Kamis, 16 April 2020

Alat Rapid Test Corona Banyak Dijual Online, Siapa Mau Beli?

Alat tes virus corona atau rapid test menjadi barang yang sangat dicari saat ini. Saat ini, barang-barang tersebut beredar di toko-toko online menjual secara bebas.
Dalam penelusuran detikcom, harga rapid test di lapak online sangat beragam. Ada yang dijual satuan, ada juga per boks mulai dari Rp 500 ribu hingga jutaan rupiah. Salah satu reseller menyebut ia menjual rapid test dengan harga Rp 6,9 juta per box, dengan isi 10 di tiap box nya.

"Rp 6,9 juta per box isi 10," kata salah satu reseller kepada detikcom.

Terlepas dari maraknya penjualan rapid test kit online yang tidak diketahui akurasinya, Izhar (27), seorang karyawan swasta mengatakan ia tidak mau membeli alat rapid test tersebut, dan lebih memilih untuk langsung tes di rumah sakit.

"Enggak, mending langsung aja ke rumah sakit biar lebih pasti hasilnya, lagian belum ada reviewnya," karanya kepada detikHealth, Rabu (15/4/2020).

Sama halnya dengan Aisyah (24), alat rapid test yang tidak bisa ketahui keakuratannya membuat ia tidak mau mencoba dan membeli sendiri alat yang di jual di online.

"Nggak, keakuratannya aja gatau. yang di impor dari Ch*** aja ada yang dibalikin negara lain soal akurat dan tidaknya," tuturnya.

Namun berbeda dengan keduanya, Emiliana, (24) menyebut terlepas dari harganya yang mahal, ia tetap mau melakukan rapid test. Hanya saja saat ini belum ada kesempatan.

"Ingin tapi mahal siss," ungkapnya.

Berbeda dengan Emiliana, Rachel (25) menyebut dirinya sudah membeli alat rapid tes tersebut, namun belum ada kesempatan untuk mencobanya.

"Kemarin sempat beli sama temen, tapi belum dicoba sihhh," katanya.

Nah gimana nih detikers? Kamu masih penasaran pingin coba atau malah tidak mau beli? Komen di bawah ya!

Belajar dari Flu Spanyol, Ini Cara Cegah Gelombang Kedua Wabah Corona

Ancaman gelombang kedua atau second wave virus Corona mulai diantisipasi di beberapa negara. Meskipun Indonesia belum sampai pada tahapan itu, ada beberapa hal yang bisa disiapkan untuk mencegah datangnya gelombang kedua.
"Kalau dicegah sih bisa, yang paling ideal kalau kita punya vaksin. Kita bisa membangun herd immunity dengan melakukan vaksinasi massal," jelas Staf Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran, Panji Fortuna Hadisoemarto pada detikcom, Rabu (15/4/2020).

Panji mengatakan jika herd immunity sudah terbentuk, maka kemungkinan serangan gelombang kedua tidak akan terjadi. Tetapi, jika vaksin belum ada juga, intervensi yang dilakukan saat ini harus tetap dilaksanakan.

Menurutnya, intervensi ini menjadi pengganti dari vaksin ampuh yang misalnya nanti belum juga ditemukan. Intervensi seperti pembatasan sosial, physical distancing, isolasi, karantina, dan lainnya harus tetap ada, tidak boleh diangkat atau diberhentikan.

"Atau kalau diangkat semua, jika nanti diperlukan ya harus ada lagi," tegasnya.

Saat ditanya apakah fenomena gelombang kedua ini pernah terjadi sebelumnya, Panji mengatakan yang paling terkenal adalah pandemi influenza 1918 atau virus Spanyol. Gelombang pertama pandemi disebut berhenti seiring dengan datangnya musim panas.

"Tapi, setelah itu muncul lagi gelombang kedua. Karena waktu itu kita kan tidak tahu apa yang menyerang ya, virusnya belum diketahui. Jadi kita yang pasti belum punya vaksin, sehingga balik lagi si pandemi itu," ujarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar