Senin, 07 September 2020

Infeksi COVID-19 Bisa Terlihat dari Kelopak Mata, Bagaimana Tandanya?

Banyaknya gejala yang disebut sebagai tanda COVID-19, membuat para peneliti mempelajari tentang cara virus Corona merusak tubuh. Berdasarkan laporan kasus yang diterbitkan dalam Annals of Internal Medicine menjelaskan kondisi yang dialami tiga pasien COVID-19 di Italia.
Para pasien tersebut mengalami gangguan gejala terkait dengan kelainan autoimun, yang disebut myasthenia gravis. Tim dari Rumah Sakit Garibaldi, di Catania, Italia, mengatakan tiga pasien ini menjadi menjadi yang pertama kalinya dilaporkan.

Myasthenia gravis adalah kondisi jangka panjang yang langka dan menyebabkan kelemahan otot. Kondisi ini paling sering menyerang otot mata dan kelopak mata, ekspresi wajah, mengunyah, menelan, dan berbicara.

"Pada myasthenia gravis, sistem kekebalan merusak sistem komunikasi antara saraf dan otot, sehingga membuat otot lemah dan mudah lelah," jelas NHS, dikutip dari Express, Senin (7/9/2020).

Berdasarkan laporan kasus yang ada, pasien yang didiagnosis tertular virus Corona mengalami myasthenia gravis. Para pasien mulai menunjukkan gejala seperti kelopak mata turun dan kesulitan menelan, seminggu setelah mengalami demam karena COVID-19.

Pasien pertama yang mengalami gejala ini adalah pria berusia 64 tahun dan mengalami demam 39 derajat Celcius, selama empat hari. Lima hari setelah mulai demam, penglihatannya mulai berbayang dan mengalami kelelahan otot, hingga akhirnya positif COVID-19.

Pasien kedua adalah pria berusia 68 tahun yang mengalami demam hingga 38,8 derajat Celcius, selama tujuh hari. Di hari ke tujuh, ia mulai mengalami gejala lain seperti sulit menelan yang mengarah ke diagnosis autoimun.

Pasien ketiga yaitu wanita berusia 71 tahun yang mengalami batuk dan demam hingga 38,6 derajat Celcius selama enam hari. Setelah gejala itu berlangsung, kelopak matanya mulai menurun, penglihatannya kabur, sampai sulit menelan. Hingga akhirnya ia dinyatakan positif COVID-19 dan juga didiagnosis mengalami myasthenia gravis.

"Waktu dan gejala gangguan neurologis lain yang dipicu infeksi ini terjadi secara konsisten. Ini menambah bukti bahwa dari gangguan neurologis lain dengan mekanisme autoimun yang diduga terjadi setelah terinfeksi virus Corona," kata para peneliti.

Terapi Oksigen Hiperbarik dan Happy Hypoxia

- Happy hypoxia tengah banyak diperbincangkan terkait pandemi COVID-19. Konon banyak dialami pasien COVID-19 dan disebut sebagai pembunuh yang tidak bergejala karena tidak disertai sesak napas sehingga disebut juga silent hypoxia.
Apa sebenarnya happy hypoxia dan bagaimana terapi oksigen hiperbarik bisa menjadi salah satu solusi untuk mengatasinya? Berikut ini ulasannya, disarikan dari paparan dr Sofia Wardhani, MKK, pengajar di Fakultas Ilmu Kesehatan UPN Veteran Jakarta.

Apa itu 'happy hypoxia'?
Happy hypoxia dikenal juga dengan istilah silent hypoxia, yakni kondisi sel yang mengalami penurunan kadar oksigen. Di dalam sel, oksigen merupakan elemen penting untuk pembentukan energi dalam bentuk ATP atau adenosine triphosphate.

Bukan hanya pada pasien COVID-19, happy hypoxia juga terjadi pada berbagai kondisi seperti anemia, PPOK (penyakit paru obstruksi kronis), stroke, dan bahkan pendaki gunung yang menghadapi tekanan parsial oksigen yang lebih rendah.

"Pada prinsipnya, hipoksia terjadi karena adanya gangguan aliran oksigen dari udara bebas masuk ke dalam sel," tulis dr Sofia dalam paparannya.

Apa kaitannya dengan COVID-19?
Ada beberapa tahapan masuknya oksigen ke dalam sel. Tahapan pertama adalah oksigen berdifusi di jaringan paru melalui sel terkecil yakni alveolus. Di sini, oksigen diikat oleh hemoglobin atau sel darah merah lalu diantar ke jaringan dan sel.

Agar oksigen dalam menembus alveolar dan berdifusi ke dalam darah, dibutuhkan perbedaan tekanan antara paru dengan pembuluh darah arteri. Di sinilah masalah terjadi pada pasien COVID-19.

Pasien COVID-19 mengalami radang pada alveolar sehingga butuh tekanan lebih tinggi agar oksigen dapat berdifusi ke dalam darah. Jika pasien mengalami kondisi yang disebut cytockine storm dan kegagalan pernapasan, maka dokter akan memasangkan ventilator sebagai alat bantu.

Namun berdasarkan penelitian, hampir 80 persen pasien dengan alat bantu pernapasan meninggal dunia. Pemasangan ventilator umumnya dilakukan bila saturasi oksigen menurun dan pasien mengalami sesak napas. Saturasi oksigen yang menurun menandakan terjadinya hipoksia jaringan.

Nah, pada pasien happy hypoxia, kondisi ini tidak terjadi. Pasien tidak mengalami sesak napas dan terkadang didapatkan hasil saturasi oksigen yang masih dalam batas korbal. Pada saat saturasi oksigen jatuh dalam tahap kritis, maka pasien mengalami perburukan dalam waktu cepat.
https://cinemamovie28.com/tell-me-how-i-die/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar