Senin, 13 Juli 2020

Perhimpunan RS Indonesia Jelaskan Penyebab Variasi Tarif Rapid Test

Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lewat Surat Edaran Kementerian Kesehatan RI nomor HK.02.02/I/2875/2020 mengatur tarif maksimal layanan rapid test Corona mandiri Rp 150.000. Tujuannya untuk menjawab keluhan masyarakat yang kebingungan karena harganya bisa berbeda-beda di tiap fasilitas kesehatan seperti rumah sakit (RS).
"Berbagai variasi harga di luar, ada yang di bawah 100 ribu tapi ada juga yang di atas 200 ribu, masyarakat dibikin bingung mau pilih yang mana? Kualitasnya seperti apa?" kata Direktur Pelayanan Kesehatan Rujukan Kemenkes RI, Tri Hesty Widyastoeti, dalam konferensi yang disiarkan BNPB, Senin (13/7/2020).

"Permintaan dari masyarakat sendiri sudah banyak memprotes kenapa ini tidak ditetapkan harganya. Sehingga ini juga membantu masyarakat, masyarakat itu tidak bingung kalau ke tempat layanan kesehatan sudah pasti harganya sekian," lanjutnya.

Sekretaris Jenderal Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI), Lia G. Partakusuma, menjelaskan pihaknya sudah mengimbau agar rumah sakit mengikuti peraturan tarif rapid test yang dikeluarkan kementerian. Namun, ia juga meminta ada waktu transisi karena banyak rumah sakit yang kaget dan belum siap.

Menurut Lia perbedaan harga rapid test ini terjadi karena banyaknya variasi merek alat di pasaran. Di masa awal pandemi, pilihan alat rapid test dari penyuplai terbatas lalu secara bertahap semakin banyak dengan harga yang variatif.

"Waktu awal COVID ini datang kita tidak banyak punya pilihan untuk diagnosa deteksi ini. Sehingga yang menawarkan jenis pemeriksaan ini sangat terbatas. Sementara permintaan begitu banyak, tetapi yang ada terbatas. Sehingga itulah yang menyebabkan mungkin harga itu tidak terkontrol," kata Lia dalam kesempatan yang sama.

"Banyak RS yang meminta kepada PERSI apakah mungkin ada masa transisi. Karena pembelian yang dulu itu sedikit sekali yang harganya di bawah 100 ribu," lanjutnya.

Kementan Tegaskan Virus Flu Babi di RI Bukan Varian G4 yang Bisa Picu Pandemi

 Virus Flu Babi Baru atau dikenal dengan G4 yang disebut berpotensi menjadi pandemi diyakini belum ada di Indonesia. Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, I Ketut Diarmita menegaskan varian virus Flu Babi Baru (G4 EA H1N1) belum pernah ditemukan di Indonesia.
Hal ini ini didasari pada hasil surveilans dan analisa genetik yang dilakukan oleh Unit Pelaksana Teknis Laboratorium Veteriner Kementerian Pertanian, yaitu Balai Veteriner Medan dan Balai Besar Veteriner Wates.

"Hasil surveilans kami menunjukkan bahwa virus Flu Babi yang pernah ditemukan di Indonesia, terbukti berbeda dengan virus Flu Babi Baru (G4 EA H1N1)," jelasnya dalam rilis yang diterima detikcom, Senin (13/7/2020).

Untuk mengantisipasi kemungkinan masuk atau munculnya virus Flu Babi Baru di Indonesia, Kementan bersama FAO dan USAID telah mengembangkan Influenza Virus Monitoring (IVM) online untuk memonitor mutasi virus influenza sejak 2014.

"Sebagai langkah kewaspadaan, Kita juga telah membuat Surat Edaran tentang Peningkatan Kewaspadaan Terhadap Galur Baru Virus Flu Babi H1N1 (G4 EA H1N1)," tegasnya.

Sebelumnya, peneliti di China menemukan jenis baru dari flu babi H1N1 yakni virus G4 yang diyakini berpotensi menjadi pandemi. Terlebih varian virus G4 ini berpotensi melekat pada reseptor yang mirip dengan manusia sehingga bisa menimbulkan keluhan pada paru-paru pengidapnya.

Dalam studi itu disebutkan 10 persen populasi yang di antaranya adalah pekerja di rumah potong hewan ternak diindikasi tertular G4 dari hasil pemeriksaan antibodi.
https://nonton08.com/star/rena-murakami/feed/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar