Minggu, 11 Oktober 2020

Pakar Jelaskan Alasan Pasien COVID-19 yang Panik Lebih Lama Sembuh

 Spesialis Paru dan Konsultan Intensivist dan Gawat Nafas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Jakarta, Dr. Dewiyana Andari Kusmana, SpP (K) mengatakan pasien yang tenang begitu divonis positif COVID-19 akan lebih cepat sembuh dibanding yang panik atau gelisah.

Dewiyana menjelaskan alasan mengapa pasien yang panik dan gelisah akan lebih lama sembuh. Menurutnya, jika gelisah terus maka semakin tegang dan semakin banyak penyakit lain yang dimunculkan.


"Jangan panik, yang membuat hormon berantakan, lambung iritasi, nadi hipertensi, psikis gelisah. Itu mengacaukan semuanya," papar Dewiyana seperti dilansir dari situs covid19.go.id, Minggu (11/10/2020).


Pernyataan ini disampaikan dalam talkshow 'Pentingnya Iman, Aman, dan Imun' di Media Center Satgas COVI-19 Graha BNPB, Jakarta. Dewiyana juga menunjukkan penelitian awal pada pasien COVID-19 yang tidur cukup dan di bawah pukul 21.00 WIB itu antibodinya mudah terbentuk sehingga lebih cepat sembuh.


Salah seorang penyintas COVID-19, Turyono membagikan pengalaman dirinya bisa terbebas dari virus Corona tanpa mengonsumsi suplemen atau vitamin yang disiapkan rumah sakit. Terapi yang dia lakukan adalah olahraga, bernyanyi, dan berdoa.


"Kita memang harus berhati-hati. Tapi yang berbahaya dari virus corona ini sesungguhnya roh ketakutan yang dihembuskan. Sehingga orang yang terpapar imunitas tubuhnya jadi turun," ujar Turyono.


Awalnya ia mengaku sempat takut sehingga di rumah sakit hanya tidur satu jam setiap malam. Dampaknya muncul penyakit lain seperti darah tinggi akibat kurang tidur. Ia mengutarakan pesan dari dokter spesialis yang menanganinya, yakni untuk tetap tenang, bersuka cita, dan gembira yang dapat menjadi obat untuk kesembuhannya.


"Kalau kita bersuka cita, bergembira, itu akan menjadi support. Makanya saya hanya istirahat, olahraga, bernyanyi, dan berdoa. Itu sebagai pengganti infus semangat yang membuat saya kuat," papar Turyono.


Jadi, bagi yang terpapar COVID-19 jangan panik, melainkan harus selalu berpikir positif dan tetap tenang. Selain itu bagi yang belum terpapar, selalu #IngatPesanIbu seperti yang dijelaskan #SatgasCOVID19 untuk menerapkan 3M, yaitu memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.

https://cinemamovie28.com/from-vegas-to-macau/


Game Viral Among Us Bisa Picu Impostor Syndrom, Benar Nggak Sih?


Istilah 'impostor' belakangan viral di media sosial karena game among us. Karakter impostor dalam game among us adalah pembunuh dan suka mengelabui karakter lainnya.

Meski begitu, apakah karakter impostor dalam game Among Us ini sama dengan impostor syndrome? Bedakah kriteria impostor dalam game among us dan impostor syndrome?


Psikolog klinis Kasandra Putranto dari Kasandra & Associate mengatakan bahwa istilah impostor syndrome ini sebenarnya tidak secara resmi ada. Istilah impostor syndrome dibuat oleh orang awam dan kriterianya menjadi tidak jelas.


"Bisa jadi dibuat oleh orang awam, yang satu contoh kriteria 'adalah orang yang merasa tidak percaya diri, tidak memenuhi ekspektasi, menjadi insecure, merasa bersalah, apabila dia mendapatkan pengakuan, menutup diri," papar Kasandra, saat ditemui detikcom, Jumat (2/10/2020).


Namun untuk kriteria dalam game Among Us yang berada di masyarakat memiliki definisi berbeda. Dijelaskan oleh Kasandra, kriterianya bisa jadi jenius, perfectionist, ada perilaku melakukan kejahatan karena terdorong mengekspresikan diri.


Kasandra memberi contoh, jika seorang ayah meyakini bahwa anaknya mengalami impostor karena dia membaca artikel, bahwa impostor yang ia baca dalam artikel kriterianya adalah anak yang merasa tidak percaya diri, lalu kemudian merasa tidak pantas, itu akan sangat berbahaya karena sebenarnya makna dari impostor syndrom itu sendiri tidak bisa dikaitkan dengan game Among Us.


"Jika seorang ayah ini melihat kriteria anak pada game (among us) pasti akan kaget, karena kriterianya sangat mengerikan, sampai bisa melakukan kejahatan," tambah Kasandra.


Kasandra juga menyarankan kepada masyarakat untuk lebih cermat dalam menggunakan istilah. Untuk meyakini sebuah diagnosa harus melalui pemeriksaan yang memang sesuai standar dan dilakukan oleh ahli yang memiliki kompetensi.


"Karena ketidakbakuan dari penegakan syndrome ini, itu yang membuat akhirnya hanya menjadi istilah yang digunakan oleh masyarakat, dan masyarakatpun sering kali secara mudah melakukan self diagnosis," pungkas Kasandra.


Untuk mengetahui lebih lanjut, bisa cek selengkapnya di sini ya.

https://cinemamovie28.com/lemon-tree-passage/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar