-barang bawaan kami. Sesekali saya berdiri tegak untuk sekedar meluruskan punggung.

Desa Pancasila

BRAK! Kami terguncang-guncang, kepala saya terbentur jendela kanan mobil kemudian ke atas dan kedepan tak berirama. Saya yang sudah terlelap di awang-awang, sontak terbangun. Aspal yang mulus kini berubah menjadi kerikil lepas, sesekali batu-batu sedang dan besar. Tanpa ampun,ban mobil terus melindas batu jalanan membawa kami berjalan menyelinap dalam kegelapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar