Senin, 06 Juli 2020

Teori Konspirasi Paling Vokal di Internet Soal Akurasi PCR Test

 PCR Test atau kita kenal sebagai swab test adalah cara yang dianggap memberikan tingkat deteksi virus corona yang jauh lebih tinggi dibanding rapid test. Namun pandangan ini berbeda dengan Dr VA Shiva Ayyadurai, MIT. PhD, yang disebut netizen sebagai teori konspirasi.
Dr Shiva adalah seorang ilmuwan yang memegang empat gelar dari Massachusetts Institute of Technology (MIT). Ia menyatakan secara singkat bahwa PCR Test adalah hal yang tidak bisa dijadikan patokan untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2.

"Yang didapat dari PCR Test adalah mereka mengambil sampel dari dalam hidungmu dan sampel yang keluar berupa lendir dan sebagainya. Apa yang mereka cari jika ada virus corona akan terdapat rantai urutan RNA. Mereka mendapatkan yang mereka sebut 'primer'. Sesuatu yang mereka kira sama dengan COVID-19. Semacam mencocokkan pola. Kemudian mereka menemukan kecocokannya di sini, maka kamu dinyatakan positif," katanya dalam suatu perbincangan di YouTube.

Lantas ia membawa penemu PCR Test, Kary Mullis yang mana merupakan pemenang Nobel di bidang kimia bahwa Mullis sudah memperingatkan bahwa metode ini tidak untuk mendeteksi virus melainkan nucleic acid.

"PCR bukan bersifat kuantitatif melainkan kualitatif. Jadi, primer yang mereka cari bersifat probabilistik, tidak definitif. Jadi hanya karena hasil test-nya positif bukan berarti kamu terkena virus tersebut. Bukan berarti tidak ada virusnya, tapi ini disusupi kepentingan bagi Amerika dan seluruh dunia," tuduh Shiva.

Penjelasan Dr Shiva di menit ke 47:00

Dr Shiva memang dikenal vokal dalam membicarakan terkait virus corona atau COVID-19 di berbagai media bahkan media sosial miliknya. Sosoknya dikenal kontroversial dan kerap membahas teori konspirasi. Kritiknya soal akurasi PCR Test pun bagi sebagian kalangan dianggap sebagai konspiratif.

Lantas sebenarnya apa itu PCR Test? Mengapa keakuratannya menjadi hal yang cenderung dipertanyakan. Mari kita belajar lebih dalam soal metode ini.

PCR atau polymerase chain reaction atau RT-PCR (real time polymerase chain reaction) menggunakan sampel usapan lendir dari hidung atau tenggorokan. Lokasi ini dipilih karena menjadi tempat virus berreplikasi.

Ahmad Rusdan Handoyo Utomo PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute, menjelaskan bahwa rapid test bisa memberikan hasil 'false negative' yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat.

"Data antibodi tidak selalu bersamaan dengan data PCR. Ketika data PCR menunjukkan virus RNA terdeteksi, kadang-kadang antibodi belum terbentuk," ujarnya.

Kemungkinan false negative ini juga disinggung oleh juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto.

"Hanya masalahnya bahwa yang diperiksa immunoglobulin-nya maka kita butuh reaksi immunoglobulin dari seseorang yang terinfeksi paling tidak seminggu karena kalau belum seminggu terinfeksi atau terinfeksi kurang dari seminggu pembacaan immunoglobulin-nya akan menampilkan gambaran negatif," kata Yuri.

Terlepas dari argumen Shiva yang dianggap sebagian orang sebagai teori konspirasi, sejauh ini memang belum ada yang bisa memberikan keakuratan 100% mengenai deteksi suatu virus karena selalu ada error meski kecil peluangnya. Jika mengalami gejala COVID-19, tak ada salahnya untuk segera mengunjungi rumah sakit untuk pemeriksaan lebih lanjut.
https://nonton08.com/black-clover-episode-51-subtitle-indonesia/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar