Rabu, 22 Juli 2020

Thermo Gun Sering Tak Akurat? Ini Bagian Tubuh Paling Ideal untuk Cek Suhu

Kerusakan otak karena penggunaan thermo gun di dahi dipastikan cuma hoax. Namun soal akurasi, pengukuran suhu tubuh di dahi memang bukan yang paling ideal.
"Yang paling bagus ya yang masuk ke mulut, tidak terpengaruh suhu di luar maupun di dalam ruangan," kata Dr dr Sonar Soni Panigoro, SpB-Onk, praktisi kesehatan dari RS Kanker Dharmais, kepada detikcom, Rabu (22/7/2020).

Pengukuran suhu tubuh paling ideal adalah di rongga tubuh seperti mulut dan dubur, karena paling mendekati suhu inti tubuh. Namun harus diakui, pengukuran pada bagian-bagian tersebut memang tidak praktis.

Soal pengukuran suhu di permukaan tubuh seperti dahi maupun tangan, dr Sonar menjelaskan ada kemungkinan tidak akurat akibat pengaruh lingkungan. Ini menjadi salah satu keterbatasan dalam mengukur suhu di permukaan tubuh.

"Kalau dicek lewat tangan, misalnya, tangan bisa saja kan beres pegang sesuatu, tangannya dimasukkan ke dalam jaket sehingga nanti hasil cek suhu tubuhnya tidak akurat 100 persen," jelasnya.

Soal kabar bahwa radiasi thermo gun merusak otak, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI, dr Achmad Yurianto, memastikan hal itu tidak benar dan bisa menyesatkan. Thermo gun bekerja dengan menangkap radiasi infra merah, bukan memancarkan laser.

"Statement soal merusak otak adalah statement yang salah. ini akan membahayakan semua orang dan justru kontraproduktif untuk mencegah agar penularan tidak terjadi," kata dr Yuri dalam siaran pers BNPB, Senin (20/7/2020).

Kisah Mahasiswa Indonesia yang Jadi Peneliti Vaksin Corona di Oxford

Dunia sedang berlomba-lomba membuat vaksin Corona COVID-19. Satu kandidat vaksin dari perusahaan farmasi AstraZeneca dan Universitas Oxford disebut-sebut saat ini jadi yang paling terdepan dalam hal pengembangannya.
Terkait hal tersebut, ternyata ada keterlibatan seorang mahasiswa asal Indonesia di balik vaksin Corona buatan AstraZeneca-Oxford ini. Indra Rudiansyah, seorang mahasiswa S3 jurusan Clinical Medicine, bercerita bagaimana ia bisa terlibat dalam 'perlombaan' yang akan menentukan nasib dunia.

Dalam wawancara bersama CNNIndonesia TV, Indra mengaku awalnya tidak terlibat meski kampus Oxford sudah mulai melakukan pengembangan. Pada bulan Januari Indra masih bekerja di tim yang meneliti penyakit malaria.

Hingga kemudian COVID-19 dinyatakan sebagai pandemi. Pemimpin pengembangan di Oxford membuka lowongan untuk seluruh mahasiswa, staf, maupun post doctoral yang ingin terlibat menjadi bagian tim.

"Saya mendaftar kemudian saya membuat daftar skill apa saja yang saya punya," kata Indra seperti dikutip dari CNN Indonesia, Rabu (22/7/2020).

Dalam tim Indra mendapat tanggung jawab menguji respons antibodi dari orang yang sudah diberikan vaksin. Hal ini penting untuk melihat efek samping maupun efektivitas vaksin.

"Saya dapat bagian meneliti respons dari sukarelawan. Jadi orang-orang yang sudah di imunisasi diambil sampelnya oleh tenaga medis kemudian diproses. Serumnya digunakan oleh saya untuk melihat apakah mereka mererspons vaksin itu positif atau tidak ke vaksin," papar Indra.

Indra bercerita ada ratusan peneliti di tim pengembangan vaksin Corona Oxford. Jumlah sumber daya yang besar ini diperlukan agar vaksin bisa dikembangkan dengan kecepatan yang luar biasa. Indra menjelaskan biasanya untuk mendapatkan data uji klinis fase I dibutuhkan waktu 5 tahun, namun timnya bisa selesai hanya dalam waktu 6 bulan.

"Harapan saya tentu ingin kembali ke normal, pandemi bisa berakhir. Ketika sudah ada vaksin semoga semua orang yang butuh vaksin, terutama orang-orang dalam populasi krisis bisa dapat vaksin lebih awal," pungkas Indra.
https://nonton08.com/rinjinyuuwaku-01-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar