Kamis, 05 Maret 2020

Menapaki Jejak Maha Dahsyat Letusan Tambora (2)

Dari sini perjalanan sudah tidak terlalu jauh, Desa Pancasila sudah di depan mata. Saya yang penasaran, membuka jendela dan melongok ke segala arah mencari wujud Tambora yang megah dalam balutan malam. Bukan tambora yang saya dapat, malah segerombol pemuda yang asik nongkrong di pinggir hutan sambil sibuk dengan handphonnya masing-masing.

"Mereka sedang cari Sinyal, batasnya sinyal GSM cuma sampe sini, di atas sudah gak dapet lagi", ujar bang Wawan menjelaskan.

Pukul 20:20 Saya sudah duduk-duduk santai di serambi basecamp Desa Pancasila, tepat di depan saya ada sebuah lapangan yang cukup luas, mirip lapangan sepak bola. Mungkin biasa digunakan warga untuk acara-acara penting. Basecamp ini cukup besar untuk menampung banyak kelompok pendaki. Namun tidak banyak kelompok yang datang malam itu.

Bangunan utama basecamp ini merupakan rumah Pak Syaiful yang diberi kepercayaan menjaga setiap lalu lintas pendakian lewat jalur Pancasila. Sedangkan bangunan-bangunan berbentuk panggung mirip bungalow di sisi kirinya biasa digunakan para pendaki untuk beristirahat. Sangat nyaman, karena disediakan Kasur di dalamnya

Ingin rasanya langsung tidur saja setelah seharian penuh berjibaku dengan perjalanan panjang. Di sela-sela obrolan, Senyum hangat pak Syaiful tersimpul sambil menyodorkan kopi dan pisang goreng yang dimasak sendiri oleh isterinya.

Selain kelompok saya, ada kelompok Bapak-bapak yang keliatan sangat bugar meskipun sudah berumur. Bervariatif, saya taksir sekitar 40 รข€“ 50 tahunan.

Dari obrolannya, sepertinya mereka kelompok pengusaha yang rutin melakukan kegiatan outdoor setiap tahun. Malam itu diisi oleh candaan mirip di Whtasapp grup Bapak-bapak. Saya sesekali tertawa mengimbangi yang lain, meskipun belum menemukan dimana bagian terlucunya. Hingga akhirnya malam yang dingin membawa saya terlelap kembali menuju negeri antah berantah.

Kamis, 10 Mei 2018

Gila! Baru kali ini saya dibonceng di sepeda motor dengan driver sebrutal ini!. Saya menggenggam erat-erat besi pegangan di belakang jok, berharap tak terjadi apa-apa. Jangan bayangkan motor Tril, Sepeda motor yang digunakan hanyalah motor bebek atau motor kopling biasa yang sedikit di modifikasi sana sini agar dapat melintas di tengah hutan yang menanjak. Bentuknya lebih mrip sepeda motor yang belum selesai dirakit.

Jalan licin, berkelok-kelok dan sempit yang lebih mirip jalur air memompa adrenalin saya. Badan saya melonjak naik turun di atas jok sepeda motor. Sesekali kaki si driver menapak ke tanah untuk menyeimbangkan motornya yang mulai oleng. Namun tumpukan tanah sudah memenumi ban sepeda motor. Iring-iringan ini terasa bagai balapan motor tril di kampung-kampung. Kami memutuskan untuk menghemat waktu dan tenaga dengan menyewa ojek Gunung sampai ke titik akhir dimana kendaraan tidak dapat lewat lagi.

Alunan tembang 'jaran goyang' menemani pendakian yang sudah berjalan sekitar 2 jam. Jalur tak begitu terjal, namun terasa begitu jauh. Sesekali saya dapat berlari di jalur pendakian ini. Tumbuhan didominasi pohon-pohon tinggi yang agak terbuka. Tim ini masih berjalan dalam satu rombongan utuh dengan formasi Inggar, Zahra, Saya, Hanin dan Taufik. Sedangkan dua porter yang kami sewa ada di depan dan di belakang. Obrolan santai tentang kantor, bos, musik, dan segala hal tumpah bercampur tak karuan hingga kami sampai di pos 2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar