Senin, 07 September 2020

Terapi Oksigen Hiperbarik dan Happy Hypoxia (2)

Bagaimana mengatasi 'hutang' oksigen?
Untuk mengatasi oxygen debt dengan cepat, dibutuhkan peningkatan jumlah oksigen dalam darah. Hal ini sulit dicapai jika tidak ada perbedaan tekanan yang cukup bermakna antara alveolar dengan pembuluh darah. Di sinilah, terapi oksigen hiperbarik punya peran penting.

Terapi oksigen hiperbarik sudah dilakukan lebih dari 100 tahun lalu dan digunakan juga saat terjadi wabah flu spanyol. Namun setelah itu, terapi ini tenggelam karena ketidakpahaman tentang mekanisme yang mendasarinya.

Terapi hiperbarik sendiri memiliki berbagai indikasi yang sudah ditetapkan oleh FDA, di antaranya untuk terapi penyakit dekompresi pada penyelaman, ulkus diabetikum, keracunan CO, dan gangguan hipoksia lain. Mekanismenya didasari konsep fisika yaitu hukum Henry, bahwa semakin tinggi tekanan parsial gas di atas suatu cairan maka semakin tinggi kelarutan gas tersebut.

Dengan meningkatnya tekanan parsial oksigen dalam udara yang dihirup, maka semakin tinggi oksigen yang larut dalam plasma sehingga memastikan oksigen terhantarkan hingga ke sel. Ini menjadi kelebihan terapi hiperbarik dibanding ventilator.

"Walaupun sama-sama meningkatkan kadar oksigen di dalam sel, terapi hiperbarik tidak bersifat invasif sehingga tidak menimbulkan 'insult' baru pada tubuh pasien dan tekanan lingkungan yang tinggi memastikan oksigen dapat lebih cepat dan lebih banyak larut ke dalam plasma darah," kata dr Sofia.

Bagaimana status terapi hiperbarik?
Penggunaan secara terbatas di beberapa rumah sakit di China dan Amerika Serikat menunjukkan hasil yang cukup menjanjikan dalam pencegahan penggunaan ventilatir dan mempercepat penyembuhan pasien COVID-19. Namun FDA belum menetapkan terapi oksigen hiperbarik sebagai salah satu terapi standar untuk pasien COVID-19 karena belum melalui uji klinis.

Saat ini, uji klinis sedang dijalankan di 8 pusat hiperbarik di seluruh dunia untuk membandingkan efek pemberian terapi hiperbarik dengan pemakaian ventilator. Diharapkan, penelitian tersebut akan memberikan hasil menggembirakan untuk mengurangi beban kesehatan dunia akibat pandemi COVID-19.

Kenapa tidak bergejala?
Ada bebrapa teori yang menjelaskan happy hypoxia. Salah satunya menyebut, invasi virus pada kemoreseptor membuat tubuh tidak bisa membaca status oksigen jaringan. Kemungkinan lainnya adalah kadar CO2 pada pasien COVID-19 cukup rendah sehingga tidak muncul 'keinginan' bernapas.

Keinginan bernapas tidak hanya terjadi karena hipoksia, melainkan juga karena peningkatan kadar CO2. Pasien dengan gangguan cemas juga sering 'merasa' sesak napas sehingga pernapasan menjadi cepat dan dalam.

"Beberapa kasus di Amerika yang penulis baca adalah pada pasien silent hypoxia mengalami pernapasan yang cepat dan dalam namun tidak ada sensasi sesak napas. Hal ini disebabkan karena pola pernapasan ini mengeluarkan banyak CO2 sehingga kadarnya dalam darah turun," kata dr Sofia.

Seiring berjalannya waktu, peradangan paru meluas sementara tubuh membutuhkan banyak oksigen untuk melawan infeksi. Akhirnya, oksigen kesulitan masuk ke dalam darah dan terjadi hipoksia kronis yang memicu oxygen debt atau 'hutang' oksigen.

"Akibat dari besarnya oxygen debt, maka beberapa organ dapat jatuh ke dalam gagal organ (Multiple organ failure/MOF) yang sering dijumpai pada pasien COVID-19," kata dr Sofia.
https://cinemamovie28.com/scuba-mother-and-wife-2/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar